Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Eksistensialisme dan Fenomenologi dalam Filsafat Manusia

Eksistensialisme dan Fenomenologi dalam Filsafat Manusia - Eksistensialisme dan fenomenologi merupakan dua gerakan yang sangat erat dengan menunjukkan pemberontakan terhadap metoda-metoda dan pandangan- pandangan filsafat Barat yang tradisional. Eksistensialisme dan fenomenologi menyajikan sikap atau pandangan yang menekankan kepada eksistensi manusia, artinya kualitas-kualitas yang membedakan antara individual (perorangan) dan tidak membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan alam atau dunia secara umum dalam mencari esensinya. Eksistensialisme sebagai sebuah paham sedang fenomenologi sebagai metodenya.

Secara etimologis eksistensialisme memiliki akar kata eksistensi (Latin existentia, dari kata exsistere ‘menjadi ada’, dari ex- ‘keluar’ + sistere ‘mengambil tempat’). Secara umum eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagaimana adanya sembari keluar dari dirinya, atau cara berada manusia. Eksistensialisme adalah sebuah paham atau salah satu aliran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada kebebasan manusia, tanggung jawab pribadi, dan pentingnya seorang individu untuk menentukan pilihannya. Filsafat ini memandang segala apa yang ada dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi berbeda dengan esensi yang merupakan sesuatu yang menjadikan individu itu ada. Secara umum, eksistensialisme dapat dipahami sebagai paham di mana seseorang memiliki kebebasan mutlak atas pikirannya dan setiap pribadi bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Pokok permenungan filsafat eksistensialisme adalah keseluruhan realitas manusia.

Aliran ini, sebagaimana aliran filsafat lainnya, muncul sebagai reaksi atas pemikiran-pemikiran filosofis sebelumnya. Filsafat modern berawal dari filsafat rasionalisme yang dicetuskan oleh René Descartes. Ungkapannya “Je pense donc je suis” atau lebih dikenal dengan “Cogito ergo sum” membuka cakrawala permenungan filsafat untuk menggunakan akal budi sebagai pengalaman yang menunjukkan keberadaan seseorang. Sejak saat itu bermunculan pula aliran-aliran filsafat modern seperti empirisme, historisisme, romantisme, idealisme, materialisme, nihilisme, esensialisme, eksistensialisme, dan nihilisme.

Eksistensialisme dan Fenomenologi dalam Filsafat Manusia_
image source: constructivismandexistentialism.wordpress.com

Eksistensialisme sendiri merupakan tanggapan atau bisa dibilang perlawanan terhadap idealisme, dan materialisme yang pada zaman filsafat modern didominasi oleh pemikiran Ludwig Feuerbach. Idealisme, terutama idealisme metafisis Hegelian, mengatakan bahwa manusia merupakan sintesis dari tesis dan antitesis. Hal ini mau mengatakan bahwa segala sesuatu termasuk manusia hanyalah suatu representasi akal budi. Segala apa yang ada tidak bersifat fisik dan tidak memiliki materi. Rasionalitas yang dicetuskan oleh Descartes mengalami radikalisasi dalam idealisme. Realitas dijelaskan melalui ide-ide, akal budi mutlak, dsb. Eksistensialisme yang dibawa oleh Kierkegaard melawan paham ini. Eksistensialisme menjatuhkan idealisme melalui pandangan bahwa manusia memiliki cara berada dari eksistensinya. Karenanya, akal budi bukanlah pewujud nyata realitas. Akal budi merupakan cara manusia untuk mencerap keberadaan segala apa yang ada.

Eksistensialisme juga melawan materialisme. Materialisme melihat manusia pada prinsipnya hanya sebagai benda, sama dengan benda-benda lain seperti binatang, tumbuhan, atau bahkan benda mati seperti meja, kursi, dll. Manusia hanyalah bentuk ragawi yang dari padanya manusia dikatakan penuh. Materi manusia adalah kepenuhannya. Dengan demikian, manusia hanya dipandang sebagai objek sebagaimana benda-benda lainnya. Eksistensialisme Kierkegaard lagi-lagi menggugat pemikiran ini dengan mengatakan bahwa manusia bukanlah objek. Materi tubuh manusia hanyalah sebagian aspek kemanusiaan. Manusia memiliki cara berada yang berbeda dari ada-ada yang lain. Kendati manusia memiliki materi yang pada akhirnya menjadi sama dengan tanah, manusia tidak dapat diperlakukan seperti halnya tanah material. Manusia memiliki cara berada eksistensial yaitu melalui kebebasan berpikirnya. Manusia adalah subjek yang memiliki akal budi. Sejalan dengan akal budi tersebut, manusia memiliki kesadaran akan dirinya dan memiliki kemampuan untuk memetik makna dari setiap hal yang ada di sekitarnya. Hal ini jelas-jelas membedakan manusia dari benda-benda yang lain. Kemampuan manusia untuk berpikir, merenung dan memaknai setiap bagian hidupnya merupakan hakikat perbedaan cara berada manusia dengan cara berada benda-benda yang lain. Manusia adalah subjek atas dirinya sendiri, sementara benda-benda di luar manusia adalah objek. Dengan demikian eksistensialisme menjadi pukulan besar bagi materialisme.

Dua aliran filsafat yang ditentang oleh eksistensialisme ini merupakan dua ekstrem yang berseberangan. Idealisme memandang manusia melulu sebagai subjek dan semata-mata berada hanya karena kemampuan akal budi. Materialisme, sebaliknya, melihat manusia semata-mata objek yang tidak berbeda dengan benda-benda di luarnya. Di sini kita melihat bahwa eksistensialisme menjadi penengah di antara kedua ekstrem ini. Kebebasan berpikir dan tanggung jawab pribadi ini membuat para eksistensialis melihat kebenaran bukan sebagai suatu hal yang mutlak. Kebenaran bergantung pada bagaimana seorang individu menilainya berdasarkan kemampuan berpikirnya. Kebenaran bersifat relatif.

Para filosof eksistensialis menyepakati adanya tiga hal yaitu:[iv] pertama, kesedihan dan penderitaan adalah kondisi yang diperlukan yang harus dialami. Ketika seseorang berpura-pura memilih sesuatu di mana hampir tidak ada kesedihan dan penderitaan, orang tersebut sebenarnya tidak memilih sama sekali. Tanpa penderitaan, seorang bisa menjadi apa pun namun bukan yang terbaik.

Kedua, pengalaman umum setiap manusia ketika berhadapan dengan hal yang tak dapat dihindari, penderitaan mengambil rupa kebosanan atau kecemasan, sikap apatis atau rasa takut. Fungsi nilai eksistensialis adalah membebaskan manusia dari penderitaan yang melemahkan manusia.

Ketiga, nilai eksistensialis menitikberatkan pada kesadaran, membangkitkan hasrat, dan tekad seseorang untuk melibatkan segenap kemampuannya. Kierkegaard mengatakan, dia ingin mendapatkan nilai di mana dia siap untuk hidup dan bahkan bersedia mati. “Biarkan orang lain mengeluh bahwa dunia itu kejam,” serunya, “Keluhanku adalah sungguh celaka jika tidak ada hasrat.” Atau, dalam kata-kata Nietzsche: “Rahasia kemakmuran terbesar dan kebahagiaan terbesar adalah eksistensi hidup dalam bahaya.”

Singkatnya, nilai eksistensialis memiliki sumber yang sama, fungsi yang sama, dan identifikasi karakter yang sama. Sumbernya adalah kesadaran akan penderitaan yang melekat dalam kondisi manusia. Fungsinya adalah untuk membebaskan manusia dari rasa takut dan frustrasi karena beban kehidupan sehari-hari atau karena kebosanan akan lamunan filosofis. Identifikasi karakteristiknya adalah intensitas (keterarahan).

Kebebasan manusia yang ingin dicapai oleh eksistensialisme, kendati kebebasan adalah hal yang mutlak, bukanlah kebebasan dalam arti harfiah untuk berbuat segala sesuatu sesuka hati dengan dasar dorongan insting manusiawi. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan akal budi yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri untuk menentukan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya. Setiap manusia bisa menjadi apa saja, namun apakah hal itu berasal dari dorongan akal budi yang terbebas dari segala tekanan dan ketakutan. Bahwa penderitaan tidak dapat lepas dari setiap pilihan benar manusia, adalah konsekuensi yang harus dibayar untuk menempatkan diri dalam kebebasan eksistensial.

Tipikal Eksistensialisme

1. Beberapa Sifat Eksistensialisme: Gerakan Protes

Istilah eksistensialisme tidak menunjukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara bermacam-macam filsafat yang biasa dikelompokkan sebagai filsafat eksistensialis, tetapi meskipun begitu terdapat tema-tema yang sama yang memberi ciri kepada gerakan-gerakan eksistensialis. Pertama, eksistensialisme adalah pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Dalam satu segi esksistensialisme merupakan suatu protes terhadap rasionalisme Yunani, atau tradisi klasik dari filsafat, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia seperti pandangan Plato dan Hegel.

Dalam sistem-sistem tersebut, jiwa individu atau si pemikir, hilang dalam universal yang abstrak atau dalam aku universal. Eksistensialisme adalah suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep akal dan alam yang ditekankan pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-18. Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik, dan jauh dari kehidupan, semua itu adalah pokok dari eksistensialisme.

Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern atau zaman teknologi, serta pemberontakan terhadap gerakan massa pada zaman sekarang. Masyarakat industri cenderung untuk menundukkan orang seorang kepada mesin; begitulah gambaran faham eksistensialis, manusia adalah dalam bahaya menjadi alat, komputer atau obyek. Saintisme hanya melihat tindakan luar dari manusia dan menginterpretasikan manusia hanya sebagai suatu bagian dari proses fisik. Eksistensialisme juga merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis atau lain-lainnya yang condong untuk menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.

2. Diagnosis: Tentang Kedudukan Sulit dari Manusia

Eksistensialisme adalah suatu filsafat yang melukiskan dan mendiagnosa kedudukan manusia yang sulit. Dalam hal ini, eksistensialisme merupakan penekanan kembali terhadap beberapa pikiran yang terdahulu. Beberapa pengikut eksistensialisme mengatakan bahwa gerakan tersebut bukan hanya bersifat lama dan modern akan tetapi bersifat abadi. Eksistensialisme sebagai suatu unsur yang universal dalam segala pemikiran adalah usaha manusia untuk melukiskan eksistensinya serta konflik-konflik eksistensi tersebut, asal mula konflik tersebut, serta upaya untuk mengatasinya. Di mana saja kedudukan manusia sulit dilukiskan baik secara teologi maupun secara filsafat, baik secara puitis atau secara seni, di situlah didapatkan unsur-unsur eksistensialis.

Sebagai gerakan modern, eksistensialisme terkenal pada abad ke-20. Pada abad ke-19, beberapa pemikir yang kesepian seperti Kierkegaard dan Nietzsche meneriakkan protes mereka dan mencatatkan perhatian mereka kepada kondisi manusia. Selama abad ke-20, ekspresi perhatian terhadap perasaan keterasingan manusia serta kehilangan arti hidup, menjadi teriakan umum. Dalam istilah mereka, manusia tidak merasa berada di rumah di dalam alam di mana ia harus membuat rumah.

3. Keyakinan Bahwa Eksistensi Adalah Yang Terpenting

Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung. Desakan yang pokok atau pendorong adalah untuk hidup dan untuk diakui sebagai individual. Jika seorang manusia diakui seperti itu, ia akan memperoleh arti dan makna dalam kehidupan. Tempat bertanya yang paling penting bagi seorang manusia adalah kesadarannya yang langsung, dan kesadaran tersebut tak dapat dimuat dalam sistem atau dalam abstraksi. Pemikiran yang abstrak condong untuk menjadi impersonal dan menjauhkan seorang dari rasa manusia yang kongkrit dan rasa berada dalam siatuasi manusia. Realitas atau wujud (being) adalah eksistensi yang terdapat dalam 'I' dan bukan dalam 'it'. Oleh sebab itu, pusat pemikiran dan arti adalah dalam eksistensi seorang pemikir. Bagi filosof Denmark, Soren Kierkegaard umpamanya, manusia yang menganggap bahwa pandangan hidupnya ditetapkan oleh akalnya adalah orang yang meletihkan dan tidak berpandangan jauh; ia gagal untuk memahami fakta yang elementer bahwa ia bukannya pemikir yang murni, akan tetapi ia adalah seorang-orang yang ada (existing individual).

Kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; eksistensi menunjukkan kepada 'suatu benda yang ada di sini dan sekarang'. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Tetapi bagi kelompok eksistensialis, kata kerja 'to exist' mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya daripada kata kerja 'to live'. Kadang-kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup kosong dan tanpa arti bahwa 'ia tidak hidup, ia hanya ada'. Kelompok eksistensialis mengubah kata tersebut dan mengatakan 'orang itu tidak ada, ia hanya hidup'. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh, tangkas, sadar, tanggung jawab, dan berkembang.

Istilah esensi adalah sebaliknya dari eksistensi, yakni sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak-corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya, atau suatu yang dimiliki secara umum oleh macam-macam benda. Esensi adalah umum untuk beberapa individu dan kita dapat berbicara tentang esensi secara berarti walaupun tidak ada contoh benda itu pada suatu waktu. Kita membedakan antara benda itu apa?, dan itukah benda itu?. Yang pertama adalah esensi, yang kedua adalah eksistensi. Benda yang saya pegang di tangan saya, esensinya adalah pensil; dan pensil ini, yang saya rasakan dengan indra saya, ada (exist).

Jika seseorang telah memahami ide atau konsep esensi suatu benda, ia akan dapat memikirkannya tanpa memperdulikan tentang adanya. Bagi Plato dan beberapa pemikir lainnya konsep 'mansia' mempunyai realitas yang lebih daripada seorang manusia yang bernama John Doe; mereka mengatakan partisipasi dalam ide atau bentuk (form) atau esensi, yakni kemanusiaan, adalah menjadikan seseorang itu manusia. Para eksistensialis menolak pandangan Plato tersebut dan mengatakan bahwa ada suatu hal yang tak dapat dikonsepsikan, yaitu tindakan pribadi untuk ada (personal act of existing). Mereka menegaskan bahwa eksistensi adalah keadaan yang pertama.

Jean Paul Sartre, penulis dan filosof Prancis mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan 'eksistensi sebelum esensi' (existence comes before essence) adalah dasar bersama bagi kaum eksistensialis, tetapi filosof eksistensialis lainnya tidak mengatakan begitu. Apakah arti eksistensi sebelum esensi? Sartre menerangkan: 'Jika kita melihat sebuah pisau kertas, kita tahu bahwa pisau tersebut telah dibuat oleh seseorang yang mempunyai konsep pisau. Jadi sebelum pisau itu jadi, pisau tersebut telah dikonsepsikan sebagai suatu benda yang mempunyai maksud tertentu dan dibuat dengan suatu proses tertentu pula. Dengan begitu maka esensi pisau kertas telah ada sebelum pisau itu ada. Mengenai manusia, keadaannya berlainan, ia ada dan baru kemudian eksistensinya tampak.

4. Tekanan Kepada Pengalaman Subyektif dari Manusia

Eksistensialisme memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni terhadap kesadarannya yang langsung dan subyektif. Eksistensialis berkata: Tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Inti kehidupan manusia dengan keadaan hati, kekhawatiran dan keputusan-keputusannya menjadi pusat perhatian. Eksistensialisme menentang segala bentuk obyektivitas dan impersonalitas dalam bidang-bidang yang mengenai manusia.

Obyektivitas sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri Barat oleh ahli-ahli filsafat dan psikologi, cenderung untuk menganggap manusia sebagai nomor dua sesudah benda. Kehidupan pada umumnya dan manusia pada khususnya selalu diberi interpretasi-interpretasi secara obyektif dan impersonal dan akibatnya kehidupan menjadi dangkal dan tidak berarti. Sebaliknya, eksistensialisme menekankan kehidupan dalam manusia dan tidak takut kepada introspeksi. Ia memunculkan kembali persoalan-persoalan tentang individualitas dan personalitas manusia. Ia merupakan pemberontakan manusia terhadap usaha-usaha yang menganggap sepi atau menindas keistimewaan pengalamannya yang subyektif.

Eksistensialis mengatakan bahwa kebenran adalah pengalaman subyektif tentang hidup. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita, kebenaran tentang watak manusia dan takdir manusia bukannya suatu hal yang dapat diraba dan dikatakan dengan konsep-konsep yang abstrak atau dengan proposisi (pernyataan). Pendekatan yang bersifat rasional semata-mata hanya akan menghadapi prinsip-prinsip universal yang menyedot seseorang dalam kesatuan atau sistem yang menyeluruh. Karena eksistensialis menekankan kepada aspek yang kongkrit dan intim dari pengalaman manusia, atau sesuatu yang istimewa dan personal, maka mereka akan memilih ekspresi dengan sastra atau benda- benda seni lain, yang akan memungkinkan mereka untuk melukiskan perasaan dan keadaan hati manusia.

5. Pengakuan Terhadap Kemerdekaan dan Pertanggungjawaban

Penekanan terhadap pentingnya eksistensi pribadi dan subyektivitas telah membawakan penekanan terhadap pentingnya kemerdekaan dan rasa tanggung- jawab. Aliran determinisme yang bermacam-macam baik yang didasarkan atas biologi atau lingkungan, tidak menjelaskan persoalan secara keseluruhan. Dalam eksistensialisme perkataan tidak diarahkan kepada jenis manusia pada umumnya, atau lembaga-lembaga manusia dan hasil-hasilnya, atau kepada alam yang bersifat impersonal, akan tetapi kepada pribadi-pribadi, pilihan-pilihan dan keputusan keputusannya. Eksistensialisme adalah penegasan tentang arti wujud pribadi dan keputusan-keputusan pribadi dalam menghadapi interpretasi-interpretasi dunia yang menghilangkan artinya.

Kemerdekaan bukannya sesuatu yang harus dibuktikan atau dibicarakan, kemerdekaan adalah suatu realitas yang harus dialami. Manusia mempunyai kemerdekaan yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan jika ia dapat mema- haminya. Kemerdekaan akan melaksanakan tuntutan watak-inti dari manusia serta mengeksresikan jiwanya yang riil dan otentik. Ia menghadapi pilihan-pilihan, menetapkan keputusan-keputusan serta bertanggung jawab tentang semua itu. Di atas semua itu, manusia harus menerima tanggung jwab tentang keputusan- keputusan yang telah membantu menjadikannya sebagaimana halnya sekarang.

Fenomenologi

Dalam konteks apapun ketika memakai kata fenomenologi, akan diingatkan kepada pembedaan yang dibawakan oleh Kant antara phenomenon atau penampakan realitas kepada kesadaran, dan noumenon atau wujud dari realitas itu sendiri. Fenomenologi sebagai logos dalam filsafat merupakan bahasan tentang hubungan subjek kesadaran dan objek yang terbuka dihadapan kesadaran. Problema untuk mengompromikan realitas dengan pikiran tentang realitas merupakan problema yang sama tuanya dengan filsafat sendiri. Problema itu menjadi lebih sulit karena kita tak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran kita, dan kita tak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas.

Seorang filosof itu mengabdikan diri untuk menembus rahasia; filsafat fenomenologis berusaha untuk memecahkan dualisme itu. Ia memulai tugasnya dengan mengatakan: Jika memang ada pemecahan soal, maka pemecahan tersebut berbunyi: hanya feomenologi yang tersajikan kepada kita dan oleh karena itu kita harus melihatnya. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Maurice Merleau-Ponty, 'fenomenologi adalah daftar kesadaran-kesadaran sebagai tempatnya alam'. Jika kita ingin mengetahui sesuatu benda itu apa, dan persoalan seperti ini adalah tugas para fenomenologis, kita harus menyelidiki kesadaran kita terhadap benda itu. Kalau hal tersebut tidak dapat memberi jawaban, maka tak adalah sesuatu yang dapat memberinya.

Sebagai suatu gerakan filsafat, fenomenologi menjadi masyhur di Jerman pada seperempat abad yang pertama dari abad ke-20, kemudian menjalar ke Prancis dan Amerika Serikat. Pencetus aliran fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938); pada usua 54 tahun, ia baru dapat menyajikan permulaan penyelidikan-penyelidikannya, yaitu deskripsi pertama yang telah diolah baik tentang fenomenologi sebagai metoda yang keras untuk menganalisa kesadaran.

Kemudian ia diikuti oleh Max Scheler (1874-1928) yang mempunyai keyakinan bahwa filsafat itu, pada pokoknya, membicarakan tentang situasi historis manusia. Kemudian Scheler tertutup oleh pengaruh Martin Heidegger (189901976) dan Maurice Merleau Ponty (1908-1961). Biasanya pandangan Heidegger dikelompokkan dalam 'eksistensialisme', akan tetapi walaupun ia telah menanamkan pengaruhnya, namun ia menjelaskan bahwa ia tidak mau disamakan dengan gerakan Sartre sebagai eksistensialisme.

Fenomenologi Sebagai Metode Filsafat: Husserl

Sifat-sifat yang pokok dari fenomenologi dapat dijelaskan secara luas, tetapi perlu diingat bahwa ada arti yang sempit dari fenomenologi, yaitu arti sebagai metoda. Bagi fenomenologis, berfilsafat harus dimulai dengan usaha yang terpadu untuk melukiskan isi kesadaran. Suatu usaha yang jelas adalah sangat perlu bagi deskripsi. Dengan deskripsi ini dimaksudkan suatu pandangan hati-hati terhadap struktur yang pokok dari benda, tepat seperti yang tampak. Fenomenologis memperhatikan benda-benda yang kongkrit, bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran kita, karena kesadaran kita adalah ukuran dari pengalaman (Titus, dkk., 1984:381-399).

Fenomenologi adalah pendekatan yang pertama kali dirumuskan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938). Kata fenomenologi berarti ilmu (logos) tentang hal-hal yang menampakkan diri (phainomenon). Dalam bahasa Yunani phainesthai berarti “yang menampakkan diri”. Husserl kemudian membuat fenomenologi sebagai sebuah metode dalam kajian filsafat. Baginya dalam metode fenomenologis, manusia berhadapan langsung dengan obyek tanpa suatu batas atau selubung yang mengaburkan pengamatannya terhadap objek-objek tersebut. Kita cenderung menafsirkan fenomen yang kita lihat, maka fenomen tidak selalu menampakkan diri apa adanya. Fenomenologi yang dikembangkan Husserl tidak puas dengan cara mendekati fenomen seperti yang kita lakukan sehari hari. Operasi jantung, misalnya, jangan pertama-tama dilihat sebagai tindakan medis, melainkan sebagai aktivitas manipulasi fisik manusia, yakni sebagai suatu yang netral dari penilaian-penilaian. Sebab itu, fenomenologi adalah suatu pendekatan deskriptif murni, bukan normatif (Hardiman, 2000: 22). Fenomenologi memfokuskan kajian pada fenomena (panampakan) dan menolak konsep-konsep abstrak seperti das ding an sich Kant. Fenomenologi bertujuan menampilkan fenomen sebagaimana adanya bersih dari prejudis-prejudis, konstruksi-konstruksi yang tak dapat dipertanggungjawabkan (Gadamer, 1977: 131).

Setiap orang pertama-tama harus bersikap seperti pemula dalam melihat fenomen, seolah-olah fenomen tersebut untuk pertama kalinya dilihat. Komputer dihadapan kita saat mengerjakan tugas sering sudah diandaikan begitu saja. Sikap taken for granted ini disebut Husserl sebagai naturliche einstelhung (sikap alamiah), yaitu kepercayaan naïf bahwa dunia luar ada begitu saja. Fenomenologi anti terhadap sikap seperti ini. Jika melihat komputer seolah-olah baru pertama kali melihat, kita tak akan percaya begitu saja bahwa komputer mambantu kita dalam mengerjakan tugas, yakni diluar kesadaran.

Bersikap seperti pemula inilah yang oleh Husserl dirumuskan sebagai reduksi fenomenologis atau epoche. Anggapan-anggapan bahwa komputer sudah ada entah di dalam atau di luar kesadaran ditangguhkan, yang dalam istilah Husserl ‘diberi tanda kurung’ (eingeklammert), dan komputer dibiarkan menampakkan diri apa adanya. yang diperoleh lewat reduksi ini bukan komputer sebagaimana dipahami secara ilmiah, sebagaimana dihayati oleh para penggunanya. Dunia yang dihayati sendiri inilah yang menjadi objek penelitian fenomenologi. Dunia penghayatan dalam keseharian inilah yang kemudian menjadi fondasi fenomenologi yang disebut Husserl sebagai Lebenswelt atau dunia-kehidupan sehari-hari. Dunia kehidupan adalah dunia kehidupan sehari-hari sebelum ditafsirkan oleh pendekatan-pendekatan ilmiah akademis. Dunia semacam ini semakin raib dalam timbunan penafsiran ilmiah. Semboyan Husserl zuruck zu den sachen selbst (kembali ke hal-hal itu sendiri) dapat dimengerti sebagai upaya untuk mendekati fenomen semurni mungkin dan dunia kehidupan se-otentik mungkin (Hardiman, 2000:24-25). Masalah fenomena itu sendiri tidaklah selesai begitu saja tanpa dikaitkan dengan salah satu masalah yang paling penting bagi metode fenomenologi sendiri yaitu kesadaran. Komputer dihadapanku hanyalah komputer bagi kesadaranku. Kesadaranku juga tidak mengawang-awang melainkan mendarat pada benda-benda. Husserl menyebut kesadaran yang terarah mendarat pada benda-benda itu dengan intensionalitas, itulah struktur hakikat dari kesadaran manusia (Spielberg, 1960:107). Pada perkembangannya fenomenologi Husserl lebih menekankan kesadaran dalam memahami realitas, intensionalitas (kesadaran yang mendarat pada benda) mewujudkan realitas itu sendiri sebagai sebuah realitas. Benda itu ada melainkan kesadaranku mendarat padanya. Husserl terseret pada subyektivisme murni, yang kemudian meletakkan fenomenologinya menjadi sebuah ilmu yang ketat.

Fenomenologi Sebagai Ontologi/Metafisik: Heidegger

Berbeda dengan fenomenologi yang dikembangkan oleh Husserl, fenomenologi yang dikembangkan oleh Heidegger lebih jauh dan terbuka ketimbang Husserl yang membuatnya menjadi ilmu yang ketat sebagai metode sebuah filsafat. Fenomenologi Husserl adalah bersifat epistemology yang meletakkan bagaimana subyek mendapati obyek, sedang fenomenologi Heidegger bersifat lebih jauh lagi yakni metafisik/ontologi. Fenomenologi Husserl bagi Heidegger masih terjangkiti filsafat separatis Cartesian. Filsafat yang memandang manusia sebagai subyek berhadapan dengan dunia. Sedangkan bagi Heidegger fenomenologi tidak bisa mengkhianati fondasinya sendiri: dunia penghayatan (lebenswelt). Manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari selaput ruang waktu yang menyelubunginya. Manusia tidak pernah bisa melampaui sejarah (Gahral, 2002: 14).

“Benda itu sendiri” secara fundamental, bagi Heidegger adalah ‘Ada’ umum (dasar entiti) dan bukan “kesadaran intensional” atau ego transcendental seperti yang dimaksudkan Husserl. Karena pertanyaan mengenai ‘Ada’ (dasar entiti) selalu terdapat dalam beberapa bentuk yang merupakan pertanyaan primordial (grundfrage) dan pertanyaan bimbingan (leitfrage) dari filsafat yang sebenarnya.

“jika benar fenomenologi sebagai proses membiarkan benda-benda menyatakan dirinya harus mencirikan metode standar dari filsafat…maka Ada haruslah tetap merupakan benda sendiri yang pertama dan terakhir dari pikiran” (Richardson, 1974: xiv)

Oleh karena itu sejak awal fenomenologi Heidegger mengambil ciri yang sangat berbeda dari fenomenologi Husserl. Secara fenomenologis ‘Ada’ (dasar entitas) tidaklah menjelmakan dirinya sebagai suatu benda, substansi, adaan tertentu, konsep ataupun idea. Dalam hal ini tidak ada pilihan. Bila menuju ke “bendanya sendiri” maka hanya manusialah tempatnya, locus dari penjelmaan diri dari pertanyaan ‘Ada’ (dasar entitas). Heidegger menyebut manusia sebagai tempat penjelmaan diri ‘Ada’ (dasar entitas) yaitu dasein (manusia; yang sudah terlempar ‘disana’). Karena itu; jika kita harus merumuskan pertanyaan kita secara eksplisit dan jelas, kita haruslah pertama-tama memberikan suatu eksplikasi yang tepat mengenai suatu entitas yaitu Dasein (manusia) dengan mempertimbangkan Ada-nya (dasar entitasnya).

‘Ada’ (dasar entitas) tidak dapat disamakan dengan obyek, karena ia tidak pernah mewujudkan dirinya sebagai suatu obyek, sebagai suatu yang berdiri berlawanan terhadap manusia yang harus dihadapi manusia sebagai sekedar pengamat. Manusia sebagai partisipan dalam peristiwa pembukaan ‘Ada’ (dasar entitas) dikatakan terlibat dengan keseluruhan “eksistensi”nya dalam keterbukaan primordial dari manifestasi dirinya. ‘Ada’ (dasar entiti) bukanlah sesuatu yang dapat dikontrol atau dikalkulasi atau dicermati oleh manusia dari titik pandang yang istimewa seperti pengamat luar yang tidak terlibat. Tidak ada titik yang menguntungkan “di luar” totalitas yang mencakup semuanya dari semua yang berada. Akibatnya, bagi Heidegger filsafat apapun yang membiarkan ‘Ada’ (dasar entitas) muncul sebagai suatu obyek terhadap titik pandang diluar oleh suatu subyek adalah “subyektivisme” atau filsafat titik pandang (standpoint philosophy, standpunkts philosophie) (Heidegger, 1962: 46,114).

Menurut Heidegger bahkan subjektivisme transendental Husserl telah gagal untuk memasuki ke dalam dimensi Ada dari dasein, gagal merumuskan fenomenologi transendental yang dapat diterima dan memunculkan pertanyaan fenomena primordial dari ‘Ada’ (dasar h. Descartes dan Husserl telah meninggalkan pertanyaan Ada dari kesadaran yang tidak dipertanyakan (Heidegger, 1962:251).

Karena itu subjektivisme transendental masih terlalu merupakan titik pandang sekalipun dalam bentuk suatu arah atau gerakan (richtung). Heidegger juga menyetujui Husserl ketika Ia menyatakan bahwa tidak hanya tidak menjanjikan suatu “titik pandang” (suatu pandangan yang dipakainya bersama Husserl), tetapi juga bahwa fenomenologi tidak dapat mewakili arah atau gerakan tentang apapun juga. Segera bahwa ini menjelaskan keterpisahan Heidegger dengan gerakan fenomenologi. Bagi Heidegger, apa yang esensial dalam fenomenologi tidaklah terletak dalam aktualitasnya sebagai suatu gerakan filsafati (richtung), lebih tinggi dari aktualitas adalah kemungkinan (Heidegger, 1962: 63). Kemungkinan ini adalah perwujudan diri dari fenomena dalam cahaya yang mencakup keseluruhan fenomena primordial yaitu “Ada”, dalam perspektif “arah khusus” dari ego transendental.

Karena pertanyaan Ada meliputi bukan hanya obyek yang dipertanyakan, tetapi juga penanya bahkan pertanyaan itu sendiri, yang mengatasi dikotomi subyek-obyek. Maka hal ini lebih bersifat ontocentris ketimbang bersifat antropocentris. Manifestasi primordial ‘Ada’ (dasar entitas) bukanlah perbuatan manusia sendiri, tetapi ia lepas dari kontrol manusia; Ia mendatangkan inspirasi, menempatkan dirinya dan mengatasi manusia (es gibt Sein). Dan ‘Ada’ (dasar entitas) manusia membuka dirinya secara otentik hanya dalam tindakan yang didalamnya ia sepenuhnya diterima (ent schlossenheit), yang otentik yang berarti keterbukaan dan pemecahan dari eksistensi dalam keseluruhannya.

Fakta bahwa ‘Ada’ sebagai dasar primordial dan dasein sebagai Ada-di-dalam-dunia mengatasi dikotomi tradisional subyek-obyek memberikan dua pengertian yang sangat penting. Pada tempat pertama, Heidegger berlawanan dengan Husserl, kontak original dengan dunia bukanlah satu-satunya pengetahuan menurut pengertian intelektualitas yang sempit, atau menurut Husserl kesadaran murni, melainkan suatu kehadiran-dalam-Ada. Hal inilah yang menjadikan fenomenologi bagi Husserl terutama bersifat epistemologi, sedang bagi Heidegger fenomenologi bersifat ontologis.

Keaslian esensial dari transendentalisme Heidegger dalam hubungan dengan transendentalisme sang guru Husserl adalah pemecahan yang diusahakannya terhadap problema dasar tanpa bersumber pada kesadaran, bahkan tidak pada kesadaran transendental, yang tidak diragukan masih terlalu idealistik, terlalu subjetivistik dalam pandangannya. Ia mendasarkan dirinya pada struktur ontologis yang lebih jelas dibawah tingkat kesadaran manusia sebagai dasein. Sehingga darinya sendiri seseorang dapat memahami kemungkinan dan makna dari suatu kesadaran atau ego transcendental. Pada Heidegger tendensi apapun untuk melihat subjektivitas transendental sebagai suatu pemikir yang tak berwujud telah diatasi dengan pasti; manusia sebagai kehadiran-di-dalam-dunia adalah satu-satunya titik berangkat yang mungkin bagi analisis fenomenologis” (Spiegelberg, 1960: 276-280).

Pengertian kedua dari transendensi manusia sebagai dasein terhadap dikotomi subyek-obyek adalah fakta bahwa fenomena Ada tidak dapat masuk ke bentuk-bentuk pemikiran yang berlangsung dalam dikotomi ini. Bentuk-bentuk obyektifikasi, kalkulatif, dan abstraktif dari pemikiran ilmu-ilmu positif tidak dapat juga memunculkan ataupun mendiamkan pertanyaan primordial Ada. Karena ilmu-ilmu positif sama sekali tidak mampu untuk berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan “mempertanyakan diri” dari fenomena fundamental.

Itulah sebabnya mengapa Heidegger memberi peringatan terhadap pengambilan ekspresi “fenomenologi” dalam arti biasa. Secara sambil lalu istilah fenomenologi dibentuk seperti “biologi” atau “sosiologi”, yang berarti masing-masing “ilmu kehidupan” dan “ilmu masyarakat”. Dalam pengertian ini, fenomenologi haruslah ilmu tentang fenomena dalam pengertian biasa, pengertian yang obyektif dari ilmu-ilmu positif. Oleh karena itu Heidegger mempertimbangkan makna asli dari istilah fenomenologi agar mendapat makna filsafati secara lebih tepat tentangnya, “fenomenologi” yang memiliki dua komponen dalam bahasa aslinya Yunani yaitu phainomenon dan logos.

Kata phainomenon itu sendiri diturunkan dari kata kerja bahasa Yunani phainesthai yang berarti “menunjukkan dirinya” atau “datang ke cahaya”. Phainesthai memiliki akar kata pha, seperti phos, yang berarti cahaya yang bersinar, dengan kata lain memiliki arti “yang didalamnya dapat menjadi nyata, yang memperlihatkan dirinya” (Heidegger, 1962:51). Ditempat lain Heidegger menghubungkan makna dari istilah “phenomenon” sebagai “yang datang ke cahaya” dengan konsepsi dari lumen naturale, teori dari cahaya alamiah dalam filsafat abad tengah. Jelasnya, istilah “phenomenon” menunjukkan “yang menunjukkan dirinya (das Sichzeigende)”. Karena itu “phenomena” menurut Heidegger adalah totalitas dari apa yang terletak dalam cahaya atau dapat dibawa kepada terang, apa yang oleh orang Yunani sering ditunjukkan dengan ta onta, yaitu entitas-entitas (Heidegger, 1962: 51)

“Phenomenon” adalah yang menunjukkan dirinya dalam cara ia berada, dan hal ini haruslah dibedakan dengan jelas dari “sekedar penampakan”. Phenomenon bukanlah sekedar penampakan, melainkan apa yang nampak, atau apa yang menunjukkan dirinya, ada yang menyala dalam Adanya. Hal ini menunjukkan bahwa konsepsi “phenomenon” Heidegger jauh dari seruan Husserl tentang “fenomena murni” sebagai esensi umum dari data empiris yang diperoleh dengan reduksi eidetis, dan lebih lanjut dimurnikan dengan mengurung aktivitas reduksi transendental.

Sedang unsur konstituf kedua dari istilah fenomenologi adalah kata Yunani logos. Walaupun kata ini dapat diterjemahkan sebagai “penalaran/ putusan/ konsep/ defenisi/ hubungan” kepentingan dasarnya menurut Heidegger adalah rede (discourse/ perbincangan). Tetapi kemudian haruslah diyakini bahwa memahami rede dalam akar maknanya adalah “membuat nyata apa yang dibicarakan”, pembicaraan atau rede bukanlah komunikasi verbal, melainkan suatu penyampaian makna yang mendahului artikulasinya dalam bahasa (sprache). Maka dari itu, Logos sebagai rede/ discourse membiarkan sesuatu, bukan berarti perbincangan panjang lebar untuk memperoleh sesuatu, akan tetapi dalam diam dasein juga bisa bertutur. Heidegger dalam On the Way to Language menyatakan bahwa “berkata dan bicara tidaklah identik. Seseorang bisa saja bicara banyak tapi tidak mengatakan sesuatupun. Orang lain mungkin tinggal diam saja, tapi tanpa bicara ia justeru mengatakan banyak hal. …berkata berarti menyingkapkan, menjadikan terlihat dan terdengar” (Heidegger, 1971:122-124)

Menurut Heidegger, ekspresi “phenomenologi” dapat dirumuskan dalam bahasa Yunani sebagai legein ta phainomena dimana legein berarti arho phainesthai. Maka “phenomenologi” berarti arho phainesthaita phainomena yang artinya “membiarkan apa yang menunjukkan dirinya terlihat dari dirinya sendiri dalam cara yang sebenarnya, sehingga didalamnya Ia menunjukkan diri dari dirinya sendiri” (Heidegger, 1962: 52).

Hal ini sekali lagi menyatakan semboyan fenomenologi: “zuruch zu den sachen selbts (kembali kepada bendanya sendiri)”. Bagaimanapun semboyan ini jangan dikelirukan dengan beberapa jenis intuisionisme naif, pemahaman asli dan intuitif tentang fenomena fenomenologi secara langsung berlawanan terhadap kenaifan penglihatan yang sembarang, langsung dan tidak reflektif.

Karena Ada adalah bendanya sendiri yang pertama dan terakhir dari refleksi filsafat, fenomena dari fenomenologi adalah phainomenon primordial dari Ada, maknanya, modifikasinya, dan turunannya. Dengan kata lain, fenomena yang menyatakan dirinya dalam cahaya dari pernyataan diri yang diartikulasikan dari Ada (logos). Tetapi karena Ada biasanya terselubung walau ia mengkonstitusi makna terakhir dan dasar dari semua adaan, suatu phenomenon yang berbeda adalah sesuatu yang proksimal dan karena bagian terbesar tidak menunjukkan dirinya sama sekali. Ia merupakan sesuatu yang letaknya tersembunyi, yang dibedakan dengan yang secara proksimal dan sebagian besar tidak menunjukkan dirinya; tetapi pada saat yang sama Ia merupakan sesuatu yang dimiliki oleh apa yang kemudian menunjukkan dirinya; dan Ia dimilikinya, sehingga secara esensial seakan mengkonstitusi maknanya dan dasarnya.”(Heidegger, 1962: 59)

Tepatnya karena fenomena fenomenologi adalah secara proksimal dan karena sebagian besar tersembunyi dan terselubung, maka fenomenologi dibutuhkan sebagai yang tidak terselubung dari fenomen primordial dari Ada. Dengan kata lain “hanya sebagai fenomenologi maka ontologi itu mungkin” (Heidegger, 1962: 60). Bagaimanapun, dengan pengertian yang sama, fenomenologi adalah proses yang memungkinkan adaan menyatakan dirinya menjadi benar-benar radikal hanya dalam cahaya kebenaran primordial Ada (aletheia), sebagai proses penerangan yang menyebabkan adaan diwujudkan. Karena kebenaran fenomenologis berakar dalam pembukaan primordial dari fenomena Ada. Dengan kata lain, hanya sebagai ontologi maka fenomenologi itu mungkin. Oleh sebab itu, bagi Heidegger, ontologi dan fenomenologi bukanlah dua ajaran filsafat yang berbeda satu sama lainnya.

Bentuk Fenomenologi

Fenomenologi dalam filsafat sampai sekarang ini berkembang dalam pemikiran filsafat dalam dua hal yang telah disampaikan diatas, sebagai metode dan juga metafisik/ontologi. Seperti yang dikatakan di atas, fenomenologi merupakan metode (Husserl) dan Metafisik/Ontologi/Filsafat (Heidegger). Sebagai metoda ia membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga bisa sampai kepada fenomena yang murni; kita harus mulai dengan subyek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada 'kesadaran yang murni'. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari; jika hal ini sudah dilakukan, akan tersisa gambaran-gambaran yang essensial atau intuisi esensi (intuition of essence). Sebagai contoh, warna 'merah', tidak kurang kebendaannya dari seekor kuda, karena masing-masing mempunyai esensi yang bebas, terlepas dari eksistensi yang kongkrit dan mungkin (contingent). Cukuplah bahwa pengalaman tentang warna 'merah' dapat dibedakan dari pengalaman tentang hijau, sebagaimana pengalaman tentang kuda dapat dipisahkan dari pengalaman tentang manusia.

Lebih jauh lagi, fenomenologi berusaha untuk menyajikan filsafat sebagai metoda yang pokok dan otonom, suatu sains akar (root science) yang dapat mengabdi kepada segala pengetahuan. Berlawanan dengan metoda sains obyektif, logika formal dan metoda dialektik yang mengatasi rintangan, metoda fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi.

Filsafat fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang ada. Dalam langkah-langkah penyelidikannya, ia menemukan obyek-obyek (yang tak terbatas banyaknya) yang membentuk dunia yang kita alami. Benda tersebut dapat dilukiskan menurut kesadaran di mana ia ditemukan. Dengan begitu, fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau susunan fikiran, justru karena benda adalah obyek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.

Sementara fenomenologi sebagai metafisik/ontologi/filsafat sebagaimana fenomenologi bagi Heidegger adalah satu-satunya cara eksistensi manusia di dunia. Terkait hubungan subjek-objek dalam fenomenologi, fenomenologi hakikatnya adalah eksistensi manusia di dunia yang melatari setiap penafsiran dan makna manusiawi di dunia tempat ia berada dan terlempar. Sebagai metode, fenomenologi harus kembali kepada dasarnya ‘membiarkan segala sesuatu menampakkan dirinya’ dengan tidak mengarahkan (intensi) kesadaran subjektif pada sesuatu, melainkan membiarkan ‘Ada’ sebagai dasar entitas manusia terbuka dan menampakkan diri.

Eksistensialitas Manusia Versi Fenomenolog Heidegger

Fenomenologi Heidegger menghantarkannya untuk lebih mungkin dan memadai dalam membuka penjelasan tentang eksistensi manusia. ‘Aku” Manusia dalam kerangka eksistensialitas Heidegger disebut sebagai Dasein. Dasein sebagai sesuatu yang “ada-disana“, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya berbeda dengan benda-benda lain yang juga “ada-disana“. Da sebagai kedisanaan bagi dasein menunjuk suatu keterbukaan eksistensial. Dasein itu mampu keluar dari dirinya dan menanyakan Ada-nya yang membedakannya dengan benda-benda lainnya, dalam hal ini dasein bersifat eksistensial, sedang benda-benda lainnya bersifat insistensial. Eksistensialitas dasein artinya adalah sebuah karakter dasein yang melampaui dirinya sendiri dalam struktur sorge. Akan tetapi bagaimana jika dasein tidak menanyakan adanya, tapi menanyakan entitas-entitas lainnya. Hal itu disebut Heidegger sebagai kontak yang bersifat eksistensiil (existenziell) yang pararel dengan ontis (ontisch) yang berkaitan dengan mengada. Sementara eksistensial (existenzial) adalah kontak dengan Ada-nya yang pararel dengan ontologis (ontologische) yakni yang berkaitan dengan Ada mengada (Heidegger, 1962:33)

Eksistensialitas disini bukan berarti kondisi dasein dimana berhadapan hanya dengan Adanya, akan tetapi eksistensialitas merupakan sebuah pemahaman dimana dasein melingkupi baik ontis maupun ontologis. Dasein juga tidak selamanya berhadapan dengan Adanya, karena eksistensialitas itu mencakup seluruh aktivitas dasein maka dasein juga larut dalam keseharian untuk tidak berhadapan dengan Adanya. Heidegger menyebut kondisi dasein yang berhadapan dengan Adanya dengan otentik (eigentlich / authentic) dan larut dalam kesehariannya dengan sebutan in-otentik (in-authentic) (Heidegger, 1962:171)

Eksistensialitas dasein bagi Heidegger merupakan bagian dari dasein yang Ada-dalam-dunia. Eksistensialitas dasein ditunjukkan dengan hubungannya dengan dunia dan eksistensialitas hilang ketika dasein meninggal dunia (death). Eksistensialitas dasein dalam Ada-dalam-dunia ditunjukkan dengan uraiannya sebagai Ada-dalam (Being-in). Sebagai Ada-dalam bagi dasein mengandaikan dirinya berhadapan dengan dirinya sendiri dan menemukan banyak fakta-fakta individual dasein untuk menemukan dirinya dalam kemampuannya-untuk-Ada (potetiality-for-being)(Heidegger, 1962:170).

Dasein dalam Ada-dalam bukan berarti terletaknya sesuatu di dalam, seperti air ada-dalam gelas. Ada-dalam bagi dasein berkaitan dengan bangunan eksistensialnya di sana di tempatnya terletak (di dunia) untuk menemukan kemungkinan-Adanya-secara keseluruhan (possibility-Being-a whole). Jadi Ada-dalam berarti juga Ada-disana bagi dasein sebagai Ada-dalam-dunia menunjukkan eksistensialitas dasein itu sendiri. “analisis karakter dari Ada sebagai Ada-disana adalah eksistensialitas, eksistensialitas tersebut ditunjukkan lewat keseharian dasein dalam Ada-dalam-dunia“ (Heidegger, 1962:172).

Dasein sebagai Ada-disana memiliki beberapa bentuk yang mendasar yang ditunjukkan dalam kemampuannya-untuk-Ada sebagai sebuah eksistensialitas yang mendahului Ada-nya, diantaranya adalah suasana hati (stimmung / mood), berbicara (beralih) dengan yang lain (gerede), pemahaman (verstehen / understanding), dan interpretasi yang ditekankan dengan sikap (Heidegger, 1962:172). Eksistensialitas sebagai ada melampui dirinya juga diarahkan kepada masa depan. Eksistensialitas terjebak pada waktu yang menentukannya di depan, dalam mana totalitasnya terpenuhi. Masa depan adalah proyek dari eksistensialitas dasein di mana dasein menjumpai dirinya masuk dalam ketiadaan (kematian). Eksistensialitas itu di batasi oleh kematiannya di depan, maka eksistensialitas berupaya mengantisipasi kehidupannya dengan menuju kemungkinannya pada Ada-menuju-kematian (Sein-zum-tode). Bagi Heidegger setidaknya ada 3 hal pokok tentang eksistensi manusia di dunia.
Kecemasan sebagai dasar suasana hati (Grundbefindlichkkeit)

Bagi Heidegger kecemasan (angst) adalah suasana hati dasar (Grundbefindlichkkeit) yang mendahului atau lebih primordial daripada segala suasana hati lainnya. Kecemasan di sini tidak bersifat keseharian melainkan kecemasan yang terdapat dalam Ada-dasein itu sendiri. Menurut Heidegger kecemasan berbeda dengan rasa takut, jika rasa takut jelas karena ada objeknya, misalnya seorang anak yang takut dengan amarah orang tuanya ketika anaknya belum juga tamat sekolah, maka takut yang dirasakan anak tersebut membuatnya mempersiapkan semuanya dengan berbagai cara untuk bisa tamat, membeli skripsi, plagiat dll. Sebagai buah dari rasa takut, ia tak pernah cemas karena tak pernah bertatapan dengan dirinya sendiri. Rasa takut segera larut dalam kesehariannya untuk mengupayakan segala cara tersebut. Sementara kecemasan menurut Heidegger objeknya adalah sesuatu yang melampaui keseharian yang penuh dengan motif-motif praktis entah itu beli skripsi, plagiat dll.

Rasa cemas bukanlah mengada di dunia ini. Karena itu rasa cemas pada hakikatnya tidak memiliki isi persoalan, objek kecemasan sama sekali tak tentu. Kecemasan muncul manakala dasein dalam kesendiriannya berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri. Bahwa kecemasan adalah Ada-dalam-dunia yang menyingkapkan keterlemparannya di dunia. (Heidegger, 1962:232)

Di sini Heidegger ingin menunjukkan bahwa kecemasan, disatu pihak, adalah suasana hati dasariah yang menyingkapkan keterlemparan dasein, dan di lain pihak adalah suasana hati yang timbul dengan latar belakang tersingkapnya keterlemparan itu dalam satu momen eksistensial. Karenanya “kecemasan” demikian Heidegger, “menyendirikan dasein pada Ada-di-dalam-dunia-nya yang tak dapat dipertukarkan dengan orang lain” (Heidegger, 1962:229). Kecemasan berkaitan dengan Ada. Rasa cemas menghempaskan dasein pada eksistensinya di dunia ini, yaitu menyingkap bahwa dasein ada untuk kemungkinannya sendiri.

Heidegger berbeda memandang kecemasan dengan Kierkegaard sebagai bapak eksistensialisme yang bertitik tolak pada kecemasan sebagai landasan eksistensialnya. Jika Kierkegaard mencoba mengatasi kecemasan dengan meloncat ke dalam iman. Menurut Heidegger, manusia cemas justeru karena meloncat dalam kekosongan. Rasa cemas ini selalu dihayati sebagai das Unheimliche, yaitu yang asing, ganjil, mengerikan (uncanny) dan tidak nyaman; orang tidak hanya terdampar ke ketiadaan, melainkan juga tak dimanapun. Kekosongan yang menimbulkan rasa cemas bukanlah nol, melainkan sesuatu. Menurut Heidegger dasar Ada manusia adalah suatu palung tanpa dasar, suatu ketiadaan dasar, suatu ketiadaan (nicht), dimana Ada manusia itu secara dasariah adalah suatu ‘ketiadaan dirinya sendiri’ (Hardiman, 2003:78-79).

Kecemasan yang paling menonjol bagi dasein datang saat momen paling otentik yang dihadapinya. Seperti yang disebut di atas momen eksistensial dasein itu menurut Heidegger kalau tidak otentik berarti in-otentik. Momen eksistensial otentik muncul didorong oleh kecemasan yang khas dimiliki oleh setiap dasein. Dalam momen otentik dasein menyadari keterlemparannya di dunia, ia tidak tahu kenapa ia ada, mau kemana, dan apa yang ditujunya. Namun tidak ada dasein yang berlama-lama atau terus menghadapi kecemasannya dari keterlemparannya di dunia, karena dasein juga pada kenyataannya tidak selamanya otentik. Disini otentisitas yang dimaksud pada momen eksistensial bukan kembali kepada iman agama yang mungkin secara pasti dapat menjawab keterlemparan dasein di dunia. Kecemasan bahkan telah ada sebelum keputusannya muncul atas loncatannya kepada iman agama. Bisa diandaikan jika agama tidak ada, atau dasein yang sama sekali tidak dikenalkan dengan sebuah sistem agama manapun.

Kecenderungan dasein adalah lari dari kecemasannya dengan larut dalam kesehariannya. Hal ini menurut Heidegger merupakan momen in-otentik dari dasein. Seseorang mungkin tidak tahan menghadapi keterlemparannya dan ia berusaha melarikan dirinya kepada hal yang lain untuk ikut terseret dalam keseharian bersama mengada lainnya baik itu kesibukan dengan dunia praktis (besorge) maupun pemeliharaan dengan Ada-bersama dasein lainnya (fusorge). Heidegger menyebut beralih (berbicara) kepada yang lain (gerede) sebagai “cara pemahaman dasein yang tercerabut“ (Heidegger, 1962:213). Cara pemahaman dasein yang tercerabut bagi dasein disini bukan berarti dasein dalam posisi negatif, akan tetapi dasein itu memang benar sekaligus palsu yang menyebabkan eksistensialitasnya berada pada dua posisi yang saling berlawanan. Suatu kali dasein memang berada pada keadaan otentik saat ia menentukan keputusan penting dalam hidupnya yang ditala oleh kecemasannya. Dan dasein juga lebih sering in-otentik karena larut dalam kesehariannya bersama yang lain dengan zuhandenes, vorhandenes dan mitdasein.
Pemahaman dasein sebagai Ada-melampaui-dirinya

Pemahaman dasein adalah sentral eksistensialitas dasein sebagai dasein yang Ada-dalam-dunia. Pemahaman dasein membuat dasein satu-satunya yang terletak di dunia yang memiliki kemungkinan-untuk-berAda (possibility-for-Being). Dasein sebagai entitas di dunia tidak seperti entitas-entitas lain yang tereduksi pada Ada disuatu saat, melainkan memiliki kapasitas yang terus-menerus menjadi. Heidegger menyebut dasein di dunia sebagai entitas dalam “kebeluman terus-menerus sampai masa depan yang datang menghampirinya“ (Heidegger, 1962:167). Dasein tidak seperti benda-benda pasif, ia memiliki cita-cita, keinginan dan harapan juga masa depan yang terencana. Namun kapasitas dasein yang terus menjadi dalam kebeluman terus-menerus tidak tak terbatas. Dasein tetap dipengaruhi oleh latar belakang cultural dimana dasein terlempar.
Interpretasi diri / Hermeneutika (Aus-legung)

Bagi Heidegger, interpretasi adalah kerja dasein yang jatuh, jatuh dan kemudian mengambil jalan keluar. Interpretasi mengandaikan sikap dasein di dunia, dimana interpretasi merupakan interaksi dasein dalam kesadaran dunia. Menurut Husserl, di dalam interaksi kesadaran dunia, dunia bukanlah partner yang setara. Baginya kesadaran adalah dasar dunia, pembentuk dunia, tetapi bukan jalan keluar ke dunia. Faktisitas keberadaan bahkan merupakan datum kesadaran. Berbeda dengan Heidegger. Bagi Heidegger, faktisitas keberadaan merupakan sesuatu yang jauh lebih fundamental dari kesadaran dan pengetahuan manusia. Heidegger dalam interpretasi bertolak dari “kehidupan faktis“, bukan dari kesadaran (wessensschau) seperti Husserl, melainkan bertolak dari pemahaman (verstehen).(Puspoprodjo, 1987:75).

Dalam buku Being and Time, Heidegger dengan eksplisit menyebut metode fenomenologinya sebagai hermeneutika (Heidegger, 1962:58-61). Fenomenologi sebagai kombinasi dari kata Yunani phainesthai dan logos berarti membiarkan benda-benda menjadi manifes sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada entitas-entitas tersebut (Heidegger, 1962:58). Hal ini jelas merupakan suatu kebalikan dari yang biasa. Dalam hal ini interpretasi memuat bahwa bukan orang yang melihat yang menunjuk entitas, melainkan entitas-entitas tersebut yang menunjukkan dirinya pada kita. Fenomenologi hermeneutika Heidegger de facto adalah ontologi, dan ontologi niscaya menjadi fenomenologi, sebagaimana yang telah dikatakan Heidegger “hanya sebagai fenomenologi, maka ontologi mungkin“ (Heidegger, 1962:60). Tanpa perkosaan yang bagaimanapun, manusia dasein harus dibiarkan mengungkapkan diri setuntasnya. Lewat suatu dogmatisme memang suatu realitas dapat dipaksa terlihat sebagaimana yang diingini, tetapi membiarkan sesuatu tampak sebagaimana adanya merupakan masalah kesediaan belajar mengizinkan sesuatu tadi menampakkan diri sebagaimana apa adanya karena suatu hal tadilah yang menjadikan dirinya terlihat. Inilah yang menjadi landasan fenomenologi Heidegger sebagai interpretasi eksistensial dasein. Dasein niscaya menunggu “peristiwa“ Ada (ereignis), dengan menjaga sambil berpikir, dan bukannya mencoba mengekangnya sambil merencanakan dengan perhitungan.

“Ontologi sebagai fenomenologi “Ada“ harus menjadi suatu hermeneutika yang membuka apa yang tersembunyi, bukan interpretasi atas suatu interpretasi (yakni suatu teks), melainkan kegiatan primal interpretasi yang mula pertama mengeluarkan sesuatu dari ketersembunyiannya. Jelaslah bahwa hermeneutika Heidegger bukan metodologi filologis serta bukan pula metodologi Geisteswissenschaften menurut pola Dilthey. Hermeneutika bukan lagi sekedar pembinaan sikap (membuka diri, peningkatan kemampuan mendengar, menyingkirkan segala bentuk prasangka) atau keterampilan yang senantiasa perlu ditingkatkan (kesanggupan membaca dengan kritis, kesanggupan menerapkan aturan hermeneutika), melainkan hermeneutika adalah ciri hakiki manusia.“ (Puspoprodjo, 1987:77).

Oleh karena hermeneutika sebagai ciri hakiki dasein, maka interpretasi merupakan sesuatu yang sudah lekat dengan dasein itu sendiri. Interpretasi mendahului setiap interaksi kesadaran dunia dari manusia (dasein). Interpretasi bagi Heidegger adalah jalan pemahaman menjadi berkembang, terisi dan berbicara. Pemahaman dan interpretasi berbeda bukan dalam jenis tetapi dalam tingkat kelengkapan. Interpretasi membuat kemungkinan-kemungkinan yang diproyeksikan pemahaman menjadi menentukan dan spesifik. (Caputo, 1987: 69). Interpretasi seperti juga pemahaman adalah sesuatu yang kita punyai “selalu tersedia”. Pengerjaan pemahaman ke dalam interpretasi yang dikembangkan secara penuh terkandung dalam penumpukan interpretasi “fore-stuctur” secara bersama-sama yang membentuk apa yang oleh Heidegger disebut “situasi hermenetik”. (Heidegger, 1962: 321).

Segalanya berkisar pada fakta, bahwa setiap orang telah memahami siapa dirinya, bahkan Ia menginterpretasikan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang berpikir, sekedar persepsi roh absolut atau dalam pengertian konstruksi metafisika lainnya. Segalanya berkisar pada kemampuan kita untuk mengatakan hal ini “analisis eksistensial” adalah laporan yang membahasakan, bahwa kita telah memahami, tetapi tidak dapat mengatakannya karena praduga-praduga metafisika tradisional. Analisis eksistensial membahasakan, meletakkan dan membebaskan siapa diri kita dan apa cara ber-Ada kita. Hal itu karena setiap interpretasi yang menyumbang sesuatu harus sudah memahami apa yang diinterpretasikan, dalam arti interpretasi adalah sesuatu yang sudah kita miliki secara faktis.


Posting Komentar untuk "Eksistensialisme dan Fenomenologi dalam Filsafat Manusia"