Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perbedaan Filsafat Dengan Ilmu Tentang Manusia Lainnya

Perbedaan Filsafat Dengan Ilmu Tentang Manusia Lainnya - Ilmu-ilmu manusia yang lain, seperti misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, juga menyelidiki manusia. Berdasarkan gejala-gejala dan data-data yang dapat disimpulkan dengan metode-metode positif, dirumuskan hukum-hukum tetap dan disusun teori-teori umum yang sungguh-sungguh memberikan pemahaman mengenai manusia pula. Namun, ilmu-ilmu itu tidak mengajukan pertanyaan sedalam seperti diselidiki di dalam filsafat: apakah manusia, apakah cinta kasih, apakah kebebasan. Ilmu-ilmu yang lain itu tidak mempunyai maksud menyelidiki aci-acian yang paling fundamental melainkan diandaikan saja. Mereka menyelidiki gejala-gejala itu dengan lebih dangkal, hal ini terutama karena upayanya untuk memenuhi kebutuhan praktis manusia, itulah sebabnya ilmu-ilmu positif dikatakan bersifat pragmatis.

Perbedaan Filsafat Dengan Ilmu Tentang Manusia Lainnya_
image source: s-usih.org

Ilmu tentang manusia membatasi penyelidikan pada gejala empiris, yang besifat observasional maupun eksperimental, sebaliknya filsafat manusia tidak membatasi diri. sejauh masih bahan kajian pemikiran tentang manusia. Ilmu tentang manusia, cara kerjanya fragmentaris, hanya aspek atau bagian tertentu dari manusia yang disentuh. Bebeda dengan filsafat manusia, filsafat manusia berusaha melihat gejala manusia secara utuh dan menyeluruh dari setiap sudut dan celah-celah yang mungkin untuk dijangkau.

Kemudian yang terakhir, jika ilmu-ilmu tentang manusia lain karena sifatnya adalah netral dan bebas nilai, sedang pada filsafat manusia, nilai-nilai, apakah itu personal, moral, sosial, religius, atau kemanusiaan, diperbolehkan sepanjang dapat sajikan dan dikomunikasikan berdasarkan atas otoritas rasio.

Antara Ilmu Pengetahuan, Filsafat, dan Religiusitas

Kini pengetahuan manusia semakin luas, semakin spesifik, juga termasuk pengetahuan mengenai manusia sendiri. Keluasan dan spesifiknya ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini tak bisa lepas dari sejarah perkembangannya. Karakter ilmu pengetahuan yang positif bermula dari pembagian bidang-bidang ilmu dengan membagi-bagi dan memisahkan objek formal (sudut pandang) untuk setiap ilmu dalam menangkap materi yang sama atau berbeda yang kemudian berkembang sendiri-sendiri secara spesifik. Karakter ilmu pengetahuan yang positif itu ditandai dengan ilmu pengetahuan yang harus dapat teruji, terukur yang didasarkan pada gejala-gejala dan fenomena yang bisa diurut-urutkan melalui metode-metode yang dikembangkan secara spesifik untuk masing-masing ilmu. Ilmu pengetahuan ini sering dikatakan sebagai ilmu pengetahuan positif.

Perkembangan ilmu-ilmu positif (dalam bidang sosial; memahami manusia) bermula dari Auguste Comte seorang pemikir awal abad 18-an. Ia melihat bahwa untuk kedalaman dan keluasan jangkauan pengetahuan yang bisa terukur dan teruji, ilmu pengetahuan harus memiliki metode dan sudut pandang yang fokus terhadap sebuah pokok permasalahan yang juga dapat berkembang sendiri dan lebih dekat dengan realitasnya. Hal ini dibutuhkan agar ilmu pengetahuan dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan praktis manusia, kemudian ilmu pengetahuan menjadi bersifat pragmatis yang diupayakan untuk memenuhi kebutuhan praktis manusia.

Titik tolak perkembangan ilmu pengetahuan sebagaimana diatas berbeda dengan filsafat. Filsafat sudah hadir jauh sebelum mulai berdirinya ilmu-ilmu positif. Filsafat bahkan melatari lahir dan berkembangnya ilmu-ilmu positif dikemudian hari. Filsafat itu dikatakan sebagai ‘mother of knowledge’ (ibu pertiwi pengetahuan) karena kelahirannya ditandai lewat spirit rasionalitas dalam upaya memahami realitas alam sekeliling yang sebelumnya hanya dimengerti sebagai mitos (Khayalan) yang sulit untuk diterima oleh rasio. Rasionalitas filsafat itu berasal dari rasa heran dan kemudian menyangsikan setiap fenomena dalam hikmat kesadaran akan keterbatasan.

Filsafat dalam pencariannya bukan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan praktis sebagaimana ilmu pengetahuan positif, melainkan untuk memenuhi hasrat primordial manusia untuk mengetahui. Makin banyak manusia tahu, makin banyak pertanyaan yang timbul. Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergulir sampai pada batas pengetahuan yang paling dalam dan paling jauh dari kemungkinan-kemungkinan hasrat untuk mengetahui, pertanyaan mengenai asal-usul, hakikat, makna hidup dll yang bahkan tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan.

Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh filsafat. Namun, filsafat adalah tempat dimana pertanyaan-pertanyaan itu dikumpulkan, diterangkan dan diteruskan. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa batas. Filsafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa-apa saja yang menarik perhatian manusia. Oleh sebab itu, fisafat objek formalnya (sudut pandangnya) terhadap segala yang ada tak terbatas oleh sekat-sekat dengan cara-cara tertentu yang diarahkan pada kebutuhan praktis. Hal itu dikarenakan upaya filsafat yang menempuh jalan yang radikal dalam memenuhi hasrat untuk mengetahui, secara radix (radikal=mengakar, mendalam) melihat segala gejala dan fenomena sejauh dan sedalam mungkin.

Sementara itu, filsafat juga menyadari sepenuhnya keterbatasan manusia. Pun sebebas-bebasnya pemikiran juga tetap ada batasnya. Filsafat tetap harus dimulai dari sebuah titik dalam satu sudut pandang (objek formal) atau satu pandangan terhadap realitas tertentu (objek material) untuk sampai pada keseluruhan dalam kedalaman makna dan keluasan cakrawala pengetahuan. Itu sebabnya dalam pemikiran filsafati objek formal (pisau analisa) menjadi poin penting, tak heran muncul banyak sekali metode dalam filsafat untuk menangkap setiap gejala dan fenomena, yang bisa jadi memberikan insight kepada ilmu pengetahuan positif dalam rangka memperluas cakrawala dalam batas-batasnya.

Filsafat itu datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan. Sebelumnya, karena semua ilmu khusus telah dimulai sebagai bagian dari filsafat yang kemudian menjadi dewasa. Sesudahnya, karena semua ilmu menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mengatasi batas-batas spesialisasi mereka. Oleh sebab itu banyak ilmuwan sekaligus juga filsuf-filsuf kenamaan, seperti Aristoteles, Descartes, Foucoult, Sigmund Freud, Karl Marx dll.

Secara singkat pada paparan diatas kiranya dapat kita bedakan antara ilmu pengetahuan dan filsafat. Jika ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai pengetahuan metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Dan menjadi bersifat positif jika suatu bidang tertentu dari kenyataan itu juga dilihat dari satu sudut pandang tertentu. Maka filsafat didefinisikan sebagai pengetahuan metodis, sistematis, koheren tentang seluruh kenyataan dalam seluruh sudut pandang seluas dan sejauh yang dapat diterima oleh rasio (akal pikiran).

Ada dugaan, karena keluasan dan jauhnya jangkauannya menunjukkan bahwa filsafat sebagaimana diatas hanya merupakan spekulasi terhadap sesuatu yang tidak berakar pada realitas, dan karenanya tidak mempunyai nilai apapun untuk kenyataan dalam kehidupan. Dengan kata lain, filsafat dalam hal ini dipandang sebagai sekedar idealisasi semata karena sifatnya yang universal. Selain itu ada juga yang menduga, bahwa filsafat adalah suatu kegiatan kontemplasi yang bertujuan mencapai pengetahuan tentang hakikat daripada segala yang nyata, dimana filsafat dalam hal ini dimengerti sebagai sebuah ikhtiar untuk sampai pada pengertian-pengertian yang lebih dari sekedar hasil persepsi belaka. Dalam hubungan ini, maka filsafat merupakan kegiatan mental yang ciri khasnya adalah konseptualisasi, yakni aktivitas akal budi untuk memperoleh pengertian-pengertian dengan kejelasan-kejelasan. Konseptual dalam hal ini juga berarti kejelasan, disajikan dengan jelas struktur-strukturnya. Demikian itu menunjukkan bahwa filsafat seringnya menggeluti abstraksi terakhir dari abstraksi-abstraksi yang yang telah dilakukan oleh ilmu pengetahuan lewat pengamatan dan abstraksi matematis terhadap kesatuan dan perubahan setiap fenomena (peristiwa).

Tanggapan yang keliru adalah yang menganggap filsafat identik dengan logika, atau etika, terkadang juga estetika, meskipun yang disebut ini ketiganya merupakan cabang-cabang filsafat juga. Lebih keliru lagi menyamakan filsafat dengan religi, meskipun dalam perkembangannya suatu filsafat bisa saja mengambil corak relijius. Hal ini terutama karena kesadaran akan keterbatasan, maka untuk lebih dekat dan meresapi kenyataan terkadang filsafat juga diharuskan mengambil tempat subordinatif pada setiap bidang kenyataan, termasuk juga pada religi.

Apapun ragamnya sebuah jalan filsafat, yang pasti bahwa filsafat adalah upaya berpikir radikal, dari radix-nya suatu gejala, berpikir dari dan hingga akarnya pada suatu hal yang hendak dipermasalahkan. Upaya radikal sedemikian menuntut juga penyelidikan-penyelidikan yang spesifik sifatnya dalam dinamikanya pada upaya menemukan hakikat, yang dengan kata lain filsafat juga harus bersentuhan dan dekat dengan kenyataan. Dan dengan jalan penjajagan yang radikal ini, filsafat berusaha untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang bersifat universal. Bagaimana cara ataupun metode yang ditempuh seorang filsuf untuk mencapai sasaran pemikirannya bisa berbeda-beda, akan tetapi tetap yang dituju merupakan keumuman universal dari realitas yang terpecah-pecah dalam kenyataan. Oleh sebab itu, maka kebebasan berpikir harus menjadi tonggak dalam filsafat. Kebebasan berpikir yang ditandai oleh hasrat keakraban dengan kebenaran yang dikandung dalam penampilan setiap realitas. Hasrat mencari hakikat terdalam dan kebenaran membuat filsafat berupaya untuk membuka selubung-selubung misteri yang menyelimuti realitas, dalam upaya ini filsafat dituntun oleh tata fikiran yang didasari pada kebebasan tanpa harus dibatas-batasi oleh kekangan objek formal apalagi dogma.

Deskripsi diatas menunjukkan letak perbedaan antara ilmu pengetahuan yang berkembang sampai saat ini dengan filsafat, yakni berupa proses dari tujuan dan cara memperolehnya. Untuk sebuah pengertian agar ‘tahu’, akal adalah alat bagi ilmu pengetahuan, sedang filsafat lebih dari itu, termasuk juga rasa, intuisi dan feeling. Akan tetapi, bagi orang-orang yang berkecimpung didalamnya, sebagaimana juga ilmu pengetahuan, maka filsafat juga harus memiliki keterbukaan, maksudnya sejauh sesuatu hal itu terbuka bagi mereka yang berminat. Dengan demikian, bagaimanapun kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi pemikir filsafat untuk merumuskan pikirannya, akan tetapi mengumumkan alam pikirannya merupakan bagian yang integral dari filsafat itu sendiri. Filsafat bukan berarti pikiran yang mengawang-awang ataupun kebatinan yang tak terjelaskan, tapi harus mendarat pada bahasa untuk dapat dikomunikasikan. Sebagaimana juga ilmu pengetahuan, dinamisme berpikir dalam filsafat tidak mengenal titik henti, karena filsafat tidak memiliki pretensi untuk tiba pada kebenaran-kebenaran yang absolut, persis karena alam kesadaran filsafat selalu menyadari adanya keterbatasan. Jika religi atau keyakinan batin hadir dengan menyadari keterbatasan itu dan untuk keluar dari batas itu lalu meloncat ke dalam iman yang dogmatis dan statis, maka filsafat sebagaimana cita-cita diawal kemunculannya yaitu mendobrak/ mendorong batas-batas itu sejauh mungkin. Maka kiranya tepat, posisi filsafat sebagaimana yang dikatakan oleh Bertrand Russell salah seorang pemikir abad ini bahwa antara religiusitas dan ilmu pengetahuan terletak suatu daerah tak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh religi maupun oleh ilmu pengetahuan. Daerah tak bertuan ini adalah filsafat.

Filsafat bagi ilmu pengetahuan dan juga religi dengan demikian berfungsi sebagai ‘forum’ dan juga wadah bagi keduanya. Bagi ilmu pengetahuan, filsafat dibutuhkan sebagai suatu ‘forum’, suatu ‘tempat’ dimana dibicarakan soal-soal yang datang sebelum dan sesudah semua ilmu lain. Sedang bagi religi, filsafat dibutuhkan sebagai suatu ‘forum’, suatu ‘tempat’ dimana religi dapat dibicarakan secara terbuka untuk dikritisi dan dirasionalisasi untuk mendapatkan jalan bagi hikmat kesadaran. Lalu bagi keduanya, antara ilmu pengetahuan yang materialistis yang tanpa batas dan religiusitas yang idealistis dengan batas-batas keyakinan (dogma), filsafat menjadi jalan tengah yang mempertemukan keduanya sebagai sikap dan jalan hidup yang dihayati.


Sekian artikel tentang Perbedaan Filsafat Dengan Ilmu Tentang Manusia Lainnya.

    Posting Komentar untuk "Perbedaan Filsafat Dengan Ilmu Tentang Manusia Lainnya"