Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Person dan Individu Dalam Dimensi Manusia

Person dan Individu Dalam Dimensi Manusia - Masing-masing manusia memiliki keistimewaan dan keunikan sendiri. Keistimewaan dan keunikan itu tidak dapat diserahkan kepada orang lain, sifatnya incommunicable. Akan tetapi, manusia itu ciri hakikinya juga berkorelasi dengan semua yang-lain dimensi sosialitas manusia). Keunikan dan keistimewaan masing-masing manusia merupakan fakta konkrit manusia sebagai ‘aku’, lalu ini menjadi berbeda penghayatan maknanya jika ditinjau dalam konteks sosialitas manusia, bahwa manusia itu ada karena cirinya bersama-yang-lain di dunia.

Kemudian dari gambaran diatas muncul pertanyaan, apakah keunikan manusia itu harus dipandang sebagai kekurangan dan keterpisahan dari yang-lain? Ataukah harus dinilai sebagai kekayaan dan sumbangan bagi seluruh umat manusia? Terlihat bahwa pada pertanyaan yang pertama atas keunikan dan keistimewaan manusia bermakna negatif, sedang yang kedua bermakna positif. Pertanyaan ini juga menunjukkan adanya poin tentang fakta manusia yang lain yakni bahwa adanya manusia itu berada diantara “singularitas” (adanya satu) dan ‘universalitas’ (adanya umum). Untuk memperjelas dalam memberi jawab pertanyaan diatas, kiranya pada keunikan dan keistimewaan manusia dalam arti negatif kita sebut sebagai ‘Individu’, sedang dalam arti positif kita sebut sebagai ‘person’.

Person dan Individu Dalam Dimensi Manusia_
image source: www.milestoneshospital.co.uk

Pengertian Person dan Individu

Person yang berasal dari kata latin persona artinya ’topeng’ dan/atau ’pemain sandiwara’, yang menunjukkan kesadaran tentang ’perasaan’ dan ’martabat manusia dalam hubungannya dengan orang lain’. Di dalam bahasa teologis, ’persona’ dipakai sebagai terjemahan bagi kata Yunani ’hypostatis’ yang artinya ’yang-berdiri-di-bawah’, dimana hal ini sangat erat hubungannya dengan kata Yunani lain semacam ousia atau substansi. Sementara ’individu’ berasal dari kata latin dividere yang berarti membagikan dan dalam kesadaran pemikiran Yunani sering dirumuskan sebagai ’indivisum in se, et divisum a quolibet alio’ yang artinya ’tak terbagi di dalam diri sendiri, dan terpisah dari segala yang lain’. Istilah ini menunjukkan keseluruhan, totalitas dan subsistensi manusia.

Pada umumnya yang berhubungan dengan manusia, baik ’person’ maupun ’individu’ memiliki macam-macam arti; manusia, orang, yang-bertanggungjawab (hukum), yang-tersendiri dan lain-lain. Kedua-duanya kerap dipakai sebagai sinonim untuk mengungkapkan manusia sebagai ’substansi komplit dan konkret’. Bila manusia dibandingkan dengan yang-bukan-manusia, maka ’person’ dikhususkan bagi manusia sendiri untuk menegaskan transendensinya dengan-yang-lain misalnya terhadap hewan, sedang ’individu’ dipakai untuk yang infrahuman (sesama manusia) itu dalam keunikan dan kekhasannya terhadap orang-lain.

Person

Manusia mengalami dan mengakui dirinya sebagai manusia yang unik dalam multidimensional yang fokus dan bersatu padu. Semua dimensi manusia dieratkan dan diorganisir dalam kesadarannya. Manusia mengalami dirinya sebagai pusat konsentrasi yang mutlak; sebagai sumber yang tak dapat diambil alih (incommunicability); sebagai gaya yang meresapi semua bentuk. Kesadaran orang itu tampak sebagai ‘gaya hidup’, sebagai suatu spirit yang memijarkan semua fenomena dan segala aspek yang ada padanya (inner beauty), sehingga semua mendapat warna yang serba unik dan memperlihatkan intensi (arah) yang serba pribadi. Keunikan menurut menurut gaya ini disebut dengan keunikan spiritual manusia, dan itu diungkapkan dengan istilah; personalitas (adanya-person) atau kepribadian.

Ada kecenderungan untuk mengatakan bahwa ‘person’ ialah manusia sejauh didekati dan dialami dari dalam, dan menurut keinsafan sendiri. Kesadaran akan keunikan ini justeru terjadi di dalam korelasi dengan yang-lain yang juga dikenal dari luar. Menurut gaya itu manusia membedakan diri dari semua yang-lain. Dalam pada itu terdapat warna kesadaran yang di/menemukan satu-satunya sumber pada manusia sendiri, hingga konsentrasi manusia itu menunjukkan adanya suatu kesadaran intim yang mendalam dan bersifat singular.

Sementara, gaya itu sekaligus juga hanya disadari oleh karena konfrontasi dan korelasi dengan gaya-gaya yang lain pula. Sehingga nampak bahwa gaya menurut keunikannya itu bukan juga menutup diri, melainkan mengandaikan juga gaya-gaya yang lain dan membuka mereka juga yang sekaligus pula bersifat universal.

Individu

Kemudian, dalam pengalaman dan pengakuan diri sebagai manusia yang unik dalam banyak dimensi yang bersatu padu itu, manusia juga memiliki suatu ‘kebudayaan’ pribadi, sebagai ekspresi yang tertentu yang meliputi segala bidang manusiawi. Di dalam wujud ‘kebudayaan’ pribadi dalam manusia itu, dapat dibedakan beragam unsur; seperti nama, warna, tempat tinggal, negara, kebangsaan, waktu bersalaman, hubungan dengan orang tua, dengan teman, cara berjalan, bicara, bentuk kepala, tangan, cara menulis, psike, mimik; bahkan juga aspek biologis seperti, sidik jari, gigi geligi, struktur sel tubuh (kromosom) dll. Itu semua unik dan tak terulang. Setiap unsur menambahkan detail-detail pada penggambaran itu. Mereka tidak dijejerkan satu sama lain, melainkan saling melengkapi, organis (saling meresapi) dan saling mewarnai. Di dalam fragmen-fragmen itu lama-kelamaan muncul dengan lebih terperinci keistimewaan orang ini sehingga akhirnya tersusun suatu bentuk atau sinyalemen pribadi yang mengandung seluruh kekhususannya. Keunikan menurut perwujudan ini disebut keunikan materiil, dan itu diungkapkan dengan istilah; individualitas.

Person dan Individu dalam Pandangan Filsuf Klasik

Dalam pandangan Thomas Aquinas, dimensi metafisik manusia adalah sebagai individu dan sebagai personal, dijabarkan dalam gagasannya tentang individualitas dan personalitas. Individualitas berakar pada materi, yaitu dalam komposisi biokimia badan atau tubuh. Konsep materi di sini bukan dalam arti umum, melainkan dalam arti materi pada manusia ini ditandai dengan aspek kuantitas, atau materi potensial yang nyata yaitu unsur-unsur kebadanan. Oleh karenanya, manusia tidak dapat merubah individualitasnya; ia hanya menuju dimensi kodrat rasionalnya. Sedangkan personalitas manusia berakar pada “jiwa”, yaitu pemahaman. Pada personalitas ini manusia mengalami kebebasan, ia menjadi “tuan” atas tujuan hidupnya sendiri, serta pembangun ciri karakteristik pribadinya. Menurutnya, personalitas merupakan kemampuan untuk memahami dan mencintai apa yang baik. Melalui pemahaman tentang konsep “personal”, materialitas manusia “diangkat” ke taraf yang lebih tinggi. Individualitas dan personalitas adalah dua dimensi manusia yang dipergunakan Thomas untuk mempertahankan harkat dan martabatnya.

Person dan Individu dalam Pandangan modern; Eksistensialis

Sentral eksistensialisme adalah berkisar seputar manusia. Pemahaman secara menyeluruh atas manusia adalah satu-satunya yang dapat menghantarkan pada kesadaran manusia akan hakikat dan makna keberadaannya. Hanya manusia yang mampu memahami dirinya (bereksistensi) dan faktanya manusia hidup dalam pemahaman atas dirinya sendiri. Kehidupan manusia dalam lingkungan bersama-yang-lain di dunia berputar pada pilihan untuk otentik atau tidak otentik. Otentik dalam arti bahwa manusia berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri menghayati hidupnya dan dirinya sebagai manusia, sedang tidak otentik ketika manusia itu larut dalam kehidupannya dalam cara-cara keterlibatannya dengan dunia. Jika otentik merupakan kekhasan manusia sebagai ‘Person’ maka kondisi ketidak otentikannya adalah keunikannya yang lain sebagai ‘Individu’ yang membentuk kepribadian dan kebudayaan bersama.

Akan tetapi eksistensialitas manusia menunjukkan bahwa manusia tidak bisa memilih untuk berada diantara salah satunya, ‘Person’ dan ‘Individu’, karena manusia senyatanya hidup dalam dua cara; otentik maupun tidak otentik sekaligus secara bergantian dalam hidupnya. Hal ini pula yang membuat manusia kadang merasa dirinya sebagai ‘misteri’ dan menyadari ketersembunyiannya dalam keterbukaannya, yang bagi Heidegger kemisterian manusia itu berada dalam situasi Aletheia (kebenaran), -A=Tidak, Lethe=Tertutup-, manusia sebagai sebuah misteri yang tersingkap dalam ketersembunyiannya dan sembunyi dalam ketersingkapannya.

Terdapat banyak ilmu mengenai manusia, yang meliputi antropologi, sosiologi, psikologi yang kesemuanya menyeldiki tentang manusia berdasarkan gejala – gejala yang ada, serta data-data yang dapat disimpulkan dengan metode-metode positif dan dirumuskan dengan hukum-hukum tetap serta disusun dengan teori-teori umum tertentu. Namun, ilmu-ilmu tersebut tidak mengajukan pertanyaan sedalam seperti yang dilakukan oleh filsafat manusia. Apakah manusia, apakah cinta kasih, apakah kebebasan. Ilmu-ilmu yang lain tersebut dengan metode terbatas yang telah dimilikinya tidak mampu menelaah manusia secara radikal hingga ke akarnya yang terdalam, begitupun dengan psikologi. Ketidakmampuan ilmu-ilmu positif ini yang juga termasuk psikologi bukan hanya sekadar metode yang terbatas, akan tetapi juga karena tujuannya telah diarahkan pada taraf-taraf tertentu yang sifatnya praktis dan pragmatis. Dengan demikian, kajian filsafat manusia lebih luas, bahkan melingkupi juga kajian-kajian psikologi sebagai ilmu jiwa positif.

Filsafat manusia karena upayanya yang radikal dan komprehensip dalam memahami manusia dengan demikian dapat memberi insight kepada perkembangan ilmu-ilmu positif tentang manusia termasuk psikologi untuk mengambil spirit-spirit baru dari spekulasi filsafat yang menembus berbagai celah dan sudut yang kabur pada batas-batas ilmu-ilmu positif tentang manusia. Sebaliknya, upaya filsafat manusia untuk mencari kedalaman hakikat manusia juga sulit untuk mencapai keumuman universal tentang manusia jika mengabaikan fakta-fakta empiri tentang manusia dari hasil observasi dan pengamatan ilmu-ilmu positif tentang manusia. Oleh sebab itu, hubungan antara filsafat manusia dan ilmu-ilmu positif tentang manusia yang salah satunya psikologi adalah hubungan yang saling topang menopang, dimana filsafat memberikan wawasan dan spirit untuk berkembangnya psikologi sementara psiklogi memberikan data-data untuk direfleksikan oleh pemikiran filsafat. Artinya, seorang filsuf manusia bisa jadi advance dalam psikologi atau salah satu atau dua (sejauh cakupan sang filsuf) ilmu-ilmu positif tentang manusia, namun sebaliknya seorang psikolog belum tentu mampu masuk dalam alam filsafat manusia. Sebagaimana analagi umumnya tentang filsafat sebagai mother of knowledge, filsafat manusia juga adalah mother bagi ilmu-ilmu positif tentang manusia yang salah satunya adalah psikologi.

Bagi filsafat manusia, semua gejala maupun fenomena manisiawi merupakan objek materil. Mereka dianggap sebagai bahan atau materi untuk penyelidikan. Phainomenon berasal dari bahasa Yunani phainoman yang berarti ‘menampak’. Filsafat manusia tidak berheti pada fenomena saja melainkan bermaksud menerobos sampai ke dasarnya. Objek formal bagi filsafat manusia ialah struktur – struktur hakiki manusia yang sedalam-dalamnya, yang berlaku selalu dan dimana-mana dan untuk sembarangan orang.

Hakikat manusia sebagai objek formal filsafat manusia meliputi dua aspek:

1. Manusia mau dipahami seekstensif atau seluas mungkin. Bukan berupa sifat atau gejala saja, seperti misalnya berjalan, bekerja, malu, rasa takut, cinta kasih. Pemahaman manusia harus meliputi semua sifat, serta semua kegiatan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam segala bidang yang seluruhnya dipandang sebagai satu kesatuan utuh.

2. Manusia dipahami secara intensif atau sepadat mungkin. Tidak cukup diselidiki fungsi atau kegiatan manusia pada taraf tertentu saja, yaitu sejauh manusia hanya serupa dengan sesamanya ataupun dengan makhluk yang bukan-manusia lainnya, misalnya pada taraf biokimia, maupun biologis saja. Penyelidikan demikian hanya bersifat ‘regional’ atau sebagian saja. Seluruh manusia harus dipahami secara manusia dan manusiawi. Keseluruhan aspek manusia perlu dilihat di dalam keseluruhan manusia, sejauh berhubungan dengan intisari manusia, dan sekedar diresapi dengan keberadaannya dengan manusia lain.

Objek material filsafat manusia terdiri dari manusia seluruhnya menurut semua sudutnya. Manusia sebagai objek tidak hanya dilihat secara umum saja, karena pada dasarnya setiap manusia memiliki corak khusus dalam dirinya, yaitu keunikan dan kesendiriannya. Setiap manusia adalah seorag ‘aku’ yang sangat konkret, maka keberadaan manusia pun harus diungkapkan secara konkret pula, sebagai ‘aku’. Manusia sebagai individunya, manusia sebagai makhluk Tuhan dan juga manusia sebagai makhluk sosial.

Dalam usaha untuk menyusun filsafat manusia timbullah persoalan; dimana titik tolak penyelidikannya? Pertanyaan ini berdasar pada keyakinan bahwa tidak ada penyelidikan yang mulai dengan begitu saja, kesadaran setidaknya pertama-tama mendarat pada fenomena penyelidikannya. Dari namanya ‘filsafat manusia’ sudah jelas kelihatan bahwa manusia-lah yang menjadi pangkal dalam penyelidikan filsafat manusia ini, akan tetapi semua penyelidikan tentang manusia tidak bisa serta merta disebut filsafat terlebih karena filsafat yang upayanya untuk melihat lebih dalam, secara radix melihat manusia dalam cara berpikir filsafat yang radikal (mendalam), Komprehensip (menyeluruh), utuh, spekulatif (penuh abstraksi), kritis (tidak menerima begitu saja segala pengetahuan tentang manusia) dan logis (dapat dipertanggung jawabkan dan diterima akal).

Oleh sebab itu, maka untuk melihat manusia seutuhnya dimana yang melihat juga merupakan kajian dari penyelidikan, maka kesadaran yang melihat adalah tonggak dalam penyelidikan ini. Ialah ‘Aku’ dalam kesadaran melihat diriku bahwa ‘Aku’ (sebagai manusia) berada.

Pengakuan akan Aku Sentral tak disangkal lagi. Kalau disangkal, tetaplah merupakan ‘Aku’ yang menyangkalnya dan tidak ada lagi pembicaraan dalam penyelidikan filsafat manusia yang ada tinggal tinggal diam dan bungkam. Karena pengakuan tentang ‘Aku’ itu tak dapat disangkal, Aku menjadi data induk, fakta mutlak/absolut. ‘Aku’ tidak tersangkal, tidak boleh tidak ada, baik menurut adanya maupun menurut pemahamannya.

Saya sadar bahwa ‘Aku’ berada, dan selama saya mau meneruskan penyelidikan filosofis tentang manusia, tidak ada satu orang pun yang dapat meyakinkan saya bahwa keliru. Saya temukan satu fakta induk tak tergoncangkan lagi yakni ‘Aku’.

Kesadaran manusia tentang “Aku” sebagai subjek yang konkret dengan beragam dimensi dan pluralitas diri mengandaikan cara berada “yang lain” agar “Aku” berada sepenuhnya sebagai ‘aku’ secara konkret. “Aku” sebagai subjek tidak akan pernah ada, manakala tidak ada korelasi yang saling mengadakan dengan “yang lain”. “Aku” saling menandai dan ditandai oleh “yang lain” selain “aku”. Kebersamaan dengan yang-lain (sosialitas) adalah jaminan kepenuhan-Ku.

’Aku’ yang kompleks dengan banyak dimensi dalam kesadaran aku-bersama-yang-lain, juga bukan merupakan suatu momen statis yang tak bergerak, melainkan berubah dari satu momen ke momen berikutnya. ’Aku’ selain sulit dipahami kecuali dalam kerangka bersama-dengan-yang-lain, juga tak bisa dilepaskan begitu saja dalam histrositasnya, yakni momen kemewaktuannya. ’Aku’ yang-bersama-dengan-yang-lain itu merupakan momen kemewaktuan dalam temporalitas masa lampau, sekarang (kini) dan masa depan. Totalitas ’aku’ ada disana, di dalam momen kemewaktuannya, bahwa ’aku’ itu mewaktu, karena itu ’aku’ berubah dan bergerak, dinamis dalam setiap pengertian.

Momen kewaktuan ’aku’ sebagai manusia itu merupakan isi dari setiap kesadaran tentang manusia, karena momen kemewaktuan ’aku’ itu manusia berkembang, naik dan menukik. Isinya ’aku’ adalah potensi dan aktualitas, aktualitas yang merupakan unsur kekinian (atau kesekarangan) dalam kenyataan (yang sudah menjadi) dan potensi yang merupakan kemungkinan dari setiap ’Aku’ baik dalam kesadaran dalam kebersamaannya dengan yang-lain maupun dalam momen kemewaktuannya.

Potensi tidak hanya berarti kemampuan dalam artian yang sifatnya positif, karena ’aku’ juga berpotensi menukik kejurang kenegatifan. Oleh sebab itu potensialitas merupakan kemungkinan dari setiap kesadaran ’aku’ dalam menjalani kehidupan untuk mencapai totalitas ’aku’ sebagai manusia. Manusia selalu digerakkan juga oleh potensi dari aktualitasnya, untuk mengisi setiap struktur ’aku’nya.

Semua kesadaran tentang manusia yang kompleks dari struktur ’Aku’ manusia diatas mengkerucut pada unsur manusia yang terdiri dari jiwa dan badan. Keduanya bukan merupakan unit-unit yang terpisah dalam manusia melainkan kesatuan yang memberikan jawaban atas kompleksitas dari multidimensinya ’Aku’ total secara konkrit.

Antara jiwa dan badan keduanya saling mengisi mewujudkan ’Aku’. Tidak ada titik pangkal dan akhir sebagaimana yang paling dominan dan tidak dalam pengertian jiwa-badan manusia ini. ’Aku’ merupakan kesatuan jiwa-badan. ’Aku’ adalah ekspresi jiwa yang mewujud dalam badan sekaligus terbatas dalam kesadaran badan yang terwujud di dalam jiwa. ’Aku’ adalah jiwa-yang-membadan dan badan-yang-menjiwa.

Dengan struktur dan unsur manusia dari refleksi ‘aku’ diatas kiranya terlihat hanya manusia yang selain struktur dan unsurnya menunjukkan pluralitas ragam hidupnya yang multidimensi juga unik dan khas dari benda atau makhluk hidup lainnya. Bahkan ‘aku’ dalam kesadaran manusia meunjukkan juga keunikan dan kekhasan antara manusia satu dengan manusia lainnya, bahkan keunikan itu menyublim dalam diri manusia yang memiliki peran ganda. Manusia memiliki peran ganda karena hanya manusia satu-satunya makhluk yang mampu menanyakan atau menyadari hidupnya sendiri, secara orentik berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri mencari kemungkinannya dan memproyeksikan dirinya sendiri sekaligus juga larut dalam kesehariannya bersama dengan yang lain. Disini manusia bukan saja unik sebagai individu, yang membedakannya dengan makhluk lain selain manusia, akan tetapi manusia itu unik dan khas atas sesama manusia dengan individu-individu lain, dan manusia naik menjadi person.


Posting Komentar untuk "Person dan Individu Dalam Dimensi Manusia"