Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Landasan Komunikasi Manusia dan Bahasa dalam Filsafat

Landasan Komunikasi Manusia dan Bahasa dalam Filsafat - Pada artikel mengenai sosialitas manusia telah disebutkan bahwa manusia saling membentuk dan meng’ada’kan antara manusia dengan yang lainnya. Sosialitas manusia ini merupakan salah satu struktur hakiki pada manusia dalam totalitasnya sebagai manusia. Manusia berkorelasi dengan yang-lain. Hubungan ini menampakkan diri di dalam macam-macam kegiatan manusia dalam komunikasinya dengan dirinya sendiri dan yang-lain; Manusia menyadari dirinya atas keberadaannya, atas patahan hidupnya dalam banalitas kesehariannya, memproyeksi segala kemungkinannya, ia memahami yang-lain, berbicara, bercinta-kasih, belajar, bekerja, memelihara dan lain-lain yang mengandaikan adanya saling membentuk dan meng’ada’kan. Jika struktur manusia itu adalah sosialitasnya, maka komunikasi adalah bentuk dan kegiatan dari sosialitas manusia di dunia. Kegiatan yang beraneka warna ini perlu diselidiki menurut dasarnya, menurut struktur manusiawi yang pokok. Apa yang menjadi dasar dari komunikasi manusia, lebih jauh apa dasar sosialitasnya di dunia? Lalu bagaimana bentuk komunikasi manusia itu?

Landasan Komunikasi Manusia dan Bahasa dalam Filsafat_
image source: www.fluentu.com

Landasan Komunikasi Manusia

Secara implisit diatas telah kita kemukakan bahwa landasan komunikasi manusia adalah sosialitas manusia di dunia. Sosialitas manusia sebagai struktur dasar manusia pada hakikatnya dilatari dan berkembang oleh interpretasi manusia pada kejatuhannya di dunia dalam mengatasi kecemasan keterlemparannya sebagai ada-di-dalam-dunia begitu saja. Dalam penghayatan keterlemparannya itu, manusia selalu ‘jatuh’ dan melarutkan diri dengan dunia tempat dimana ia terlempar dengan cara terlibat dengan dunia-nya yang ditunjukkan dalam sosialitas yang dikembangkannya. Dengan demikian, sosialitas manusia mau-tak mau selalu dimiliki dan melekat pada manusia sebagai ciri yang dimilikinya secara bersama.

Sosialitas manusia yang ditandai dengan ‘larut’nya manusia dalam dunianya itu, berisi hubungan dan korelasi manusia dengan yang lain didunia baik dengan cara mengurus maupun memperhatikan, memaklumi dll dalam kegiatan-kegiatan bersama antara ‘aku’ dan yang-lain. Sosialitas manusia yang demikian ini tidak terjadi begitu saja dalam hubungan dan korelasi ‘aku’ dan yang-lain, melainkan memuat isi hubungan dan korelasi itu yang ditandai oleh adanya ‘komunikasi’ di dalamnya. Baik mengurus maupun memperhatikan dan kegiatan-kegiatan yang melibatkan antara ‘aku’ dan yang-lain selalu menunjuk adanya komunikasi di dalamnya. Oleh sebab itu, sosialitas manusia melatari dan menjadi landasan bagi terbentuknya komunikasi pada manusia, baik komunikasi yang dikembangkan dalam hubungan antar subjektif manusia maupun hubungan dengan dunia infrahuman atau manusia dengan non-manusia. Semua hubungan/korelasi dalam sosialitas manusia sebagai struktur manusia di dalam-dunia selalu mengandaikan adanya ‘komunikasi’ manusia di dalamnya.

Komunikasi yang terjadi dalam sosialitas manusia itu bentuknya juga isinya adalah ‘bahasa’. Jika mengurus, memperhatikan dll dalam kegiatan manusia merupakan isi dari sosialitas manusia di dunia, maka ‘bahasa’ adalah isi dari ‘komunikasi’ yang dilatari oleh sosialitas manusia. ‘Bahasa’ dengan demikian menjadi ujung tombak dari isi kegiatan sosialitas manusia dalam keterlemparannya di dunia.

Bahasa

Komunikasi manusia merupakan bentuk kegiatan dalam sosialitas manusia. Komunikasi dalam kerangka sosialitas manusia menunjukkan adanya korelasi dan hubungan antara manusia dan yang lainnya. Komunikasi yang mengandaikan hubungan dan korelasi dalam sosialitas manusia itu tidak hadir begitu saja melainkan lewat sebuah wadah atau alat yang disebut bahasa.

Bahasa dalam kaitannya dengan konsep sosialitas manusia tidak bisa dipahami sebagai sebuah bentuk sistem komunikasi, sebagaimana sistem komunikasi non manusia, seperti sistem komunikasi lebah misalnya atau sistem komunikasi komputer dll, untuk manusia bahkan ia membahasakan dirinya dan berkata-kata dengan dirinya sendiri. Bahasa, bukanlah suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan pada bahasa terletak kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa (Gadamer). Di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap. Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa.

Bahasa dalam konteks komunikasi manusia pada dasarnya adalah ‘rumah’ bagi eksistensi manusia (Heidegger). Sebagai ‘rumah’, manusia bermukim di dalam bahasa. Ia menyampaikan diri dan terbuka di dalam dan lewat bahasa. Bahasa merupakan ungkapan keseluruhan dari totalitas eksistensi yang membuka diri terhadap dunia. Bentuk bahasa bisa berupa gerak eksistensi, simbol dan berbicara. Ketiganya sekaligus merupakan alat bagi bahasa dalam keterbukaan eksistensi manusia.

Bentuk-Bentuk Bahasa

1. Bahasa dalam bentuk gerak eksistensi

Bahasa merupakan alat manusia dalam berkomunikasi dengan dirinya dan sesama manusia, sedang komunikasinya dengan selain manusia tidak ada bahasa melainkan mengurus dan mengelola. Bahasa dalam arti ini juga berarti pemeliharaan atau penuh perhatian untuk mendengarkan eksistensi membuka diri kehadapan ‘aku’ manusia. Bahasa sebagai gerak eksistensi dalam penggunaan ini tidak merujuk seperti model komunikasi verbal sehari-hari yang mudah dipahami, melainkan merupakan suatu model komunikasi eksistensial. Komunikasi yang bergerak pada poros eksistensi manusia, lewat pemahaman, penafsiran dan percakapan.

Ketika seorang pemudi ‘cabe-cabean’ memikirkan nasibnya yang sudah terperosok dalam dunia hitam, ia kemudian menafsirkan situasi. Ia mencoba keluar dari keterpurukan dengan menafsirkan peristiwa yang ia alami. Ia mungkin melihat keterperosokannya ‘sebagai’ peluang untuk berkembang. Rumusan penafsiran ini berakar pada suatu sikap pra-verbal, yaitu komunikasinya dengan dirinya sendiri (bereksistensi) dimana kata ‘sebagai’ itu merupakan penafsirannya yang tak lain berarti mengorientasikan dirinya kepada segala kemungkinannya ke depan.

Demikian juga ‘percakapan’ bukanlah komunikasi verbal, melainkan suatu penyampaian makna yang mendahului artikulasinya dalam bahasa. Karena itu dalam ‘diam’ manusia juga bisa bertutur. Ini bukan paradoks, melainkan menunjukkan bahwa percakapan bukan pengucapan makna secara verbal, melainkan penyampaian makna tanpa artikulasi apapun. Seperti kira-kira pertemuan diantara dua orang kekasih yang telah lama berpisah, sesaat setelah bertemu hanya terpaku dan saling menatap, tanpa bicara sepatah katapun. Momen ini sarat dengan makna yang tak dapat diartikulasikan, namun disampaikan lewat disposisi dasar eksistensial mereka masing-masing. Inilah percakapan eksistensial, dalam diam Ia berkata-kata lewat gerak eksistensi masing-masing.

2. Bahasa dalam bentuk simbol.

Bahasa dalam bentuknya yang lain sering juga dipahami secara umum dalam bentuk simbol. Simbol berasal dari kata symballo yang berasal dari bahasa Yunani. Symballo artinya ”melempar bersama-sama”, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau konsep objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa depan maupun masa lalu. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Semisal ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol.

Simbol paling umum ialah tulisan, yang merupakan simbol kata-kata dan suara. Lambang bisa merupakan benda sesungguhnya, seperti padi dan kapas (lambang kemakmuran) dan tongkat (yang melambangkan kekayaan dan kekuasaan). Lambang dapat berupa warna atau pola. Lambang sering digunakan dalam puisi dan jenis sastra lain, kebanyakan digunakan sebagai metafora atau perumpamaan. Lambang nasional adalah simbol untuk negara tertentu dll.

Simbol sebagai bentuk lain dari bahasa memberikan kemungkinan apa saja terhadap aktualitas dunia. Dalam makna positif simbol dapat mengembangkan kebudayaan manusia dalam sosialitasnya di dunia. Simbol sebagai bentuk bahasa berkembang menjadi semiotika, bahkan menurut van Zoest (1993) Manusia adalah homo semioticus,. Kata semiotika sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ”tanda” atau seme yang berarti ”penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. ”Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain; contohnya, asap menandai adanya api.

Apabila diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra, misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik). Sebuah teks dan semua hal yang mungkin menjadi ”tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda, yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi. Perhatikan rumusan berikut: S (s, i, e, r, c). S adalah untuk semiotic relation; i untuk interpreter, e untuk effect; r untuk reference; dan c untuk context atau conditions.

Meski dalam semiotika manusia disebut sebagai homo semioticus, namun—sejak Ernst Cassirer dan Susanne Langer—dalam kepustakaan filsafat, manusia kerap pula disebut sebagai animal simbolicum. Maka itu, jika disandingkan, kedua pengertian atau sebutan ini tentu saja memerlukan penjelasan tentang persamaan dan perbedaannya. Jelas bahwa perbedaan “animal” dan “homo” sudah memunculkan problematika, terutama mereka yang tidak akrab dengan pemikiran ilmu-ilmu alam, apalagi teori evolusi menganggap sebutan “animal” untuk manusia itu dianggap penghinaan. Pemikiran Ernst Cassirer memang dilatarbelakangi oleh pemikiran biologi dan psikologi hewan, sehingga bagi Cassirer, fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus ciri keagungannya. Gagasan Cassirer didasari oleh prinsip-prinsip biosemiotik von Uexkull yang diterapkan pada manusia, sehingga dengan memperoleh sistem simbolis, ia memperoleh sebutan baru, animal simbolicum.

Kesalahan terbesar manusia dalam memahami simbol adalah menganggap bahwa simbol adalah substansi. Sehingga mereka kerap kali terjebak pada pembenaran terhadap semua hal yang hanya bersifat kasat mata sebagai kebenaran hakiki. Muara dari kesalahan itu adalah fanatisme. Contoh kasus: Agama X menyebut kata Tuhan dengan sebutan X1, sedangkan agama Y menyebutnya dengan Y1. Masing-masing agama mengklaim bahwa penyebutan yang benar adalah menurut cara mereka masing-masing. Di luar penyebutan itu, dianggap sebagai ajaran sesat. Begitu pula dengan bahasa yang dipakai. Agama A menggunakan bahasa A1 baik dalam kitab sucinya, maupun dalam tata cara ibadah. Di lain pihak, agama B memilih menggunakan bahasa B1. Perbedaan simbolik yang hanya terletak pada permukaan itu dijadikan alasan untuk saling membenci, dan memusuhi satu sama lain.

3. Bahasa dalam bentuk berbicara

Berbicara merupakan bentuk bahasa yang pada umumnya sama dengan bahasa dalam bentuk simbol, akan tetapi jika bahasa dalam bentuk simbol berkembang menjadi semiotika dalam makna bahasa secara apriori pada ide-ide tulisan, maka pada berbicara, semiotika makna bahasa berkembang pada tataran aposteriori dalam pengalaman hidup sehari-hari.

Setidaknya terdapat tiga hal bentuk bahasa dalam berbicara. Pertama, berbicara adalah suatu gejala yang terang. Nampaknya, sebagian besar manusia di dunia kini menghabiskan waktunya dengan bahasa. Para sastrawan menemukan jati dirinya lewat bahasa. Para hakim, jaksa, pengacara, dosen, wartawan, penulis, penyiar radio-televisi, perancang iklan, dsb, memperoleh nafkahnya dari kemahiran berbahasa. Bahasa meluber di tempat kita bekerja, di kantor, di bengkel, di toko, atau di mal-mal. Berdebat di ruang pengadilan, belajar di bangku kuliah, mengisi teka-teki silang di kamar penjara, membeli tahu-tempe di pasar, semuanya berjalan dengan perantaraan bahasa. Bahasa memang memiliki kemampuan untuk menyatakan lebih daripada apa yang disampaikan. Bahasa lebih dari sekadar alat mengkomunikasikan realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas. Efek wilayah tak-sadar manusia pun bahkan dapat dilihat dalam bahasa dan seringkali tampil dalam bentuk salah ucap (misal, keseleo lidah, kelupaan akan nama, dan sebagainya). Wacana komunikasi umumnya terganggu karena wilayah tak-sadar mengalami gangguan tetapi menurut keteraturan struktural tertentu. Dengan cara ini, psikoanalis Perancis, Jacques Lacan, menghubungkan yang tak-sadar dengan bahasa. Dalam perspektif semiotika, bahasa adalah rantai penandaan. Apabila di dalam praktik bahasa, rantai penandaan terputus, maka terjadi gangguan dalam proses reproduksi bahasa, sehingga menghasilkan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai ”bahasa skizofrenia”—salah satu bahasa dominan posmodernisme.

Suatu kenyataan yang tidak bisa luput dari perhatian setiap orang adalah pengalamannya bahwa dalam masyarakat manusia yang bagaimanapun bentuknya, selalu terdapat suatu bahasa yang cukup rumit susunannya. ”Antara jeritan yang paling jelas dari hewan mengajak kawannya berkencan atau memberi peringatan atau menunjukkan marahnya, dengan perkataan manusia yang paling tak mengandung arti, terdapat tahapan evolusi yang luas.” (Langer). Bahasa berbeda sifatnya dari semua sistem komunikasi antara hewan, berhubung dengan bahasa bersifat simbolis; artinya suatu perkataan mampu melambangkan arti apapun, walaupun hal atau barang yang dilambangkan artinya olah kata itu tidak hadir. Hal ini mengandung implikasi yang hebat untuk pewarisan kebudayaan.

Kedua, tema bahasa atau pun wicara merupakan salah satu tema yang terpilih dan disukai oleh pemikiran kontemporer. Bahkan, sejak dahulu, para ahli pikir menyebut manusia sebagai makhluk yang dilengkapi dengan tutur bahasa (istilah animal rationale berpangkal pada istilah Yunani logon ekhoon: dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi). Istilah Yunani logos menunjukkan arti sesuatu perbuatan ataupun isyarat, inti sesuatu hal, cerita, kata ataupun susunan. Logos menunjukkan ke arah manusia yang mengatakan sesuatu mengenai dunia yang mengitarinya. Maka itu, para filsuf Yunani berbicara sekaligus mengenai logos di dalam manusia sendiri (kata, akal budi) dan logos di dalam dunia (arti, susunan alam raya). Logos berarti mengatakan sesuatu yang komponennya berkaitan yang satu dengan yang lain, karenanya menyesuaikan diri, mendengarkan; kenyataan yang kita tuturkan lewat kata-kata sekaligus terangkum dalam istilah ”logos” itu (van Peursen). Bahasa, menurut Gadamer, bukanlah suatu perlengkapan yang melengkapi manusia di dunia ini. Di dalam dan pada bahasa terletak kenyataan bahwa manusia mempunyai dunia. Keberadaan dunia diletakkan secara bahasa. Di dalam bahasa, aspek-aspek dunia terungkap. Mempunyai dunia adalah serentak juga mempunyai bahasa. ”Melalui ’kata dan logat yang tepat’, seseorang dapat menggerakkan dunia,” kata Joseph Conrad (Brussell, 1988). Inilah kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata, the power of words; inilah yang membedakan manusia dengan binatang.

Ketiga, perbuatan berbahasa menggambarkan keseluruhan manusia atau manusia secara menyeluruh. Louis Hjelmslev mengatakan bahwa suatu bahasa selalu mempunyai dua segi, yaitu segi ekspresi dan segi isi. Apabila segi ekspresi adalah segi seleksi kata-kata, maka rangkaian kata-kata tadi dapat memberikan arti khusus, yaitu umpamanya dengan memindahkan tempat kata=lata sehingga didengar lebih indah dan halus. Hal ini sering dilakukan oleh puisi. Selain itu, Hjelmslev juga mengatakan bahwa bahasa mempunyai bentuk dan substansi. Substansi adalah kata atau ungkapannya, sedangkan bentuk adalah apa yang diberi oleh pembicara kepada kata yang dipakainya. Melalui bentuk yang dipilih oleh pembicara, maka suatu kata memperoleh arti dan makna. Tergambar jelas dari uraian ini, dalam perbuatan berbicara, seluruh pribadi manusia itu, tersangkut badan dan jiwa, pancaindera, dan roh, yaitu manusia secara konkret, dalam sikapnya yang paling biasa dan dalam hubungannya dengan orang lain.

Bahasa Sebagai Bentuk Pernyataan

Untuk memahami apa yang dimaksud ‘bahasa’, kiranya ada baiknya jika kita melihat beberapa hal yang melekat padanya. Pertama, bahasa terdiri dari simbol-simbol. Tetapi bahasa tidak boleh dinyatakan sebagai suatu sistem yang terdiri dari sejumlah hal yang disebut simbol. Bahasa merupakan suatu sistem yang memungkinkan terbentuknya suatu jumlah simbol yang tak terbatas. Tambahan lagi unsur-unsur bahasa, misalnya kata, tidak bisa berdiri sendiri terlepas dari suatu bahasa. Jadi, bukannya ada sejumlah simbol atau kata lebih dulu, kemudian muncul bahasa yang dibentuk dengan menyatakan simbol-simbol itu, melainkan sebaliknya.

Kedua, bahasa sebagai suatu sistem harus dimengerti sebagai bahasa yang dapat dianalisis ke dalam unsur-unsurnya, misalnya kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, dan seterusnya. Selanjutnya ada peraturan permainan yang menentukan arti seluruh kalimat atau pernyataan yang dapat dipahami melalui pemahaman arti unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut mempunyai makna berdasarkan ‘persetujuan’, dalam arti diterima umum, yaitu oleh pemakai bahasa yang bersangkutan.

Ketiga, sistem yang terlibat di dalam suatu bahasa dapat dipergunakan di dalam komunikasi. Pada umumnya, agar suatu kalimat memiliki makna tertentu haruslah kalimat itu dapat digunakan untuk menyatakan suatu sikap, mengajukan permintaan, janji atau saran, menyalahkan dll. Dan tentu saja kita juga harus ingat sebagaimana diatas bahwa bahasa juga digunakan diluar konteks komunikasi interpersonal, misalnya dalam pikiran, renungan pribadi dan juga di dalam suatu penyataan perasaan secara spontan tanpa memperhatikan orang lain.

Keterbatasan Bahasa dalam Pernyataan

Meskipun kita cenderung untuk berpegang bahwa kata-kata mempunyai arti tertentu, namun arti tersebut tidaklah selalu pasti, jelas dan terang. Arti tidak melekat seluruhnya pada kata, sehingga kalau suatu kata terlepas dari konteksnya seringkali tidak mudah untuk ditangkap arti persisnya. Kadang-kadang arti tersebut tergantung pada bentuk gramatika kalimatnya, pada kesempatan lain tergantung pada konteks sastranya. Salah satu tugas filsafat dalam sistematika filsafat adalah selalu mengkaji arti dari kata-kata dan pernyataan-pernyataan yang dipergunakan untuk menyatakan suatu gagasan. Seorang pemikir atau filsuf tidak boleh hanya puas dengan ide-ide dasar dan pernyataan-pernyataan primitif sebagaimana umumnya dipergunakan.

Kiranya tidak dapat dikatakan bahwa manusia mampu secara penuh dan eksplisit menyatakan prinsip-prinsip pertama. Sebab kata dan pernyataan harus diregang sampai mencakup suatu generalisasi yang sampai saat ini asing bagi penggunaan mereka. Disisi lain perlu diingat, bahwa setiap pernyataan selalu merupakan bagian dari konteks keseluruhan suatu sistem ide. Sebagaimana yang diperikan oleh tokoh analitika bahasa Wittgenstein bahwa dalam permainan bahasa Sistem ide yang berbeda-beda perlu merumuskan bahasa mereka sendiri, sehingga mereka dapat memenuhi tuntutan ketepatan atau kesesuaian antara fakta, data dan maksud dalam bahasa.

Perkembangan Bahasa dalam Pemikiran Filsafat

Bahasa perlahan-lahan berkembang sebagai tema sentral filsafat hingga kini, hal ini dapat dilihat dalam konstelasi pemikiran filsafat modern. Pertama, pada periode Frege, Husserl, Wittgenstein awal, dan Carnap, bahasa dipahami secara—meminjam peristilahan Derrida—logosentris. Dimensi-dimensi dasar bahasa dianggap hanya tampil dalam fungsi-fungsi logisnya, misalnya dalam bentuk penilaian, pernyataan, dan representasi.

Kedua, terpantul dalam pergeseran pemikiran Wittgenstein, dalam kemunculan filsafat bahasa sehari-hari tahun 1950-an, dalam kategori ”speech-act” maupun dalam teori-teori yang bersifat pragmatik (Austin, Grice, Searle), bahasa dilihat dalam sifat kontekstual dan pragmatisnya. Bagi Wittgenstein, misalnya, bahasa hanya dapat dimengerti dalam kerangka ”bentuk-bentuk kehidupan” yang merupakan konteks bagi pemakaian bahasa itu. Di dalam Speech Acts, J.R. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang mungkin diwujudkan oleh seorang penutur di dalam berbahasa, yakni tindakan untuk mengungkapkan sesuatu (locutionary act), tindakan untuk melakukan sesuatu (illocutionary act), dan tindakan mempengaruhi lawan bicara (prelocutionary act). Secara berturut-turut, ketiga jenis tindakan itu disebut sebagai the act of saying something, the act of doing something, dan the act of affecting something.

Ketiga, sebagian terpengaruh oleh perkembangan di luar filsafat sendiri, yaitu di wilayah susastera dan kritik teks umumnya, sebagian lagi merupakan perkembangan lanjut dari dunia filsafat sendiri; bahasa akhirnya dilihat nilai intrinsiknya, dikaji ulang hakikat dan fungsinya. Tahap ketiga ini melibatkan semiotika, strukturalisme, hermeneutika, dan post-strukturalisme.


Posting Komentar untuk "Landasan Komunikasi Manusia dan Bahasa dalam Filsafat"