Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Perkembangan Bahasa, Moral, dan Psikososial

Memahami Perkembangan Bahasa, Moral, dan Psikososial - Bahasa adalah bentuk komunikasi-baik lisan, tertulis, atau ditandatangani, yang didasarkan pada system symbol. Bahasa terdiri atas kata-kata yang digunakan oleh komunitas dan aturan untuk memvariasi dan menggabungkan mereka. Semua bahasa manusia memiliki beberapa karakteristik umum: satu, mencakup kemampuan untuk menghasilkan jumlah banyak kalimat bermakna dengan menggunakan seperangkat kata-kata dan aturan yang terbatas yang disebut juga infinet generativity.
Baca juga: Perkembangan Individu dan Pengaruhnya Dalam Proses Belajar
Ada lima sistem aturan: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Fonologi adalah system suara dari bahasa, termasuk suara yang digunakan dan bagaimana mereka dikombinasikan, misalnya: bahasa inggris memiliki suara sp, ba, dan ar, namun tidak terdapat suara urutan zx, dan pq. Morfologi mengacu pada unit makna yang terlibat dalam pembentukan kata. Morfem adalah satuan minimal makna, hal tersebut adalah kata atau bagian dari kata yang tidak dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil yang bermakna, contoh: bantu (satu morfem), pem-bantu (dua morfem). Dengan demikian tidak semua morfem adalah kata, contoh: pem, mem, ter dan lain-lain. Sintaks cara penggabungan kata-kata untuk membentuk frasa dan kalimat yang dapat diterima. Semantik adalah makna kata dalam kalimat. Pragmatik adalah set terakhir aturan bahasa, penggunaan yang tepat dari bahasa dalam konteks yang berbeda.

Perkembangan Bahasa, Moral, dan Psikososial_
image by: www.zimbio.com

I. Pengaruh biologis dan lingkungan

Ahli bahasa tekenal Noam Chomsky (1957) berpendapat bahwa manusia telah dipersiapkan untuk belajar bahasa pada waktu tertentu dan dengan cara tertentu. Beberapa ahli bahasa melihat kesamaan yang luar biasa dalam bagaimana anak-anak memperoleh bahasa di seluruh dunia meskipun variasi luas dalam masukan bahasa yang mereka terima sebagai bukti kuat bahwa bahasa memiliki dasar biologis.

Meskipun ada pengaruh biologis, anak-anak jelas tidak belajar bahasa dalam ruang hampa sosial. Anak-anak bukanlah ahli bahasa biologis secara eksklusif dan bukan arsitek sosial bahasa yang eksklusif juga. Tidak peduli berapa lama anda berkomunikasi dengan anjing, mereka tidak akan belajar bicara, karena tidak memiliki kapasitas dalam belajar bahasa seperti manusia. Sayangnya, beberapa anak gagal mengembangkan keterampilan bahasa yang baik, bahkan di ada contoh dan interaksi yang baik. Pandangan interaksionis menekankan kontribusi biologi dan pengalaman dalam pengembangan bahasa. Artinya, secara biologis anak siap untuk belajar dan akan berkembang jika ada interaksi dengan pengasuhnya (orang tua ataupun significant other).

Di dalam ataupun di luar sekolah, member semangat untuk mengembangkan bahasa adalah kunci utamanya, bukan seberapa banyak praktik dan proses drilling. Perkembangan bahasa bukan hanya masalah memberikan penghargaan ketika mengatakan sesuatu yang benar dan mampu mencontoh pembicara (speaker). Anak-anak akan mendapatkan manfaatnya ketika orang tua dan guru melibatkan mereka dalam pembicaraan seperti: memberikan pertanyaan, dan menekankan komunikasi yang interaktif daripada directive.

II. Perkembangan Bahasa

a. Bayi

Mengoceh terjadi di tengah tahun pertama, dan bayi biasanya mengucapkan kata pertama mereka di sekitar 10 sampai 13 bulan. Saat berusia 18 sampai 24 bulan, bayi biasanya mulai merangkai dua kata bersama-sama. Dalam tahap dua kata ini, mereka cepat memahami pentingnya bahasa dalam komunikasi, menciptakan frasa seperti “itu buku”, “mama jalan”, dan “beri papa”.

b. Anak usia dini
Ketika anak-anak meninggalkan tahap dua kata, mereka bergerak lebih cepat di kombinasi tiga, empat, dan lima kata. Transisi dari kalimat sederhana mengekspresikan proposisi tunggal untuk kalimat kompleks dimulai antara 2 dan 3 tahun dan berlanjut ke tahun-tahun sekolah dasar.

Perkembangan dalam system bahasa: dalam hal fonologi anak usia preschool sudah mulai menyadari/ sensitive dengan bunyi dari kata, hal ini bisa dilihat mereka sangat menikmati rhyming, membuat nama-nama lucu sebagai pengganti nama yang sebenarnya,dan bertepuk tangan setiap suku kata dalam frasa diucapkan.

Ketika mereka bergerak dari luar dua suku kata, bahwa anak mengerti aturan dalam morfologi (makna dalam pembentukan kata), contoh: kata kerja, penggunaan artikel (contoh: sebuah…), kata preposisi (contoh: dalam, atas). Dan anak-anak terlalu “mengeneralisasikan” aturan ini, dan menggunakannya dalam kata yang tidak mengikuti aturan. Misalkan: mereka mengatakan “foots” bukan “feet” atau “goed” bukan “went”.

Eksperimen yang dilakukan oleh Jean Berko (1958) melakukan eksperimen dengan memberikan kartu ini kepada anak usia pre-school dan kelas satu. Anak diminta untuk melihat kartu ini dan eksperimenter membaca kata yang tertera. Kemudian si anak diminta untuk memberikan kata yang hilang. Mungkin hal ini kelihatan gampang, tapi Berko tertarik dengan kemampuan anak untuk mengingat kembali kata yang benar akan tetapi juga ingin melihat kemampuan mereka dalam mengatakan kata “yang benar” berdasarkan aturan morfologi. Anak mampu menjawab dengan benar. Dari hasil studi ini menunjukkan, bahwa anak mampu memahami aturan dari sebuah kalimat, dan anak mampu menggunakannya dalam situasi yang baru.

Anak usia pre-school juga belajar tentang sintaks. Setelah melampaui tahap “dua kata”, anak menunjukkan tumbuhnya penguasaan aturan yang kompleks untuk mengurutkan kata-kata secara benar.

Contoh: “daddy is going”( kalimat positif)---- “where daddy is going? (kalimat Tanya)

Anak mengerti harus menambahkan kata “where” untuk bertanya, namun ia membutuhkan waktu lebih lama untuk membentuknya menjadi kalimat yang tepat, seperti:

Contoh: “daddy is going”( kalimat positif)---- “where is daddy going? (kalimat Tanya)

Kosa kata berbicara aseorang anak usia 6 tahun berkisar dari 8000 hingga 14.000 kata. Dengan asumsi bahwa belajar kata dimulai ketika anak berusia 12 bulan, ini diartikan rata-rata lima sampai delapan arti kata baru per hari saat berusia 1 dan 6.

Oleh karenanya orang tua dan guru bisa membantu pengembangan bahasa anak dengan cara menggunakan teknologi seperti: mendengarkan cerita melalui tape recorder, headphone ataupun buku audio.

Selain perubahan sematik, terjadi juga perubahan substansial dalam pragmatic. Anak usia 6 tahun lebih baik dalam melakukan percakapan dibandingkan dengan anak usia 2 tahun, mereka tidak hanya berbicara tentang “here and now” tapi juga hal-hal yang abstrak dan tidak berwujud seperti: besok, saya mau bermain boneka.

Kemampuan membaca pada anak usia dini sangat ditentukan oleh lingkungan awal tempat anak tumbuh dan berkembang yang bisa memprediksi kesiapan mereka untuk sekolah. Studi menunjukkan bahwa pengalaman membaca (seberapa sering anak tersebut diberi bacaan), kualitas keterlibatan ibu dengan anaknya (seperti: upaya untuk merangsang kognitif anak) dan penyediaan bahan pembelajaran (seperti kesesuaian usia dengna buku bacaan) merupakan pengalaman yang penting dalam pengembangan bahasa pada keluarga dengan SES rendah.

c. Pertengahan dan akhir masa kanak-kanak

Selama pertengahan dan akhir masa anak-anak, perubahan terjadi berkaitan bagaimana kosa kata mental disusun. Ketika diminta untuk mengatakan kata pertama yang terlintas dalam pikiran ketika mereka mendengar kata, anak-anak prasekolah biasanya memberikan kata yang sering mengikuti kata dalam kalimat. Sebagai contoh, ketika diminta untuk menanggapi kata anjing, anak yang lebih mudda mungkin berkata “menyalak”, atau ketika diminta untuk menanggapi kata makan, mungkin ia berkata “makan siang”. Pada usia 7 tahun, anak mulai merespons dengna kata yang adalah bagian yang sama dari pembicaraan yang sesuai dengan kata yang diberikan. Contoh: anak akan merespon kata “anjing” dengan “kucing” ataupun “kuda”. “makan” dengan “minum”, hal ini menunjukan bahwa anak mulai mengembangakan konsep “kategorisasi” yang merupakan bagian dari bicara.

Selama tahun-tahun sekolah dasar, peningkatan anak-anak dalam penalaran logis dan kemampuan analisis membantu mereka memahami konstruksi, seperti penggunaan komparatif (contoh: lebih pendek, lebih cantik) dan subjektif (contoh: jika kamu jadi presiden…). Selama tahun-tahun sekolah dasar anak menjadi semakin mampu dalam memahami dan menggunakan tata bahasa yang kompleks dan lebih terhubung.

Kemajuan dalam kosakata dan tata bahsa selama tahun-tahun sekolah dasar disertai dengan pengembangan kesadaran metalinguistik, yaitu pengetahuan tentang bahas, mengerti apa arti daris ebuah kata, dan juga mendefinisikannya. Lebih lanjut, anak juga membuat kemajuan di dalam memahami penggunaan bahasa yang tepat secara buda dan juga pragmatis. Memasuki usia remaja anak sudah mengetahui penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, menggunakan kata yang tepat atau tidak.

d. Remaja

Perkembangan bahasa pada anak remaja sudah mulai canggih, mereka sudah mampu menggunakan bahasa metafora contoh: “draw a line in the sand” mengindikasikan posisi yang tidak bisa dinegosiasikan. Sudah mampu menggunakan sindiran dalam bentuk karikatur. Kebanyakan remaja juga menulis jauh lebih baik daripada anak-anak. Mereka lebih baik dalam mengorgansiasi ide sebelum mereka menulis, untuk membedakan antar atitik umum dan khusus dalam penulisan mereka, dalam merangkai kalimat yang masuk akal, dan pada pengorganisasian mereka dalam pembukaan, isi dan kesimpulan dari tulisan.

Perkembangan Sosial Emosional

I. Teori kontemporer

a. Teori Ekologi Bronfenbrenner
Teori ekologi yang dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner (1917-2005) berfokus pada konteks sosial di mana anak-anak hidup dan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan mereka.

Teori ekologi terdiri atas lima system lingkungan yang berkisar dari interaksi interpersonal terbuka hingga pengaruh berbasi luas seperti budaya. Kelima systemadalah:microsystem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan chronosystem.

Microsystem adalha pengaturan di mana individu menghabiskan waktu yang cukup lama, seperti keluarga siswa, rekan sebaya, sekolah danlingkungan. Dalam microsystem ini, individu memiliki interaksi langsung dengan orangtua, guru, rekan sebaya, dan lain-lain. Untuk Bronfenbrenner, siswa bukanlah penerima pengalaman secara pasif, tetapi seseorang yang timbal balik berinteraksi dengan orang lain dan membantu untuk membangung microsystem tersebut.

Mesosystem ini melibatkan hubungan dengan microsystem. Conothnya adalah hubungan antara pengalaman keluarga dan pengalaman sekolah dan antara keluarga dan rekan sebaya.

Exosystem ini bekerja ketika pengalaman mempengaruhi apa yang siswa dan guru alami dalam konteks langusng. Sebagai contoh, dewan pengawas taman, sekolah dan komunitas, mereka memiliki peran yang kuat dalam menentukan kualitas sekolah, taman, fasilitas rekreasi, dan perpustakaan yang dapat membantu atau menghalangi perkembangan anak.

Macrosystem melibatkan budaya yang lebih luas. Budaya adalah istilah yang sangat luas yang mencakup peran etnis dan faktor sosial ekonomi dalam perkembangan anak. Hal ini merupakan konteks luas di mana siswa dan guru tinggal, termasuk nilai-nilai dan kebiasaan masyarakat. Sebagai contoh: beberapa budaya menekankan peran gender tradisional.

Chronossystem meliputi kondisi sosio-historis perkembangan siswa. Misalnya: kehidupan anak-anak sekarang berbeda dalam banyak hal dari ketika orangtua dan kakek-nenek mereka masih anak-anak.

b. Teori Erickson
Teori Erickson (1902-1994), menyajikan pandangan perkembangan kehidupan masyarakat secara bertahap. Mari melakukan perjalanan melalui pandangan Erikson mengenai rentang kehidupan manusia. Ada 8 tahap perkembangan psikososial menurut Erickson

1. Trust VS Mistrust (tahun pertama)
Perkembangan kepercayaan membutuhkan pemeliharaan yang penuh pengasuhan dan kehangatan. Hasil positif adalah perasan nyaman dan minim rasa takut. Ketidakpercayaan terjadi ketika bayi diperlakukan terlalu negative atau diabaikan.

2. Autonomy VS Shame and Doubt (1-3 tahun)
Setelah memperoleh kepercayaan pengauh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka ditentukan oleh mereka sendiri. Mreka menyatakan kemerdekaan mreka dan menyadari kemauan mereka. Jika bayi terlalu banyak dibatasi atau dihukum terlalu keras, mereka mengembangkan rasa malu dan ragu.

3. Initiative VS Guilt (3-5 tahun)
Memasuki usia ini anak dihadapakan pada lingkungan yang lebih besar lagi, dimana mereka harus menghadapi dan mngatasi tantangan dari lingkungan baru ini tingkah laku mereka harus aktif dan inisiatif. Anak akan mengembangkan rasa bersalah jika mereka melihat diri mereka sebagai orang yang kurang bertanggung jawab atau mereka menjadi terlalu cemas.

4. Industri VS Inferiority (masa SD, 6 tahun, hingga pubertas)
Anak mengarahkan energy mereka untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan. Bahaya di tahun-tahun ini adalah berkembangnya rasa rendah dri, tidak produktif, dan rasa tidka mampu.

5. Identity VS Identity Confusion (10 -20 tahun)
Remaja berusaha mencari tahu jati dirinya, dan mereka dihadapkan dengan banyak peran baru dan status dewasa. Remaja perlu diizinkan untuk mengeksplorasi jalan yang berbeda untuk mencapai identitas yang sehat. Jika mereka tidak cukup mengeksplorasi peran mereka yang berbeda dan gagal untuk mengukir jalan yang positif di masa depan, mereka akan tetap bingung mengenai identitas mereka.

6. Intimacy VS Isolation (20-30 tahun)
Tugas perkembangan adalah untuk membentuk hubungan positif yang erat dengan orang lain. Bahaya dari tahpa ini adalah bahwa seseorang akan gagal untuk membentuk hubungna intim dengna pasangan romantic atau teman dan menjadi terisolasi secara sosial.

7. Generativity VS Stagnation (40- 50 tahun)
Terkait dengan usia 40-an, diman seseorang harus mentrasnfer “kebijaksanaan” untuk generasi berikutnya. Sebagai contoh: peranan menjaid orang tua dan mengajarkan, membimbing generasi berikutnya untuk membentuk kehidupan yang bermanfaat. Erikson menggambarkan stagnasi sebagai perasaan tidak memiliki kontribusi dalam membantu generasi berikutnya.

8. Integrity VS Despair (60 tahunan)
Masa dewasa akhir, orang dewasa cenderung untuk meninjau kembali kehidupan mereka, mencerminkan pada apa yang telah mereka lakukan. Jika evaluasi retrospektif positif, mereka akan mengembangkan rasa integritas. Artinya, mereka melihat hidup mereka sebagai hidup yang terintegrasi secara positif dan layak. Sebaliknya, orang dewasa menjadi putus asa jika melirik ke belakang mereka, terutama mengenai hal negatif.

II. Konteks sosial perkembangan

a. Keluarga
Baumrind, membagi gaya pengasuhan dalam 4 bagian: 1) Pengasuhan otoriter: gaya pengasuhan ketat dan hukuman di mana ada pertukaran sedikit verbal anatara orang tua dan anak; dikaitkan denganketidakmampuan sosial anak. 2) Pengasuhan otoritatif: gaya pengasuhan positif yang mendorong anak-anak untuk menjadi mandiri, namun masih menempatkan batasan dan kontrol pada tindakan mereka, kegiatan member-dan-menerima secara verbal diperbolehkan; dikaitkan dengan kompetensi sosial anak. 3) Pengasuhan pengabaian: gaya pengasuhan dari ketidakterlibatan di mana orang tua menghabiskan sedikit waktu dengan anak-anak mereka, terkait dengan inkompetensi sosial anak-anak. 4) Pengasuhan memanjakan: gaya pengasuhan di mana orangtua sanagat terlibat dengan anak-anak mereka. Para orang tua sering membeiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja yang mereka inginkan.

Keluarga yang berubah dalam masyarakat yang berubah, seperti: 1) orangtua bekerja: penelitian terbaru menunjukkan bahwa apa yang penting bagi perkembangan anak adalah sifat pekerjaan orangtua daipada apakah salah satunya bekerja atau kedua orangtua bekerja di luar rumah. Orang tua yang yang memiliki kondisi kerja yang buruk, seperti jam kerja yang panjang, kerja lembur, stress pekerjaan, dan kurangnya otonomi di tempat kerja, cenderung lebih mudah marah di rumah dan terlibat dalam pengasuhan kurang efektif daripada rekan-rekan mereka yang memiliki kondisi kerja yang lebih baik dalam pekerjaan mereka. 2) anak dalam keluarga bercerai: banyak masalah anak dari pengalaman rumah yang bercerai dimulai selama periode sebelum perceraian, saat orangtua sering aktif bertentangan satu sama lain. Efek perceraian pada ank sangat kompleks, tergantung usia anak, kekuatan dan kelemahan anak pada saat perceraian, jenis ketahanan, status sosial-ekonomi, dan fungsi keluarga setelah perceraian. Penggunaan system pendukung, hubungna positif yang sedang berlangsung antara orangtua dan mantan pasangan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keuangan, dan pembelajaran di sekolah yang berkualitas membantu anak menyesuaikan diri dengan keadaan stress perceraian. 3) hubungna sekolah dan keluarga: kemitraan dan program sekolah-keluarga-masyarakat yang efektif.

b. Rekan sebaya
Ahli perkembangan telah menunjukkan lima jenis status rekan sebaya: anak popular, anak rata-rata, anak terlantar, anak ditolak, dan anak-anak controversial (Asher & McDonald, 2009). Anak popular cenderung disukai semua siswa, anak rata-rata menerima nominasi positif dan negative dari rekan-rekannya, anak terabaikan jarang dinominasikan tapi bukan berarti tidak disukai oleh rekan-rekan mereka, anak yang ditolak jarang dinominasikan sebagai sahabat oleh rekan-rekan mereka, anak yang controversial sering dinominasikan sebagai sahabat atau sebagai orang yang tidak disukai.

Memiliki teman-teman yang berorientasi secara akademis, terampil sosial, dan mendukung adalah keuntungan perkembangan. Namun, memiliki jenis tertentu dari teman-teman dapat menjadi kerugian perkembangan. Misalnya, bergaul dengna teman-teman yang nakal sangat meningkatkan risiko menjadi nakal.

c. Sekolah
Pendidikan anak usia dini sudah sangat menjamur belakangan ini, namun kontroversi dalam pendidikan anak usia dini terkait dengan kurikulum. Di satu sisi mereka menganjurkan berpusat pada anak (konstruktivis), di sisi lain dianjurkan berfokus pada akademis, pendekatan pembelajaran langsung. Memasuki sekolah dasar, anak-anak memiliki harga diri lebih tinggi dibandingkan ketika mereka keluar dari SD. Apakah mungkin hal ini terkait dengan umpan balik negatif yang diberikan oleh guru? Karena hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan dengan guru yang positif dan hangat, membuat guru lebih bersemangat dalam belajar, dan mencapai prestasi lebih banyak di sekolah.

Pendidikan remaja yang khusus di perhatikan adalah: 1) transisi ke sekolah menengah pertama,atau sekolah menengah atas, 2)pendidikan yang efekti fbagi para remaja, dan 3) kualitas sekolah tinggi.

III. Perkembangan sosioemosional

a. Diri
Harga diri mengacu pada tampilan keseluruhan individu mengenai dirinya sendiri. Bagi banyak siswa, periode rendah diri datang dan pergi, rendah diri yang kuat terkait dengan prestasi belajar yang rendah, depresi, gangguan makan dan kenakalan remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa dengan kesehatan mental dan fisik yang buruk, prospek ekonomi yang lebih buruk, dan tingkat yang lebih tinggi dalam perilaku criminal lebih cenderung memiliki harga diri rendah pada masa remaja dibandingkan dengan rekan-rekan dewasa mereka yang dinilai lebih baik, lebih kompeten. Harga diri siswa sering bervariasi di seluruh domain yang berbeda, seperti akademik, atletik, penampilan fisik, keterampilan sosial, dan sebagainya. Dengan demikian, seorang siswa mungkin memiliki harga diri yang tinggi dalam hal sekolah, tetapi memiliki harga diri yang rendah di bidang keterampilan atletik, penampilan fisik, dan keterampilan sosial.

Pengembangan identitas. Empat status identitas Marcia yaitu: 1) Difusi identitas: status identitas di mana individu tidak memiliki alternative berarti dan tidak membuat komitmen. 2) Pengambilalihan identitas: status identitas di mana individu membuat komitmen, namun tidak mengeksplorasi alternatif berarti. 3) Moratorium identitas: status identitas di mana individu berada dalam pengeksplorasian alternative, namun belum membuat komitmen. 4) Pencapaian identitas: status identitas di mana individu telah mengeksplorasi alternative berarti dan telah membuat komitmen.

b. Perkembangan moral
Lawrence Kohlberg (1976, 1986) menekankan bahwa perkembangan moral merupakan penalaran moral dan terjadi secara bertahap. Kohlberg tiba di teorinya setelah mewawancarai anak-anak, remaja, dan dewasa mengenai pandangan mereka pada serangkaian dilemma moral. Tahapan perkembangan moral menurut Kohlberg:

a. Level 1- Penalaran pra-konvensional

Tahap 1. Hukuman dan oreintasi kepatuhan adalah tahap pertama perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, pemikiran moral sering dikaitkan dengan hukuman. Misalnya, anak-anak dan remaja mematuhi orang dewasa karena orang dewasa member tahu mereka untuk taat.

Tahap 2. Individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran. Pada tahap ini, individu mengejar kepentingan mereka sendiri, tetapi juga membiarkan orang lain melakukan hal yang sama. Jadi, apa yang benar adalah melibatkan pertukaran yang sama. Seseorang baik kepada orang lain, sehingga orang lain akan baik kembali kepada mereka.

b. Level 2- penalaran konvensional

Tahap 3. Harapan interpersonal bersama, hubungan, dan kesesuaian interpersonal. Tahap ini, seseorang menghargai nilai, kepedulian, dan kesetian kepada orang lain sebagai dasar penilaian moral. Anak-anak dan remaja sering mengadopsi standar moral orangtua mereka pada tahap ini, berusaha untuk dianggap oleh orantua mereka sebagai “anak perempuan yang baik” atau “ anak laki-laki yang baik”

Tahap 4. Moralitas system sosial. Pada tahap ini, penilaian moral didasarkan pada pemahaman tatanan sosial, hukum, keadilan, dan tugas. Sebagai contoh, remaja mungkin mengatakan bahwa agar masyarakat bekerja secara efekti, perlu dilindungi oleh hukum yang dianut oleh anggotanya.

c. Level 3

Tahap 5. Kontrak sosial atau utilitas dan hak individu. Seseorang mengevaluasi keabsahan hukum actual dan mengkaji system sosial dalam hal sejauh mana mereka melestarikan dan melindungi nilai-nilai dan hak asasi manusia.

Tahap 6. Prinsip etika universal. Orang telah mengembangkan standar moral berdasarkan hak asai manusia secara universal. Ketika dihadapkan dengan konflik antara hukum dan hati nurani, orang tersebut akan mengikuti nurani, meskipun keputusan tersebut mungkin melibatkan risiko pribadi.


Posting Komentar untuk "Memahami Perkembangan Bahasa, Moral, dan Psikososial"