Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Titik Tolak Filsafat Manusia Menurut Para Ahli

Titik Tolak Filsafat Manusia Menurut Para Ahli - Kemajuan yang begitu pesat akhir-akhir ini, membuat kehidupan terasa sangat mengasyikkan, penuh harapan, memuat sejuta janji dan sekaligus tantangan. Kemajuan tersebut terjadi di segala bidang kehidupan, dan di dalam masing-masing bidang muncul cabang-cabang yang begitu subur menggairahkan. Bahkan kemajuan tersebut tidak hanya terjadi di dalam masing-masing bidang, namun terjadi saling terkait dan terlibat antar satu bidang dengan bidang yang lain, sehingga kemajuan yang satu akan memacu dan memicu kemajuan yang lain.

Titik Tolak Filsafat Manusia Menurut Para Ahli_
image source: www.kcl.ac.uk
baca juga:
Terjadinya kemajuan yang semakin laju ini bukanlah tanpa sejarah. Pesatnya kemajuan ini boleh dikatakan baru terjadi setelah umat manusia menjalani kehidupan di bawah tekanan alam dan kodrat yang selama itu tidak bisa dihindari dan diatasi. Sudah sekian lama manusia berbongkok-bongkok hidup dalam lembah kepasrahan di bawah belas kasihan sang nasib. Namun, manusia yang seolah tunduk pada tindihan sang nasib itu ternyata sedang menghimpun kekuatan dan memperkokoh sayapnya. Pada titik ini filsafat lahir sebagai garda penegak akal budi manusia. Setelah kekuatan akal budi tidak bisa dikerangkeng lagi, penindih yang semula dirasa begitu menghimpit mampu dilemparkannya jauh-jauh. Sejak saat itu terasa tidak ada batas alagi yang mampu membentengi arena terbang akal budi manusia. Dia mulai menjelajah ke segenap penjuru dengan kecepatan yang berlipat ganda dibandingkan kecepatan cahaya. Bukan hanya itu tapi kecepatan menjadi percepatan, sehingga manusia tak sempat menoleh ke belakang lagi.

Kemajuan yang dahsyat akhir-akhir ini merupakan hasil kerja manusia selama berabad-abad. Terjadinya perkembangan yang begitu dasyat sebenarnya merupakan akibat dari kerja keras daya akal budi manusia yang telah tertanam di dalam jiwanya untuk mencari terobosan dan pembaruan. Manusialah yang menciptakan sistem-sistem sehingga terjadi gerak laju yang tak terbendung lagi. Namun, keadaan kemajuan yang demikian tidak semuanya membawa dampak yang serba enak dan menteramkan. Hingar-bingar kehidupan semakin terasa menjadi tantangan, kalau bukan kegaduhan. Manusialah yang mencipta situasi, namun sekarang ciptaannya itu telah menjadi begitu perkasa, seolah menjadi monster yang mengancam penciptanya. Begitu hebatnya hasil kerja keras dan segala usaha manusia itu, bahkan sesuatu yang mengancam kehidupan manusia, ternyata juga merupakan hasil ciptaan manusia sendiri.

Akibat yang sangat nyata ialah bahwa manusia dewasa ini, baik secara individu maupun sebagai umat manusia secara keseluruhan, ditantang untuk menentukan tempatnya di dalam gerak maju roda kehidupan yang semakin laju tak kenal henti, apatah lagi mundur. Arus yang begitu deras telah menjadi banjir yang melebihi banjir tahunan Jakarta dengan menyeret kehidupan manusia, sehingga dia tidak sempat lagi berhenti untuk mengenali diri. Seolah-olah manusia digelandang dan harus mengikuti gerak dunia jika ia ‘ogah’ terlindas dan menjadi kerangka nestapa yang tertinggal di museum purbakala.

Keadaan demikian itu justeru semakin keras meneriakkan pertanyaan; Apa dan Siapakah sebenarnya manusia itu? Begitu hebatkah manusia sehingga mampu menciptakan sesuatu yang justeru memangsanya? Kalau dulu manusia begitu nestapa di bawah tindihan sang nasib dalam alam kayangan (mitos) yang berhasil dia dobrak melalui akal budi (filsafat), namun bukankah kini manusia justeru menjadi korban dari akal budinya sendiri dalam rekayasa dan tingkahnya sendiri? Darimanakah sebenarnya manusia berasal dan berkembang sehingga dia menjadi begitu kuasa menciptakan kekuatan yang tak bisa dikontrolnya lagi? Kemanakah manusia mau menuju dengan segala geraknya itu? Dan akhirnya, sampai kepada pertanyaan; apa sebenarnya esensi atau hakikat manusia itu?.

Manusia yang bertanya, tahu tentang keberadaannya dan ia menyadari juga dirinya sebagai yang bertanya. Manusia mencari dan dalam pencariannya, ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu segala kemungkinan-kemungkinannya. Apakah saya ini? Apakah manusia? Apakah kemungkinan-kemungkinan saya dan manusia pada umumnya? Apakah makna kehidupan saya? Benar-benar pertanyaan yang mendasar dan menawan hati. Bahkan dapat ditanyakan lebih mendasar lagi: Apakah kehidupan saya masih mempunyai makna?

Tak salah kiranya kalau kita memandang sebentar kata ‘makna’ itu. Kata ini memiliki berbagai arti. ‘makna’ terutama menunjukkan: arti, nilai, pengertian, rasionalitas juga kesesuaian dengan tujuan. Dalam bahasa Inggris kata makna berarti juga sense dan kata ini sebaiknya dimengerti sebagai kebalikannya yakni nonsense. Karenanya, ‘makna’ dapat kita mengerti sebagai kebalikan dari ‘omong kosong’ atau ‘absurditas’ yang tidak mempunyai arti sama sekali, tidak dapat dimengerti dan bertentangan dengan rasionalitas, tidak bernilai dan sama sekali tidak sesuai dengan suatu tujuan. Yang omong kosong atau absurd itu tidak memiliki hak untuk berada dan tidak memiliki hubungan dengan akal budi dan rasio.

Jika kita berbicara tentang ‘makna kehidupan kita’, maka kita bertanya: Apakah arti kehidupan itu, apa nilainya, bagaimana kita dapat mengerti dan menangkapnya? Kemudian yang terutama kita maksudkan bila kita menanyakan kehidupan kita ialah; Di mana kehidupan itu akan berakhir, apakah tujuannya, dan apakah peruntukannya? Justeru dengan pertanyaan terakhir ini, dapat tampak lebih baik menurut totalitasnya, karena akhir suatu hal biasanya paling baik menunjukkan ‘makna’nya. Dan dalam filsafat manusia, inilah yang disebut dengan ‘kemungkinan ultim’ kehidupan kita sebagai manusia, sebagai cahaya yang menyampaikan pengertian dan arti kepada seluruh kehidupan kita.

Namun, bagaimana saya dapat mengetahui apakah saya ini, terutama kemampuan saya dan makna kehidupan saya? Inilah pertanyaan yang menjadi poin dari pokok bahasan filsafat manusia. Pertanyaan yang selalu menimbulkan pertanyaan selanjutnya dan kemudian hanya menyisakan sikap mental tentang manusia dan laku manusia dalam memaknai hidupnya sebagai sesuatu yang sangat subjektif sifatnya bagi individu manusia yang merasakannya. Dan pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja menuntut pemahaman tentang manusia yang serba konkrit dari yang selama ini tertutup dan misterius.

Untuk membuka selubung misteri manusia, maka pemahaman tentang manusia itu di candra dengan filsafat melalui metafisis yang beranjak mulai dari kondisi dan situasinya, struktur-strukturnya, sosialitasnya, kesejarahan dalam kemewaktuannya, kemungkinannya, juga segala dimensi-dimensinya, bahkan batas kematiannya sendiri. Jika kita hendak berbicara mengenai esensi atau hakikat manusia sebagai manusia yang utuh. Kita selalu menjumpai pengertian yang yang ganda atau tak pernah penuh. Hal ini karena manusia menyadari dirinya yang ganda diantara tubuh dan jiwa dalam segala dimensi-dimensi yang melekat padanya. Lebih dari itu semua, manusia dalam kesadaran sedemikian juga mampu berhadapan dengan dirinya sendiri (dengan kesadarannya sendiri) disamping hanyut dalam kesadaran lingkungannya. Manusia mampu mempertanyakan dirinya, keluar dari dirinya untuk berhadap-hadapan dengan diri sendiri. Inilah yang dikatakan bahwa manusia itu bersifat eksistensial. Eksistensial yang berasal dari ex sistensi (keluar memahami diri) tidak seperti benda atau makhluk hidup lain yang in sistensi (paham dalam dirinya sendiri). Namun kesadaran mengenai esensi atau hakikat manusia tetap mengandaikan adanya kesatuan yang utuh di dalam diri manusia.

Kesatuan yang utuh dalam segala dimensi manusia begitu mutlak sehingga terasa jelas ketunggalan di dalam dirinya sendiri tanpa bisa dibagi-bagi lagi, yang mengkerucut pada manusia sebagai ‘Aku’. Aku adalah aku, baik pada waktu bekerja, berdo’a, belajar, jalan-jalan, bercinta dll. Keutuhan manusia sebagai dirinya, sebagai individu yang unik tak pernah bisa ditawar, ditambah atau dikurangi. Aku yang dulu sama dengan aku yang sekarang, dan tetap sama sampai kapanpun sebagai aku. Demikian pun lingkungan berubah, pergaulan sosial berganti, aku tetaplah aku. Oleh sebab itu, maka titik tolak filsafat manusia dalam upaya mencari esensi atau hakikat manusia itu adalah ‘Aku’ dalam segala struktur dan dimensi-dimensinya.

Objek filsafat manusia itu terdiri dari manusia seluruhnya menurut semua sudutnya. Maka objek itu bukan manusia umum saja sebab lalu diabaikan corak paling khusus di dalam manusia, yaitu keunikan dan kesendiriannya. Setiap manusia adalah seorang ”aku” yang sangat konkret. Jadi, juga istilah ”manusia” harus diungkapkan dengan sangat konkret, sebagai ”aku”. Seorang pemikir filsafat manusia terutama memikirkan kenyataannya sendiri. ”Aku”-nya sendiri merupakan persoalan pokok, dan persoalan itu perlu pertama-tama aku jelaskan sendiri. Memang, masing-masing pemikir filsafat manusia juga harus sedia mendengarkan apa yang telah dikatakan oleh ahli-ahli filsafat lain, tetapi tidak dapat puas dengan hanya mengulang-ulang saja pernyataan orang lain itu. Masing-masing harus mencapai pemahaman dan keyakinan pribadi yang mendalam.


Posting Komentar untuk "Titik Tolak Filsafat Manusia Menurut Para Ahli"