Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perhatian Antropologi Terhadap Sistem Religi

Perhatian Antropologi Terhadap Sistem Religi - Sejak lama, ketika ilmu antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu himpunan tulisan mengenai adat-istiadat yang aneh-aneh dari suku-suku bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam buku-buku para pengarang tulisan etnograpfi mengenai suku-suku bangsa itu. 

Ketika bahan etnografi digunakan secara luas oleh dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengani upacara keagamaan itu sangat besar. Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan perhatian yang sangat besar, yaitu: (a)Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu bangsa biasanya merupakan unsure kebudayaan yang tampak secara lahir; (b) bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori-teori tentang asal mula religi. 

Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat suatu suku bangsa tertentu, akan segera tertarik pada upacara-upacara keagamaan suku bangsa itu, karena upacara-upacara itu pada lahirnya berbeda sekali dengan upacara keagamaan dalam agama bangsa-bangsa Eropa itu sendiri, yaitu Nasrani. Hal-hal yang berbeda itu sejak dahulu selalu dianggap aneh, dan justru karena keanehannya itu menarik perhatian. 
Perhatian Antropologi Terhadap Sistem Religi_
image source: www.donquijote.org
Masalah asal mula suatu unsure universal seperti religi, artinya masalah penyebab manusia percaya pada adaya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya, dan penyebab manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beragam untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan tadi, telah lama menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia ilmiah pada umumnya. Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal mula religi, para ahli biasanya menganggap religi suku-suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa-sisa dari bentuk-bentuk religi kuno, yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada pada tingkat yang primitive. 

Dalam memecahkan masalah asal mula dari suatu gejala, sudah jelas orang akan melihat pada sesuatu yang dianggapnya sisa-sisa bentuk-bentuk tua dari gejala itu. Dengan demikian bahan etnografi mengenai upacara keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia sangat banyak diperhatikan dalam usaha menyusun teori-teori tentang asal mula agama.

Sistem Religi vs Sistem Ilmu Gaib

Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung selama beberaapa detik saja, untuk kemudia hilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Pada intinya, emosi keagamaan menyebabkan suatu benda, suatu tindakan, atau gagasan mendapat suatu nilai keramat (sacred value) dan dianggap keramat. Demikian juga pada benda-benda, tindakan-tindakan dan gagasan-gagasan yang biasanya tidak keramat (profane), bila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakan-tindakan serta gagasan-gagasan tadi menjadi keramat.

Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsure penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsure yang lain, yaitu:
  1. Sistem Keyakinan
  2. Sistem Upacaya Keagamaan
  3. Umat yang menganut religi itu. 

Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak sub-unsur. Mengenai ini para ahli antropologi biasanya menaruh perhatian terhadap konsepsi tentang dewa-dewa yang baik maupun yang jahat; sifat dan tanda dewa-dewa; konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainnya seperti roh-roh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam, masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam; konsepsi tentang hidup dan maut; konsepsi tentang dunia roh, dunia akhirat dan lain-lain.

Sistem kepercayaan dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi), biasanya tercantm dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap sebagai kesusastraan suci.

Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung 4 aspek yang menjadi perhatian khusus dari para ahli antropologi,yaitu:
  • Tempat upacara keagamaan dilaksanakan – berkaitan dengan tempat-tempat keramat upacara dilakukan, seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid dan lain sebagainya. 
  • Saat-saat upacara dijalankan – berkaitan dengan saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan sebagainya.
  • Benda-benda dan alat upacara – berkaitan dengan benda-benda yang dipakai dalam upacara, termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, gendering suci, dan sebagainya
  • Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara – berkaitan dengan pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta, biksu, syaman, dukun dan lainnya. 

Upacara-upacara itu sendiri juga terdiri dari banyak unsur, yaitu:
  • Bersaji
  • Berkorban
  • Berdoa
  • Makan bersama makanan yang telah disucikan dengan doa
  • Menari tarian suci
  • Menyanyi nyanyian suci
  • Berprosesi dan atau berpawai
  • Memainkan seni drama suci
  • Berpuasa 
  • Intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan obat bius sampai kerasukan, mabuk
  • Bertapa
  • Bersemedi

Diantara unsur-unsur upacar keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal di agama yang lain, dan demikian juga sebaliknya. Suatu upacar biasanya mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari sejumlah unsur.

Sub-unsur ketiga dalam religi adalah umat yang menganut agama atau religi yang bersangkutan. Secara khusus sub-unsur ini meliputi masalah pengikut suatu agama, hubungan satu dengan yang lain, hubungannya dengan para pemimpin agama, baik saat upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari; dan akhirnya sub-unsur ini juga meliputi masalah seperti organisasi para umat, kewajiban serta hak-hak para penganutnya.

Pokok-pokok khusus dalam sistem ilmu gaib pada lahirnya memang sering kali tampak sama dengan dalam sistem religi. Dalam ilmu gaib sering terdapat konsepsi-konsepsi dan ajaran-ajarannya. Ilmu gaib juga mempunyai sekelompok manusia yang yakin dan menjalankan ilmu gaib itu untuk mencapai suatu maksud. Selain itu, upacar gaib juga mempunyai aspek-aspek yang sama artinya; ada pemimpin atau pelaku, yaitu dukun; ada saat-saat tertentu untuk mengadakan upacara (biasanya pada hari-hari keramat); ada peralatan untuk melakukan upacara dan ada tempat tertentu untuk pelaksanaan upacara. Akhirnya, suatu upacara ilmu gaib sering kali juga mengandung unsure-unsur upacara yang sama dengan upacara religi pada umumnya.

Walaupun pada akhirnya religi dan ilmu gaib sering terlihat sama, walaupun sukar untuk menentukan batas dari upacara yang bersifat religi dan upacara yang bersifat ilmu gaib, pada sadarnya terdapat perbedaan yang sangat besar antara religi dan ilmu gaib.

Perbedaan mendasar antara religi dan ilmu gaib terletak pada sikap manusia saat ia sedang menjalankan ritual keagamaannya. Manusia yang menjalankan ritual agama bersikap menyerahkan diri pada Tuhan, kepada dewa-dewa, kepada roh nenek moyang, yang pada intinya menyerahkan diri sepenuhnya pada kekuatan tinggi yang disembahnya. Dalam hal ini, b iasanya manusia sedang terhinggapi suatu emosi keagamaan.

Hal yang berbeda terjadi pada saat menjalankan ilmu gaib. Manusia berusaha memperlakukan kekuatan-kekuatan tinggi dan gaib agar menjalankan kehendaknya dan berbuat apa yang ingin dicapainya.


Posting Komentar untuk "Perhatian Antropologi Terhadap Sistem Religi"