Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Pengertian, Sejarah, dan Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi

Pengertian, Sejarah, dan Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi

Pengertian, Sejarah, dan Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi - Intelegensi berasal dari bahasa Inggris “Intelligence” yang juga bersalal dari bahasa Latin yaitu “Intellectus dan Intelligentia”. Teori tentang intelegensi pertama kali dikemukakan oleh Spearman dan Wynn Jones Pol pada tahun 1951. Spearman dan Wynn mengemukakan adanya konsep lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal pikiran manusia tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan tersebut dalam bahasa Yunani disebut dengan “Nous”, sedangkan penggunaan kekuatannya disebut “Noeseis”.

Pengertian, Sejarah, dan Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi_

Definisi Intelegensi Menurut Para Ahli

Alfred Binet, tokoh perintis pengukuran intelegensi mendefinisikan intelegensi terdiri dari tiga komponen, yaitu:
  1. Kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan 
  2. Kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan 
  3. Kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto criticism 

Super dan Cities mendefinisikan kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau belajar dari pengalaman.

J. P. Guilford menjelaskan bahwa tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Sedangkan kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Lebih jauh, Guilford menyatakan bahwa intelegensi merupakan perpaduan dari banyak faktor khusus.

K. Buhler mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.

George D. Stoddard (1941) menyebutkan intelegensi sebagai kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan:
  1. Mengandung kesukaran 
  2. Kompleks 
  3. Abastrak 
  4. Diarahkan pada tujuan 
  5. Ekonomis 
  6. Bernilai sosial 

Garett (1946) mendefinisikan setidak-tidaknya mencakup kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah yang memerlukan pengertian serta menggunakan simbol-simbol.

William Stern (1953) intelegensi adalah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya.

Bischof, psikolog Amerika (1954) mendefinisikan kemampuan untuk memecahkan segala jenis masalah.

Lewis Hedison Terman memberikan pengertian intelegensi sebagai kemampuan untuk berfikir secara abstrak dengan baik (lih. Hariman, 1958).

David Wechsler (1958) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.

Thorndike (lih. Skinner, 1959) sebagai seorang tokoh koneksionisme mengemukakan pendapatnya bahwa orang dianggap intelegen apabila responnya merupakan respon yang baik atau sesuai terhadap stimulus yang diterimanya.

Freeman (1959) memandang intelegensi sebaga:
  1. Kemampuan untuk menyatukan pengalaman-pengalaman, 
  2. Kemampuan untuk belajar dengan lebih baik, 
  3. Kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dengan memperhatikan aspek psikologis dan intelektual, dan 
  4. Kemampuan untuk berpikir abstrak. 

Heidenrich (1970) mendefinisikan kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha untuk menyesuaikan terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam pemecahan masalah.

Sorenson (1977) intelegensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak, belajar merespon dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan.

Suryabrata (1982) intelegensi didefinisikan sebagai kapasitas yang bersifat umum dari individu untuk mengadakan penyesuaian terhadap situasi-situasi baru atau problem yang sedang dihadapi.

Walters dan Gardnes (1986) mendefinisikan intelegensi sebagai serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk sebagai konsekuensi seksistensi suatu budaya tertentu.

Dari berbagai pendapat dapat diatas disimpulkan bahwa inteligensi adalah
  1. Kemampuan untuk berfikir secara konvergen (memusat) dan divergen (menyebar) 
  2. Kemampuan berfikir secara abstrak 
  3. Kemampuan berfikir dan bertindak secara terarah, bertujuan, dan rasional 
  4. Kemampuan untuk menyatukan pengalaman-pengalaman 
  5. Kemampuan untuk menggunakan apa yang telah dipelajari 
  6. Kemampuan untuk belajar dengan lebih baik, 
  7. Kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sulit dengan memperhatikan aspek psikologis dan intelektual 
  8. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dan merespon terhadap situasi-situasi baru 
  9. Kemampuan untuk memahami masalah dan memecahkannya. 

Karena intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi sebenarnya tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri intelegensi yaitu :
  1. Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional (intelegensi dapat diamati secara langsung). 
  2. Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul daripadanya. 

Teori Intelegensi

Teori-teori dan Pendekatan-Pendakatan Tentang Intelegensi

Diantara bebrapa uraian ringkas mengenai teori intelegensi beserta tokohnya masing-masing sebagai berikut:

Alfred Binet,  
mengatakan bahwa intelegensi bersifat monogenetik yaitu berkembang dari suatu faktor satuan. Menurutnya intelegensi merupakan sisa tunggal dari karekteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang.

Edward Lee Thorndike,
teori Thorndike menyatakan bahwa intelegensi terdiri dari berbagai kemampuan spesifik yang ditampikan dalam wujud perilaku intelegensi.

Robert J. Sternberg,
teori ini mentikberatkan pada kesatuan dari berbagai aspek intelegensi sehingga teorinya teorinya lebih berorientasi pada proses. Teori ini disebut juga dengan Teori Intelegensi Triarchic. Teori ini berusaha menjelaskan secara terpadu hubungan antara :
  • Intelegensi dan dunia internal seseorang 
  • Intelegensi dan dunia eksternal seseorang 
  • Intelegensi dan pengalaman 

Adapun dalam memahami hakikat intelegensi, Maloney dan Ward (1976) mengemukakan empat pendekatan umum, yaitu :

Pendekatan Teori Belajar
Inti pendekatan ini mengenai masalah hakikat intelegensi terletak pada pemahaman mengenai hukum-hukum dan prinsip umum yang dipergunakan individu untuk memperoleh bentuk-bentuk perilaku baru.

Pendekatan Neurobiologis
Pendekatan ini beranggapan bahwa intelegensi memiliki dasar anatomis dan biologis. Perilaku intelegensi menurut pendekatan ini dapat ditelusuri dasar-dasar neuro-anatomis dan neuro-fisiologisnya

Pendekatan Psikomotorik
Pendekatan ini beranggapan bahwa intelegensi merupakan suatu konstrak atau sifat psikologis yang berbeda-beda kadarnya bagi setiap dua arah study, yaitu:
  1. Bersifat praktis yang menekankan pada pemecahan masalah 
  2. Bersifat teoritis yang menekankan pada konsep dan penyusunan teori 

Pendekatan Teori Perkembangan
Dalam pendekatan ini, studi intelegensi dipusatkan pada masalah perkembangan intelegensi secara kuantitatif dalam kaitannya dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu.

Faktor-Faktor Dalam Intelegensi

Dalam intelgensi akan ditemukan faktor-faktor tertentu yang para ahli sendiri belum terdapat pendapata yang sama seratus persen. Berikut ini beberapa pendapat para ahli mengenai faktor-faktor dalam intelegensi

Thorndike dengan Teori Multi-Faktor
Teori ini menyatakan bahwa intelegensi itu tersusun dari beberapa faktor yang terdiri dari elemen-elemen, tiap elemen terdiri dari atom-atom, dan tiap atom itu terdiri dari stimulus-respon. Jadi, suatu aktivitas adalah merupakan kumpulan dari atom-atom aktivitas yang berkombinasi satu dengan yang lainnya.

Spearman

Menurut Spearman intelegensi mengandung 2 macam faktor, yaitu :

a) General ability atau general faktor (faktor G)
Faktor ini terdapat pada semua individu, tetapi berbeda satu dengan yang lainnya. Faktor ini selalu didapati dalam semua “performance”.

b) Special ability atau special faktor (faktor S)
Faktor ini merupakan faktor yang khusus mengenai bidang tertentu. Dengan demikian, maka jumlah faktor ini banyak, misalnya ada S1, S2, S3, dan sebagainya sehingga kalau pada seseorang faktor S dalambidang tertentu dominan, maka orang itu akan menonjol dalam bidang tersebut.

Menurut Spearman tiap-tiap “performance” adanya faktor G dan faktor S, atau dapat dirumuskan

 P = S +G

Burt

Menurut Burt dalam intelegensi terdapat 3 faktor
  1. Special ability atau special faktor (faktor S) 
  2. General ability atau general faktor (faktor G) 
  3. Common ability atau common faktor disebut juga group factor (faktor C) 

Faktor ini merupakan sesuatu kelompok kemampuan tertentu seperti kemampuan kelompok dalam bidang bahasa. Sehingga rumus “performance” menjadi

P = S + G + C

Thurstone

Thurnstone mempunyai pandangan tersendiri. Dia berpendapat bahwa dalam intelegensi terdapat faktor-faktor primer yang merupakan “group factor”, yaitu:
  1. Spatial relation (S) Kemampuan untuk melihat gambar tiga dimensi 
  2. Perceptual speed (P) Kecepatan dan ketepatan dalam mempertimbangkan kesamaan dan perbedaan atau dalam merespon detil-detil visual. 
  3. Verbal comprehension (V) Kemampuan memahami bacaan, kosakata, analogi verbal, dan sebagainya. 
  4. Word fluency (W) Kecepatan dalam menghubug-hubngkan kata dengan berbagai rima dan intonasi. 
  5. Number facility (N) Kecepatan ketepatan dalam perhitungan 
  6. Associative memory (M) Kemampuan menggunakan memori untuk menghubungkan berbagi assosiasi. 
  7. Induction (I) Kemampuan untuk menarik suatu kesimpulan suatu prinsip atau tugas. 

Menurutnya faktor-faktor tesebut berkombinasi sehingga menghasilkan tindakan atau perbuatan yang intelegen.

Sejarah Tes Intelegensi & Jenis Tes Intelegensi

Sejarah dan Jenis-Jenis Pengukuran Intelegensi

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masing-masing individu berbeda-beda intelegensinya. Karena perbedaan tersebut sehingga antara individu tidak sama kemampuannya dalam memcahkan suatu persolan yang dihadapi.

Mengenai perbedaan intelegensi ini terdapat dua pandangan ;

1. Perbedaan Kualitatif
Pandangan yang berpendapat bahwa perbedaan intelegensi individu satu dengan yang lainnya itu memang secara kulaitatif berbeda, jadi pada dasarnya memang berbeda.

2. Pandangan Kuantitatif
Pandangan yang berpendapat bahwa perbedaan intelegensi individu satu dengan yang lainnya itu karena perbedaan materi yang diterima atau karena perbedaan dalam proses belajarnya.

Meskipun demikian, kedua peandangan tersebut mengakui bahwa antara individu memiliki intelegensi yang berbeda. Persoalan lain yang timbul dalam hal ini adalah tentang cara mengetahui taraf intelegensi tersebut. Dalam masalah ini, beberapa ahli psikologi yang memberikan kontribusinya adalah

Sejarah Tes Intelegensi

Pada abad XIV, di cina, telah berlangsung usaha untuk mengukur kompetensi para pelamar jabatan pegawai negara. Untuk dapat diterima sebagai pegawai, para pelamar harus mengikuti ujian, ujian tertulis mengenai pengetahuan konvusion klasik dan mengenai kemampuan menulis puisi. Ujian ini berlangsung sehari semalam di tingkat distrik. Kurang dari 7% pelamar yang biasanya lulus tingkat distrik kemudian harus mengikuti ujian berikutnya yang berupa menulis prosa dan sajak. Dalam ujian ke 2 ini kurang dari 10% peserta yang lulus. Akhirnya barulah ujian tingkat akhir diadakan di peking dimana diantara para peserta terakhir ini hanya lulus 3% saja. Lulusan ini kemudian diangkat menjadi mandarin dan bekerja sebagai pegawai negara. Dengan demikian dari ke 3 tahap ujian tersebut hanya 5 diantara 100.000 pelamar yang akhirnya menjadi mandarin. Mungkin suatu kebetulan, bahwa awal perkembangan pengukuran mental berpusat pada kempuan yang bersifat umum yang kita kenal sebagai tes intelegensi. Usaha pengukuran intelegensi berkembang dalam kurun waktu yang kurang lebih serempak di amerika serikat dan perancis.

Di amerika, usaha pertama tersebut dimulai oleh tokoh pencetus istilah “tes mental”, James Mckeen Cattell (1860-1944), yang menerbitkan bukunya mental tes and measuremens di tahun 1890. buku ini berisi serangkaian tes intelegensi yang terdiri atas 10 jenis ukuran. Ke 10 macam ukuran tersebut adalah :
  1. Dinamo meter peasure, yaitu ukuran kekuatan tangan menekan pegas yang dianggap sebagai indikator aspek psikofisiologis 
  2. Rate of movement, yaitu kecepatan gerak tangan dalam satuan waktu tertentu yang dianggap memiliki komponen mental didalamnya. 
  3. Sensation areas, yaitu pengukuran jarak terkecil diantara 2 tempat yang terpisah dikulit yang masih dapat dirasakan sebagai 2 titik berbeda. 
  4. Peasue caosing pain, yaitu pengukuran yamg dianggap berguna dalam diaknosis terhadap penyakit saraf dan dalam mempelajari status kesadaran abnormal. 
  5. Least noticabele difference in weight, yaitu pengukuran perbedaan berat yang terkecil yang masih dapat dirasakan seseorang. 
  6. Reaction time for sound, yang mengukur waktu antara pemberian stimulus dengan timbulnya reaksi tercepat. 
  7. Time for naming colors, yang dimaksudkan sebagai ukuran terhadap proses yang 
  8. Bisection of a 50-cm line, yang dianggap sebagai suatu ukuran terhadap akurasi “ space judgment’ 
  9. Judgment of 10second time, yang dimaksudkan sebagai ukuran akurasi dalam ‘time judgment’( subyek diminta menghitung 10 detik tampa bantuan apapun). 
  10. Number of latters repeated upon once hearing, yang dimaksudkan sebagai ukuran terhadap perhatian dan ingatan( subyek diminta mengulang huruf yang sudah disebutkan 1x) 

Sejarah dan Jenis-Jenis Pengukuran Intelegensi

Latar Belakang Tes Intelegensi
  1. E. Seguin (1812 – 1880) disebut sebagai pionir dalam bidang tes intelegensi yang mengembangkan sebuah papan yang berbentuk sederhana untuk menegakkan diagnosis keterbelakangan mental. Kemudian usaha ini distandanisir oleh Henry H. Goddard (1906). E. Seguin digolongkan kepada salah seorang yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak terkebelakang dan disebut juga bapak dari tes performansi. 
  2. Joseph Jasnow (1863 – 1944) adalah merupakan salah satu dari beberapa orang yang pertama kali mengembangkan daftar norma-norma dalam pengukuran psikologis. 
  3. G.C. Ferrari (1896) mempublikasikan tes yang bisa dipakai untuk mendiagnosis keterbelakangan mental. 
  4. August Oehr mengadakan penelitian inhmetasi antara berbagai fungsi psikologis (h. 14) 
  5. E. Kraepelin, seorang psikotes menyokong usaha ini, empat macam tes yang dikembangkan, di antaranya yaitu: Koordinasi motorik, Asosiasi kata-kata, Fungsi persepsi, Ingatan 
  6. Dan E. Kraepelin juga mengembangkan tes intelegensi yang berkaiatan dengan tes penataran aritmatik dan kalkulasi sederhana tahun 1895. 

Di samping itu berkembang pula tes yang dipakai untuk kelompok (group). Hal ini diawali dengan tes verbal untuk seleksi tentara (wajib militer) yang disebut dengan Army Alpha. Untuk yang buta huruf atau tidak bisa berbicara bahasa Inggris dipergunakan Army Beta sekitar tahun 1917 – 1918, tes ini dipakai hampir dua juta orang.

Jenis-Jenis Tes Intelegensi

Berdasarkan penataannya ada beberapa jenis tes intelegensi, yaitu :
  1. Tes Intelegensi individual, beberapa di antaranya: Stanford – Binet Intelegence Scale. Wechster – Bellevue Intelegence Scale (WBIS). Wechster – Intelegence Scale For Children (WISC), Wechster – Ault Intelegence Scale (WAIS), Wechster Preschool and Prymary Scale of Intelegence (WPPSI) 
  2. Tes Intelegensi kelompok, beberapa di antaranya: Pintner Cunningham Prymary Test, The California Test of Mental Makurity, The Henmon – Nelson Test Mental Ability, Otis – Lennon Mental Ability Test, Progassive Matrices 
  3. Tes Intellegensi dengan tindakan perbuatan Untuk tujuan program layanan bimbingan di sekolah yang akan dibahas adalah tes intelegensi kelompok berupa : The California Test of Mental Maturity (CTMM), The Henmon – Nelson Test Mental Ability, Otis – Lennon Mental Ability Test, and, Progassive Matrices. (22) 

Ada klasifikasi atau standar tingkat IQ yang cukup berpengaruh yaitu klasifikasi dari Wechsler yang menciptakan tes WISC yang diperuntukan bagi anak-anak pada tahun 1949. Adapun kalsifikasi IQ-nya.

Name IQ
Very superior 130 +
Superior 120 – 129
Bright normal 110 – 119
Average 90 – 109
Borderline 80 – 89
Dull normal 70 – 79
Mental defective 69 and below


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi

Seperti yang telah kita ketahui bahwa setiap individu memiliki tingkat intelegensi yang berbeda. Hal ini seperti yang disebutkan diatas ada pandangan yang menekankan pada bawaan (pandangan kualitatif) dan ada yang menekankan pada proses belajar (pandangan kuantitatif) sehingga dengan adanya perbedaan pandangan tersebut dapat diketahui bahwa intelegensi dipengaruhi oleh faktor-faktor sebgai berikut.

1. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90 ) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( + 0,10 – +0,20 ).

2. Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).

3. Stabilitas intelegensi dan IQ
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.

4. Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.

5. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.

6. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.

7. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.

Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.


Sekian Artikel Pengertian, Sejarah, dan Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi.
Open Comments