Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Objek Formal dan Metode Filsafat Manusia Secara Umum

Objek Formal dan Metode Filsafat Manusia Secara Umum - Bagi filsafat manusia, semua gejala maupun fenomena manusiawi merupakan objek materil. Mereka dianggap sebagai bahan atau materi untuk penyelidikan. Phainomenon berasal dari bahasa Yunani phainoman yang berarti ‘menampak’. Filsafat manusia tidak berhenti pada fenomena saja melainkan bermaksud menerobos sampai ke dasarnya. Objek formal bagi filsafat manusia ialah struktur-struktur hakiki manusia yang sedalam-dalamnya, yang berlaku selalu dan dimana-mana dan untuk sembarangan orang.

Objek Formal dan Metode Filsafat Manusia Secara Umum_
image source: www.amazon.co.uk

Hakikat manusia sebagai objek formal filsafat manusia meliputi dua aspek:
  • Manusia mau dipahami seekstensif atau seluas mungkin. Bukan berupa sifat atau gejala saja, seperti misalnya berjalan, bekerja, malu, rasa takut, cinta kasih. Pemahaman manusia harus meliputi semua sifat, serta semua kegiatan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam segala bidang yang seluruhnya dipandang sebagai satu kesatuan utuh.
  • Manusia dipahami secara intensif atau sepadat mungkin. Tidak cukup diselidiki fungsi atau kegiatan manusia pada taraf tertentu saja, yaitu sejauh manusia hanya serupa dengan sesamanya ataupun dengan makhluk yang bukan-manusia lainnya, misalnya pada taraf biokimia, maupun biologis saja. Penyelidikan demikian hanya bersifat ‘regional’ atau sebagian saja. Seluruh manusia harus dipahami secara manusia dan manusiawi. Keseluruhan aspek manusia perlu dilihat di dalam keseluruhan manusia, sejauh berhubungan dengan intisari manusia, dan sekedar diresapi dengan keberadaannya dengan manusia lain.

Metode Filsafat Manusia

Fisafat selalu tergantung dari konteks kebudayaan dimana dia berkembang, namun dia tetap merupakan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan segala pengetahuan dari suatu zaman. Filsafat tidak dituntut untuk mempergunakan kesimpulan-kesimpulan sebagai titik tolak yang wajib bagi pemikirannya. Maka filsafat manusia seharusnya bertolak dari pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang secara wajar ada pada setiap individu yang dimiliki oleh semua orang secara bersama-sama.

Filsafat manusia pada dasarnya tidak menemukan fakta-fakta baru, tidak memberikan informasi baru mengenai manusia. Cuma filsafat manusia berusaha memberikan ‘insight’ radikal mengenai fenomen-fenomen yang telah diketahui dengan cukup pasti. Oleh karena itu, filsafat selalu bersifat refleksi (Gabriel Marcel: reflexion seconde). Refleksi ialah pengetahuan manusia jika melengkungkan diri kembali kepada diri sendiri dan merenungkan kesadaran mengenai diri, mengenai kegiatannya, dan mengenai objeknya.

Berhubungan dengan sifat refleksif itu, sesaat pun filsafat manusia tidak boleh dan tidak lepas dari fenomen-fenomen. Selalu berefleksi mengenai kenyataan manusiawi dan mengenai manusia seluruhnya. Satu gejala pun tidak boleh diabaikan. Tidak ada jalan lain untuk menemukan kembali inti realitas dan pengalaman dasar daripada melalui la perception (M.Ponty), yaitu melalui pengamatan; dan tidak ada hal lain yang mau dijelaskan kecuali realitas kehidupan manusia yang konkret.

Di dalam filsafat manusia, refleksi itu dilaksanakan menurut bermacam-macam metode. Masing-masing metode sebenarnya juga memiliki latar belakang filosofis. Sekurang-kurangnya menghasilkan suatu filsafat pengetahuan atau epistemologi sendiri; bahkan biasanya memperkembangkan suatu filsafat sistematis yang lengkap. Itu karena metode dan objek dalam ilmu pengetahuan mana saja tidak dapat dipisahkan dan saling ditentukan. Menurut Anton Bakker hanya diajukan beberapa metode pokok, tanpa menyinggung filsafat yang melatarbelakanginya. Beberapa metode itu adalah;

1. Metode Kritis (Negatif)
Metode kritis bertitik tolak dari pendapat filsuf-filsuf lain, atau juga dari teori-teori ilmu-ilmu lain, atau pula dari keyakinan-keyakinan sehari-hari yang agak sentral. Diselidiki konsistensi teori-teori atau keyakinan-keyakinan itu, yaitu apakah unsur-unsurnya dapat disesuaikan satu sama lain atau tidak. Jikalau mungkin, ditunjukkan kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Atau diperlihatkan bahwa jikalau jalan pikiran demikian dilangsungkan dengan konsekuen, akan tercapai suatu kesimpulan yang terang-terangan absurd. Atau dibuktikan bahwa pandangan tersebut tidak dapat dicocokkan dengan data-data lain. Dengan jalan demikian, disusun suatu pemahaman sendiri yang lebih memuaskan.

Pada umumnya, metode ini tidak membawa orang ke arah pemahaman yang benar-benar positif. Kesimpulan-kesimpulan hanya tercapai karena pemecahan-pemecahan lain disingkirkan satu per satu, dengan metode asimilasi.

2. Metode Analitika Bahasa (Linguistic Analysis)
Metode analitika bahasa bertitik tolak dari bahasa sehari-hari (the ordinary language), menyelidiki hubungan antara bahasa dan pikiran, dan guna bahasa bagi ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebagai metode, analitika bahasa terutama meneliti bermacam-macam ”permainan bahasa” (language games) yang de facto dipergunakan orang di berbagai bidang. Lalu berusaha membahas cara pemakaian bahasa itu; dan membersihkan darinya kekaburan, unsur dwiarti dan metaforis, dan semua corak bukan-logis. Sampai akhirnya berusaha pula menyusun ”bahasa” buatan yang bersih dan serba logis, yaitu ”logika terformalisasi” atau ”logistik” (mathematical atau symbolic logic).

Bahaya metode ini ialah membekukan bahasa yang sudah ada, dengan tidak mengizinkan atau mengakui perkembangan pengungkapan dan pemahaman yang baru dan kreatif. Apalagi, pengertian apakah yang ”logis” itu pada umumnya terlalu ditentukan oleh gaya ilmu eksakta. Padahal, setiap ilmu mempunyai dan memperkembangkan logikanya sendiri-sendiri.

3. Metode Fenomenologis
Metode fenomenologis dirintis oleh Husserl (1859-1938) dengan semboyan: zuruck zu den Scahen selbst, artinya: kembali kepada hal-hal sendiri, atau kepada apa adanya, tanpa mulai dengan salah satu interpretasi apriori. Perincian metode ini berlain-lainan dan tergantung pada filsuf yang mempergunakannya. Bentuk yang paling berpengaruh ialah yang seperti sekarang dipakai dalam mazhab fenomenologi eksistensial (Heidegger, M. Ponty, Sartre, dan lain-lain).

Setiap pengungkapan jelas, entah sehari-hari entah ilmiah, yang semua disebut Ponty suatu expression seconde, akhirnya berakar di dalam suatu pengalaman langsung yang bersifat prailmiah dan pra-refleksif. Pengalaman yang asli itu berisi utuh dan kaya, tetapi dalam pengungkapan biasa atau ilmiah pun hanya muncul secara sempit dan cacat. Metode fenomenologis berusaha menemukan kembali pengalaman asli dan fundamental itu melalui beberapa langkah atau ”penjabaran” (reduction) tertentu:

  • Gejala atau fenomen hanya diselidiki sejauh disadari secara langsung dan spontan sebagai yang lain dari kesadaran sendiri.
  • Apalagi fenomen itu hanya diselidiki sejauh merupakan bagian dunia yang dihidupi sebagai keseluruhan (lebenswelt atau lived-world), dan bukan menjadi objek bidang ilmiah yang terbatas.

Maka segala gejala dan pengungkapannya, entah ilmiah entah sehari-hari, dianalisis menurut prinsip-prinsip tadi. Lalu dibersihkan dari segala penyempitan atau interpretasi yang berat sebelah dan terlalu dangkal; sampai akhirnya ditemukan dasar asali untuk gejala-gejala itu. Dengan proses penyelidikan itu, lama-kelamaan tampaklah kembali susunan dunia manusiawi yang benar, yang selalu telah dialami.

Pada Heidegger dan Sartre, metode fenomenologis itu diperluas dan dikembangkan menjadi metode yang sungguh-sungguh metafisis.

4. Metode (Metafisik-) Transendental
Metode transendental dirintis oleh Joseph Marechal (1878-1944) dengan melangsungkan pola pemikiran Kant; dna kemudian dipergunakan antara lain oleh K. Rahner, A. Marck, B. Lonergan, Coreth, Lotz. Kadang-kadang juga disebut metode kritis, tetapi menurut arti yang berlainan dengan hal yang diurai di atas tadi.

Metode ini bertitik tolak dari fakta kegiatan berbicara dan berpikir di dalam manusia. Di dalam setiap pernyataan termuat pengandaian-pengandaian yang ikut menentukannya secara operatif (dengan aktif bekerja); dan walaupun hanya hadir secara implisit saja, pengandaian-pengandaian itu di-ia-kan saja dalam setiap pengungkapan. Maka, analisis transendental menyelidiki pengandaian-pengandaian operatif yang implisit itu, dan mencari syarat-syarat apriori (the a priori conditions) yang mutlak perlu untuk memungkinkan kegiatan atau pernyataan seperti itu, baik pada pihak manusia sendiri yang berbicara, maupun pada pihak objek yang dinyatakan. Dengan demikian, ditemukan dan dieksplisitasikan struktur-struktur hakiki di dalam manusia dan dunianya yang merupakan akar mutlak-konstitutif untuk kegiatan manusia itu. Tahap ini disebut ”reduksi transendental”.

Tahap kedua ialah ”pemutarbalikan” (retortion), sebagai pembuktian keharusan mutlak yang berlaku untuk syarat-syarat apriori tadi. Setiap pengingkaran atau kesangsian eksplisit mengenai syarat-syarat itu telah dibohongkan secara implisit. Sebab, justru kegiatan pengingkaran atau kesangsian tadi sudah mengandaikan pula hal-hal yang diingkarkan atau disangsikan. Jadi, diperlihatkan bahwa ada ketidaksesuaian fundamental antara adanya pernyataan sendiri dan isi pernyataan.

Tahap ketiga ialah ”deduksi transendental”. Pegangan yang telah terdapat di atas diterapkan kembali pada fenomena dan sifat-sifat manusia; dibicarakan semua gejala sentral yang secara tradisional di dalam filsafat. Jikalau rupanya ada pertentangan antara beberapa pernyataan mengenai manusia itu, maka isi pernyataan dibandingkan (dikonfrontasikan) dengan pengandaian-pengandaian yang dinyatakan secara implisit di dalam kegiatan itu sendiri (retortion). Lalu entah pengandaian-pengandaian sendiri mungkin perlu dibetulkan; atau, kalau pengandaian-pengandaian fundamental itu betul, cukup saja merumuskan kembali si pernyataan sesuai dengan dasar lebih dalam yang telah ditemukan.

Pada umumnya, metode yang dipergunakan di dalam filsafat manusia tergantung pada gaya dan tabiat masing-masing filsuf. Seorang filsuf, misalnya, dapat menggunakan suatu metode metafisik yang sangat serupa dengan metode transendental. Berpangkal dari fenomena konkret diupayakan mencapai satu pemahaman fundamental dan sentral yang telah mengandung seluruh struktur pokok seperti dihayati manusia. Kemudian, semua aspek yang termuat di dalam inti itu dieksplisitasikan tahap demi tahap, menurut susunan sistematis.

Refleksi itu terus-menerus berusaha bersentuhan dengan fenomena jangan-jangan kehilangan hubungan dengan realitas konkret yang justru ingin dijelaskan. Akhirnya, semua fenomen seharusnya dapat disesuaikan dengan pemahaman yang dihasilkan penyelidikan ini. Dengan demikian, juga metode fenomenolois tidak diabaikan, melainkan diintegrasikan sedapat mungkin.

Refleksi metafisis ini berusaha menerangkan gejala-gejala kenyataan manusia. Proses penyelidikan ini lalu tidak akan menerima dengan percuma dan tanpa ujian semua pengartian istilah-istilah tradisional. Filsafat bersifat vorauszunglos; artinya filsafat tidak mengandaikan sesuatu apapun, tidak dari pengertian sehari-hari, tidak dari ilmu-ilmu lain, bahkan tidak dari filsuf siapa pun. Data-data, keterangan-keterangan, teori-teori itu semua melulu dipandang sebagai pernyataan, tantangan, persoalan, bahan penyelidikan saja; dan secara metodis dan teratur dicurigai semua. Pertangguhan atau suspension peng-ia-an ini disebut juga e poche, yaitu hal menghindarkan diri dari keputusan dahulu. Sifat berusaha menemukan arti dasariah dan radikal dari semua istilah yang dipergunakan itu. Dengan jalan ini, kenyataan yang ditemukan kerap cukup berbeda dengan pengertian sehari-hari, sebab itu terbukti cukup dangkal dan berat sebelah. Dengan demikian, metode metafisis ini juga berdekatan dengan metode analitika bahasa.

Metode kritis yang telah bersifat negatif hanya dipergunakan dengan sangat terbatas. Berkali-kali akan dilaporkan pandangan-pandangan dan pemecahan-pemecahan yang telah diberikan oleh ahli-ahli filsafat lain; dan kemudian juga kerap diberikan bahasan yang pendek. Namun, dianggap lebih perlu memberikan uraian positif menurut metode tersebut di atas ini, untuk mencapai insight yang lebih mendalam.


Sekian artikel tentang Objek Formal dan Metode Filsafat Manusia Secara Umum.

Posting Komentar untuk "Objek Formal dan Metode Filsafat Manusia Secara Umum"