Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kompetisi, Kerjasama dan Dilema Sosial Menurut Para Ahli

Kompetisi, Kerjasama dan Dilema Sosial Menurut Para Ahli - Konflik adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat terjadi antar individu, antar kelompok kecil bahkan antar bangsa dan negara.

Dampak dari konflik pada umumnya negatif. Misalnya, anak yang mempunyai orang tua yang terus menerus bertengkat akan berkurang kepekaan afeksinya, tetapi mudah terpengaruh parilaku-perilaku lainnya (El Sheikh dalam Sarwono, 2001). Konflik intratim olahraga atau di dalam perusahaan akan mengurangi prestasi kelompok dan konflik antarbangsa dapat menyebabkan perang yang menimbulkan banyak korban jiwa.

Oleh karena itu, orang lebih menyukai kerja sama dan perdamaian daripada konflik. Akan tetapi, mengapa tetap saja terjadi konflik? Apakah benar bahwa konflik itu selalu merugikan? Apakah konflik dapat diubah menjadi kerja sama?

Pertanyaan-pertanyaan itu telah menjadi perhatian para peneliti psikologi sosial sejak lama. Semula orang mengira bahwa sumber konflik adalah ras, jenis kelamin, kebudayaan, dan sebagainya. Akan tetapi, penelitian membuktikan bahwa hubungan antarindividu atau antarkelompok dapat menjadi sumber konflik yang lebih penting. Misalnya, penelitian terhadap 2.800 polisi Los Angeles pada bulan Juli 1992 (setelah peristiwa penganiayaan sopir truk bernama Rodney King oleh beberapa orang anggota kepolisian Los Angeles, tetapi sebelum peristiwa kerusuhan Los Angeles), menunjukkan bahwa sikap dan perilaku polisi terhadap masyarakat tidak disebabkan oleh ras atau jenis kelamin, tetapi lebih ditentukan oleh hubungan pribadi setiap polisi dengan masyarakat (Lasley dalam Sarwono, 2001).

Dengan demikian, factor penyebab konflik dapat ditinjau dari teori-teori dinamika individual, seperti psikoanalisis, teori biologi, teori kognitif, teori atribusi dan teori motivasi. Akan tetapi, dalam materi ini bahasan akan dipusatkan khusus pada factor hubungan antarindividu dan antarkelompok sebagai sumber konflik.

Kompetisi, Kerjasama dan Dilema Sosial_
image source: gaips.inesc-id.pt

Dilema Sosial

Salah satu teori yang terkemuka dalam menjelaskan konflik antarindividu adalah dari Rapaport dalam Sarwono (2001), yaitu yang dikenal sebagai teori dilemma terdakwa (prisoner dilemma). Dalam teori ini diandaikan ada dua orang terdakwa yang sedang diperiksa oleh jaksa. Jaksa memberi tahu tentang konsekuensinya kalau mereka mengaku atau tidak mengaku. Kalau terdakwa A mengaku sedangkan terdakwa B tidak mengaku, A mendapat hukuman 10 tahun penjara sedangkan terdakwa B bebas. Akan tetapi, kalau A mengaku sementara B juga mengaku, keduanya hanya mendapat hukuman masing-masing 1 tahun penjara. Sebaliknya, kalau A tidak mengaku dan B mengaku, B-lah yang mendapat hukuman 10 tahun sedangkan A bebas. Sebaliknya, kalau kedua-duanya tidak mengaku, A dan B sama-sama mendapat hukuman 5 tahun penjara.

Kompetisi, Kerjasama dan Dilema Sosial 2_

Menghadapi kemungkinan-kemungkinan di atas, seharusnya kedua terdakwa sama-sama mengaku saja agar mereka sama-sama mendapat hukuman yang paling ringan. Akan tetapi, kalau kedua terdakwa diperiksa terpisah dan tidak dapat saling berunding, kecenderungannya adalah bahwa mereka sama-sama tidak mau mengaku karena keduanya berpikir bahwa kalau hanya ia sendiri yang mengaku, ia akan mendapat hukuman paling berat sementara temannya akan bebas. Akibatnya, kedua terdakwa ktu itu mendapat hukuman 5 tahun penjara.

Dalam kehidupan sehari-hari teori dilema terdakwa ini dapat menjelaskan mengapa dua orang atau dua kelompokk yang saling bermusuhan tidak mau saling berdamai, walaupun keduanya sama-sama menderita kerugian. Kalau saya yang mengajak berdamai lebih dahulu, saya yang rugi karena seakan-akan saya yang salah dan dia yang benar sehingga saya harus minta maaf duluan. Sementara itu, lawan saya akan berpikir sama dengan saya sehingga ia pun tidak mau berinisiatif untuk berdamai. Dalam hubungan ini, tradisi berlebaran dan bermaaf-maafan dalam rangka Idul Fitri bagi umat Islam di Indonesia sangat bermanfaat. Dalam kesempatan yang hanya setahun sekali itu, setiap orang didudukkan dalam posis yang sama. Dapat saling meminta maaf tanpa harus menanggung beban siapa yang mulai duluan, siapa yang bersalah, dan siapa yang dirugikan.

Akan tetapi, dalam skala yang lebih besar, konflik-konflik yang terjadi di dunia tidak semudah itu untuk diredakan. Di tahun 1997, perdamaian antara Israel dan Palestina berkali-kali terbentur kegagalan walaupun sudah berkali-kali dilaksanakan perundingan dan sudah dicapai sejumlah kesepakatan. Persoalan baru berulang kali timbul karena ada saja perilaku, baik di pihak Israel (misalnya, membuku terowongan kuno di Yerusalem atau membangun pemukiman baru kaum Yahudi di Yerusalem Timur) maupun di pihak Palestina (misalnya, bom bunuh diri yang menelan korban rakyat sipil Israel, pemuda palestina menyerang tentara Israel) yang dianggap merugikan pihak yang lain. Oleh karena itu, perdamaian tidak kunjung dapat diwujudkan.

Tragedi di Alun-Alun

Alun-alun adalah lapangan di tengah kota, biasanya selalu ada di kota-kota sedang dan kecil di Jawa, tempat masyarakat kota beraktivitas dan saling bertemu. Di sekitar alun-alun itu biasanya terdapat kantor kabupaten, penjara, masjid dan pasar. Di Inggris dan kota-kota kecil di Amerika Serikat tempat berkumpulnya masyarakat itu dinamakan the commons.

Alun-alun atau the commons itu seharusnya memberi manfaat kepada sebanyak-banyaknya orang, yaitu kalau setiap orang memanfaatkan alun-alun atau the commons itu sampai batas tertentu saja. Kalau setiap orang memanfaatkan alun-alun atau the commons itu untuk kepentingannya sendiri, semua orang akan dirugikan. Akan tetapi, justru perilaku yang merugikan itulah yang lebih sering dilakukan. Seorang ahli ilmu lingkungan bernama Garret Hardin (Sarwono, 2001) mengamati gejala ini dan menamakannya tragedy alun-alun atau the tragedy of the commons.

Hardin menggambarkan tragedi alun-alun itu sebagai berikut. Bayangkan 100 orang petani tinggal di sekitar sebuah lapangan rumput (the commons) yang dapat dimanfaatkan untuk menggembalakan 100 ekor sapi (setiap petani dapat menggembalakan seekor sapi). Dalam keadaan ini semua petani puas dan bahagia. Kemudian, ada seorang petani yang berpikir, “Kalau saya tambahkan satu ekor sapi lagi milik saya, saya akan mendapat manfaat yang lebih besar dari lapangan rumput itu, sementara sapi-sapi lain juga tidak dirugikan karena lapangan rumput itu masih cukup luas”. Akan tetapi, bagi seseorang petani menambahkan sapinya, petani yang lain tidak mau rugi. Mereka pun masing-masing menambahkan seekor sapi, atau bahkan 2 atau 3 ekor lagi. Akibatnya, lapangan rumput itu rusak dan tidak dapat digunakan untuk menggembalakan sapi lagi, walau hanya seekor. Dalam keadaan ini, semua orang dirugikan.

Mengapa semua orang mau dirugikan? Penjelasannya terdapat pada mekanisme dasar dari tragedi alun-alun, yaitu dilemma terdakwa yang melibatkan lebih dari dua pihak. Dalam praktek kita lihat gejala ini dalam kehidupan sehari-hari, seperti pemakaian air bersih, pembuangan sampah, penangkapan ikan paus, pemakaian energy minyak bumi, penebangan hutan, penyalahgunaan lahan untuk parker atau pedagang kaki lima dan ledakan penduduk. Tragedi alun-alun ini sudah diuji kebenarannya di laboratorium eksperimen oleh Julian Edney (dalam Sarwono, 2001).

Dalam eksperimennya itu, Edney menggunakan sejumlah mahasiswa dari Universitas Arizona, Amerika Serikat. Para mahasiswa itu diminta duduk mengitari sebuah mangkuk yang berisi kacang-kacang buatan (dari logam), Jumlah awal kacang logam itu adalah 10 buah. Setiap peserta diminta untuk mengumpulkan kacang sebanyak-banyaknya dan setiap saat masing-masing boleh mengambil berapa saja. Tiap 10 detik, jumlah kacang bertambah dua kali lipat dari jumlah yang tersisa. Dengan kondisi seperti itu, seharusnya setiap peserta saat mengambil kacang dalam jumlah tertentu saja dan secara bergiliran sehingga memberi kesempatan pada kacang-kacang itu untuk melipatgandakan diri dan pada gilirannya memberi peluang untuk setiap peserta mengumpulkan kacang sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, yang terjadi adalah kacang dalam mangkuk habis ludes dalam waktu singkat tanpa diberi kesempatan sama sekali untuk menggandakan diri.

Alasan Dilema Terdakwa dan Tragedi Alun-Alun

Konflik antar individu atau antar kelompok yang merugikan kepentingan bersama ini disebabkan oleh beberapa hal berikut :
  1. Masing-masing pihak (individu, kelompok, suku, ras, bangsa, agama) menilai dirinya sendiri berperilaku sesuai dengan situasi : saya harus menyelamatkan keluarga saya, saya harus menjaga kehormatan saya, saya tidak mau di-kerjain” oleh orang lain, dan sebagainya. Sebaliknya, masing-masing pihak menilai pihak lain berperilaku tidak sesuai dengan situasi : terlalu pelit, terlalu boros, sombong, tidak dapat dipercaya dan sebagainya. 
  2. Motivasi dapat berubah. Di tahun 1960an Presiden Amerika Serikat, Lindon Johnson, memberikan alasan keprihatinan Amerika Serikat untuk mempertahankan demokrasi, kemerdekaan dan keadilan untuk peningkatan peran Vietnam. Akan tetapi, ketika konflik semakin meningkat, Presiden Johnson bicara soal harga diri dan kebanggaan bangsa Amerika Serikat yang akan terpukul sekali apabila Amerika Serikat kalah perang. 
  3. Dalam kehidupan sehari-hari dilema terdakwa dan tragedy alun-alun bukanlah permainan bertitik-nol, setidak-tidaknya untuk jangka waktu tertentu (beberapa generasi). Misalnya, sumber-sumber bahan bakar minyak ternyata masih terus menerus ditemukan, ditemukan energy baru (surya dan lain-lain), dan ditemukan metode penyulingan air bersih sehingga orang mengira bahwa perilakunya tidak menyebabkan kerugian. Karenanya, walaupun tidak ada orang yang dengan sengaja mencemari udara Jakarta atau mencemari sungai Ciliwung, pencemaran berjalan terus. Juga walaupun tidak orang yang setuju dengan peperangan, pembunuhan, terorisme, dan lain-lain, tetapi konflik Palestina-Israel, Bosnia-Serbia, Inggris-Irlandia Utara dan sebagainya berjalan terus. 
  4. Sulit sekali untuk memperkirakan apakah pihak lain mau bekerja sama atau tidak. Kalau diperkirakan semua orang mau bekerja sama kemungkinan besar justru akan terjadi pemalasan sosial, yaitu beberapa orang tidak mau bekerja sama (karena mau untung sendiri). Akan tetapi, kalau semua orang tidak mau bekerja sama, tidak ada seorang pun yang mau bekerja sama karena rugi kalau mau bekerja sama (Antonides dalam Sarwono, 2001). 
  5. Dalam praktek tidak semua konflik berasal dari sumber-sumber yang terbatas. Dilema sosial yang menyangkut nilai-nilai, misalnya dapat berlangsung terus menerus karena sumber konfliknya terletak pada nilai-nilai itu sendiri. Misalnya, kaum lesbian yang feminis selalu berkonflik dengan kaum lesbian pendukung gerakan pro-gay. Kelompok lesbian yang progerakan gay lebih dekat kepada kaum homoseks pria daripada kepada rekan mereka sesama lesbian karena nilai-nilai mereka sangat berbeda (Kristiansen dalam Sarwono, 2001). 

Mengatasi Dilema Sosial

Walaupun dilema sosial sulit dihindari, dicegah atau diatasi sepenuhnya, para peneliti berusaha menemukan beberapa cara untuk mengurangi kemungkinan terjadinya dan memperkecil dampak negative dari dilema sosial. Cara-cara itu antara lain sebagai berikut :

1. Pengaturan (pembuatan aturan)
Semua menyepakati suatu aturan tertentu agar masing-masing dapat memperoleh hasil yang optimal.

2. Kecil itu indah (small is beautiful)
Dalam kelompok kecil setiap individu lebih bertanggung jawab, lebih efektif dan lebih terikat pada kelompok (Kerr dalam Sarwono, 2001), juga cenderung untuk tidak mengambil lebih dari apa yang diperlukan (Allison, Jordan & Yeatts dalam Sarwono, 2001). Oleh karena itu, kelompok sebaiknya dibuat kecil : kota kecil, otonomi sampai ke daarah yang terkecil (desa), perusahaan kecil atau pelimpahan tanggung jawab diberikan sampai kepada bagian yang terkecil dalam perusahaan dan sebagainya.

3. Komunikasi
Kelebihan dari satuan-satuan yang kecil pada hakikatnya adalah kemudahan untuk saling berkomunikasi. Komunikasi yang efektif pada gilirannya memungkinkan terbentuknya aturan yang disepakati dan ditaati bersama. Oleh karena itu, komunikasi yang baik adalah satu satu cara mengatasi dilema sosial yang dianjutkan.

Komunikasi ternyata juga mengurangi saling ketidakpercayaan. Orang yang menyangka bahwa orang lain tidak mau bekerja sama, juga tidak akan mau bekerja sama, sedangkan tidak adanya kerjasama meningkatkan saling ketidakpercayaan. Dalam komunikasi saling bekerja sama dan saling percaya dapat ditingkatkan (Messe & SIvacek dalam Sarwono, 2001).

4. Pembalikan manfaat
Yang tadinya menguntungkan dibuat tidak menguntungkan, sebaliknya yang tadinya tidak menguntungkan dibuat menguntungkan. Misalnya, sejak tahun 1991 di Jakarta berlaku peraturan bahwa antara pukul 06.30 sampai dengan 10.00 kendaraan pribadi (roda empat) yang akan melalui jalan-jalan protocol diharuskan membawa penumpang sedikitnya tiga orang (termasuk pengemudi). Tujuan peraturan ini adalah untuk mencegah kemacetan di jalan-jalan protocol itu pada jam-jam sibuk. Akan tetapi, tujuan itu tidak tercapai karena pengemudi yang sendirian dengan mudah dapat mengajak anak-anak atau remaja (dikenal dengan istilah “jockey”) yang sengaja menarwarkan jasa untuk menemani masuk ke jalan protocol dengan imbalan uang tertentu. Pengemudi melakukan hal tersebut karena menguntungkan dirinya sendiri. Untuk mencegah nya perlu diadakan pembalikan manfaat : pengguna jockey ditilang dan didenda yang berat (sehingga yang tadinya untung jadi rugi) dan pelayanan transportasi umum ditingkatkan sehingga lebih nyaman, aman dan cepat (sehingga yang tadinya merugikan jadi menguntungkan).

5. Imbauan untuk berbuat baik atau imbauan altruism (moralizing)
Imbauan sering kali memang tidak efektif. Misalnya, imbauan untuk menabung, imbauan untuk menjaga kebersihan oleh walikota, imbauah untuk mempertahankan perdamaian sering kali hanya bagaikan angin lalu. Akan tatapi, imbauan yang menyentuh perasaan dapat efektif juga (Kerr dalam Sarwono, 2001). Di Indonesia contohnya adalah imbauan untuk menyumbang bagi korban bencana alam (dompet bencana alam) yang sering dilakukan oleh koran-koran yang biasanya berhasil mengumpulkan dana cukup banyak untuk diteruskan kepada para korban. Juga ceramah-ceramah dan informasi-informasi mengenai dilema sosial, etika, khotbah-khotbah juga dapat menyebabkan perilaku altruism (Dawes dalam Sarwono, 2001).

6. Terbuka dan transparan
Kalau orang tahu siapa yang berbuat apa, kelompok dapat menjatuhkan sanksi pada yang berbuat tidak sesuai dengan aturan. Setiap anggota kelompok juga akan lebih berhati-hati agatr tidak merugikan orang lain dan tidak melakukan pelanggaran (Antonides dalam Sarwono, 2001).

Kompetisi

Bentuk lain dari konflik, baik antar individu maupun antar kelompok adalah kompetisi yang antara lain dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut :
  1. Pada bulan Oktober-November 1996, jutaan pengungsi Hutu di Zaire terperangkap dan terjepit di tengah antara Zaire dan pemberontak Tutsi untuk yang didukung oleh tentara Rwanda (yang dikuasai oleh suku Tutsi). Bantuan makanan dan obat-obatan dari organisasi-organisasi sosial tidak dapat masuk dan tidak dapat mencapai para pengungsi itu. Ketika persediaan yang masih tersisa dibagikan, terjadi perebutan antar manusia-manusia dalam masa pengungsian. Yang terkuat yang menang. Seorang pemuda yang tubuhnya kuat merebut sekotak makanan dari seorang ibu yang menggendong bayinya, seorang ibu yang berhasil mendapatkan makanan dikejar ramai-ramai oleh serombongan anak-anak remaja sehingga ia lari pontang-panting dan jatuh tunggang langgang dan makanannya berserakan
  2. Persaingan yang sudah tidak memandang bulu lagi itu dapat terjadi juga antar dokter, penginjil, ahli hukum, professor, pengusaha, gelandangan, pelacur seperti yang terjadi di kalangan tawanan di kamp. Jepang dalam masa Perang Dunia II di CIna (Gilkey dalam Sarwono, 2001). 
  3. M. Sheriff (dalam Sarwono, 2001) pada tahun 1919 menyaksikan sendiri tentara Yunani yang memasuki kotanya di Turki (dalam perang dunia I), menembaki orang seenaknya ke kanan dan ke kiri. 

Ketiga contoh diatas membuktikan bahwa reaksi yang negative dalam kompetisi dipicu oleh situasi yang negative juga dalam kompetisi itu sendiri, bukan oleh factor-faktor lain, seperti maslaah rasial, status sosial ekonomi atau agama.

Ketidakadilan

Faktor lain yang dapat menimbulkan konflik, baik antar individu maupun antar kelompok adalah ketidakadilan. Pertanyaan yang hendak dijawab oleh Psikologi Sosial adalah “apakah keadilan itu?”

Walster, Walster & Buscheid dalam Sarwono (2001) menjawab pertanyaan ini dengan mengajukan rumus bahwa hasil harus sama atau seimbang dengan masukan (input). Dalam hubungan antar individu atau antar kelompok, keadilan jadinya berarti keseimbangan antara hasil saya dan hasil Anda.

Secara teoritis perasaan ketidakadilan ini timbul karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang menimbulkan frustasi. Frustasi ini pada gilirannya menimbulkan perilaku agresif. Teori yang dikemukakan oleh Dollard dalam Sarwono (2001) dan Miller (dalam Sarwono, 2001) ini disebut sebagai teori frustasi-agresi.

Versi yang lebih baru dari teori frustasi-agresi ini adalah teori deprivasi relative. Deprivasi relative adalah persepsi tentang kesenjangan antara harapan dan kesejangan itu sendiri dapat langsung menimbulkan perilaku agreasi.

Akan tetapi, baik deprivasi maupun frustasi tersebut yang bermuara pada perasaan ketidakadilan, pada umumnya berawal dari adanya “peraturan utama” yang mengatakan bahwa “Siapa yang lebih utama dialah yang membuat peraturan”. Adanya peraturan utama inilah yang menyebabkan setiap pihak (orang, golongan, kelompok, suku, ras) ingin menjadi utama (berkuasa, memerintah, mengatur).

Kesalahan Persepsi

Berikut ini, dibahas bagaimana kesalahan persepsi dapat menyebabkan konflik antar individu atau antar kelompok

Persepsi Cermin
Ketika Urie Brofenbrenner mengunjungi Uni Soviet (US) pada tahun 1960 dia sangat terkejut mendengar bagaimana pendapat orang Rusia mengenai Pemerintah Amerika Serikat (AS). (1) Pemerintah AS adalah agresif (secara militer), (2)Pemerintah AS mengeksploitasi rakyatnya, (3) Pemerintah AS tidak dapat dipercaya dalam diplomasi karena di AS sendiri orang berbicara hal yang sama mengenai US. Lama-kelamaan timbul prasangka yang semakin dalam antara kedua bangsa yang berlangsung terus sampai tahun 1980an. Segala sesuatu jika mereka yang melakukan dinilai jelek, tetapi hal yang sama jika kita lakukan sendiri tidak apa-apa. Misalnya, ketika AS menginvasi Vietnem, US marah. Sebaliknya, ketika US masuk ke Afganistan, AS yang marah. Kecenderungan untuk melihat perilaku sendiri kepada orang lain dan sekaligus menyalahgkannya dinamakan “persepsi cermin” (mirror image perception).

Persepsi yang berubah-ubah
Kesalahan persepsi yang dapat menimbulkan konflik dapat juga disebabkan oleh persepsi itu sendiri yang sering berubah-ubah tergantung pada keadaan subjek yang melakukan persepsi itu, hubungan subjek dengan orang lain atau pihak lain, dan situasi sesaat. Persepsi selalu subjektif, tidak objektif, jika tidak mudah untuk mengetahui mana yang benar. Misalnya, waktu masih pacaran, seorang pria menyukai semua hal pada pacarnya (“Kalau marah, kamu tambah cantik deh”). Akan tetapi, kalau sudah menikah, semua yang tadinya bagus menjadi jelek (“Mengapa sih, marah-marah melulu! Jelek, lu!”).

Demikian juga yang terjadi pada hubungan antarbangsa. Orang AS pernah membenci bangsa Jerman pada Perang Dunia I, tetapi memuja Jerman setelah PD I. Dalam PD II Jerman dikutuk lagi oleh AS, tetapi setelah PD II Jerman menjadi sekutu AS yang paling dekat. Demikian pula Jerman. Sebelum PD II kawan, dalam PD II lawan, setelah PD II kawan lagi. Akan tatapi, setelah Jepang mengancam ekonomi AS, Jepang kembali menjadi lawan. Sebaliknya, terjadi pada US. Pada PD II US adalah sekutu AS, semasa perang dingin menjadi musuh. Jelaslah bahwa disini ada pengaruh afek (perasaan). Jika afek seseorang atau sekelompok sedang positif (senang, bahagia, penuh harapan), persepsi terhadap orang lain positif juga. Sebaliknya jika afek sedang negative (marah, kesal, takut, iri), persepsi terhadap orang lain pun negative (DIvidio dalam Sarwono, 2001).

Seperti ilmu terapan, Psikologi Sosial mencoba mencari berbagai alternatif untuk mengatasi konflik sebagaimana uraian pada materi konflik antar kelompok.. Di pihak lain, harus tetap diperhatikan bahwa ada hal-hal tertentu dalam psikologi yang masih tetap merupakan kendala terhadap penyelesaian konflik secara tuntas. Faktor tersebut antara lain adalah naluri agresif yang oleh kaum psikoanalis dikatakan disublimasikan ke dalam permusuhan terhadap kelompok luar (outgroup), ketaatan kepada pemimpin, motivasi untuk berkuasa dan memperoleh kekayaan, kekeraskepalaan, kemarahan dan perilaku-perilaku yang terkait dengan jenis kelamin (Caspary dalam Sarwono, 2001).

Walaupun konsep naluri ini masih kontroversial, banyak bukti bahwa agresivitas tidak sepenuhnya dapat dilenyapkan karena masih terdapat factor-faktor lainnya di luar naluri itu sendiri. Faktor lain itu adalah faktor-faktor eksternal, seperti pengaruh sejarah, kebudayaan dan kebiasaan yang sudah mengakar selama beberapa generasi. Misalnya, adat suku-suku Amungme dan Komoro di Mimika, Irian Jaya, yang sudah berlangsung beradab-adab tidak begitu saja dapat diubah dalam waktu beberapa belas tahun, walaupun sudah diupayakan pendidikan, inkubasi bisnis dan sebagainya. Contoh lain, Polisi Afrika Selatan pada tanggal 21 Maret 1985 dalam kerusuhan di provinsi Cape Timur melepaskan tembakan kepada sekelompok kecil kerumunan sehingga menewaskan 10 orang kulit hitam. Penembakan itu didasari oleh agresi emosi, bukan agresi instrumental (yaitu agresivitas yang pelu dilaksanakan petugas untuk memulihkan keamanan). Emosi petugas muncul karena pada saat-saat kritis itu mereka tidak mendapat petunjuk atau peristiwa dari komandannya karena terputusnya hubungan komando. Agresitvitas itu jadinya bukan merupakan bagian dari sistem kekuasaan formal yang belaku saat itu, melainkan sebagai cetusan emosi petugas-petugas polisi kulih putih yang sudah beberapa generasi bersikap bermusuhan terhadap kulit hitam (Thornton dalam Sarwono, 2001).

Di samping itu, terdapat bukti-bukti bahwa walaupun tidak ada lagi kaitan sejarah, faktor-faktor baru yang terjadi, yang mempengaruhi proses kognitif (melalui perbandingan sosial dan lain-lain) dapat melanjutkan hubungan antarkelompok yang sudah buruh dan semula mempunyai alasan tradisional. Misalnya, prasangka yang cukup kuat di kalangan kulit hitam AS terhadap orang Yahudi yang selama ini berlangsung karena tradisi, sekarang justrus terhadap di kalangan kulit hitam yang berpendidikan tinggi yang mempunyai wawasan luas yang mampu membuat perbandingan dan penilaian baru (Okami dalam Sarwono, 2001).

Untungnya berbagai penelitian membuktikan bahwa konflik yang mempunyai aspek-aspek positif, seperti memperkuat identitas kelompok, meningkatkan prestasi kelompok (Jehn dalam Sarwono, 2001), memberi peluang untuk belajar, meningkatkan consensus (Franz & Jin dalam Sarwono, 2001).

Kontak

Kontak (hubungan langsung) adalah salah satu hal yang terpenting untuk mendekatkan pihak-pihak yang saling berinteraksi. Makin sering kontak, makin dekat hubungan antara pihak-pihak yang tadinya saling mengenal, saling bersikap negative, atau saling bermusuhan. Salah satu contoh adalah hubungan golongan pria dan wanita di Indonesia. Secara tradisional kaum wanita di Indonesia mempunyai posisi yang lebih rendah dari pria (tidak mempunyai kesempatan bersekolah, lapangan kerja terbatas, haknya dalam keluarga sangat terbatas dan sebagainya). Sebagai hasil perjuangan R.A. Kartini, di Indonesia mulai ada sekolah-sekolah khusus perempuan semakin banyak, semakin tersebar, dan semakin tinggi tingkatannya (mula-mula terbatas pada sekolah kepandaian putri kemudian berkembang SMA-SMA seperti Santu Ursula, Theresia dan Loyola dan akhirnya pada tahun 1964 pernah dibuka Fakultas Kedokteran dari Universitas Wanita “Kartini” di Jakarta). Pada tahap berikutnya, sekolah-sekolah umum semakin banyak menerima murid wanita, demikian pula sekolah-sekolah kejuruan teknis dan universitas. Dampaknya sekarang wanita Indonesia menempati posisi yang relative paling maju di antara negara-negara berkembang, sebagai akibat dari semakin banyaknya kontak antara golongan pria dan wanita, baik dalam forum-forum pendidikan maupun pekerjaan.

Contoh lain adalah di Korea Selatan. Status wanita di negari itu pun mengalami perkembangan. Dalam masyarakat yang masih tetap mempertahankan sistem “demokrasi patriaskhal” (dominasi pria), wanita sudah mulai mendapat posisi (politik) karena terjadinya kategorisasi atau skema kogntiif yang paling fleksibel untuk wanita di kalangan kaum pria (Soh dalam Sarwono, 2001).

Di bidang militer, pengaruh kontak terhadap interaksi yang positif dilaporkan oleh Stouffer dalam Sarwono (2001). Setelah Perang Dunia II diadakan wawancara terhadap anggota tentara kulit putih mengenai pendapat mereka terhadap pasukan atau kesatuan tentara campuran (kulit hitam dan putih). Ternyata mereka berasal dari pasukan/kesatuan khusus kulih putih hanya 11 % yang menyatakan setuju, sedangkan tentara kulih putih yang berasal dari pasukan/kesatuan campur 60 % menyatakan setuju.

Di kalangan penghuni pemukiman, eksperimen tentang kontak dilaporakan oleh Deutsch & Collins dalam Sarwono (2001). Pada tahun 1949 dan 1950 dibuka dua pemukinan baru. Yang satu di New York City, sedangkan yang satu lagi di Newark, New Jersey. Walaupun lokasi kedua permukiman apartemen itu hanya dipisahkan oleh sebuah sungai, keduanya terletak di negara bagian yang berbeda. Di negara bagian New York berlaku undang-undanga desegragasi (penetapan tempat hunian tidak boleh membedakan warna kulit) sehingga penghuni kulih putih dicampurkan (tinggal berdekatan) dengan penghuni kulit hitam. Sebaliknya, di negara bagaian New Jersey (pada waktu itu) berlaku undang-undang segregasi. Jadi, hunian kulit hitam dipisahkan dari hunian kulit putih. Hasil wawancara terhadap penghuni wanita kulit putih di New York adalah menyetujui pemukiman antar ras, sedangkan penghuni wanita kulit putih di Netwark tidak menyetujui.

Di pihak lain, kontak memang tidak selalu berhasil mengembangkan sikap yang positif dan saling kerja sama. Misalnya, dalam kasus hubungan Israel-Palestina, kontak (perundingan) yang berkali-kali antara Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin dan pemimpin PLO Yaser Arafat, yang dipelopori oleh Menteri Negeri AS Warren Christopher, telah membuahkan berbagai kesepakatan menuju perdamaian. Akan tetapi, seteak Yitzak Rabin digantikan oleh Nethanyahu membuka terowongan kuno Al Aqsa yang membuat marah orang-orang palestina. Selain itu, ia pun membuka permukiman Yahudi di Yerusalem Timur yang jelas-jelas bertentangan dengan isi perjanjian perdamaian Israel dan Palestina. Sejak itu (awal 1997), hubungan antara kedua pihak yang sudah membaik menjadi rusak kembali. Upaya Presiden AS, Bill Clinton pun untuk mendekatkan kedua pihak itu tidak berhasil, tetapi justru semakin menjauhkan mereka.

Kontak yang justru mengurangi interaksi yang positif terjadi pada menantu yang tinggal bersama mertua. Selama mereka tinggal serumah, sering terjadi konflik, tetapi setelah tinggal terpisah, pada umumnya justru hubungannya menjadi lebih baik.

Demikian pula pelajar-pelajar yang sudah terlibat permusuhan antarsekolah sulit untuk dipertemukan. Walaupun ketua OSIS sudah saling didamaikan, perkelahian antarsekolah tidak jgua reda. Sementara jika diadakan pertandingan sepak bola persahabatan antarsekolah-sekolah yang bermusuhan, yang terjadi bukannya persahabatan karena adanya kontak, melainkan justru perkelahian gara-gara sepak bola itu sendiri.

Kontak yang Tidak Mendukung Interaksi Positif

Penelitian-penelitian mengenai kontak yang tidak mendukung interaksi positif adalah sebagai berikut :
  • Orang-orang tua kulit putih yang tinggal di kawasan pemukiman yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Hispanik/Amerika Latin, tidak setuju anak-anak mereka di sekolah diberi pelajaran bahasa Spanyol di samping bahasa Inggris (Huddy & Sears dalam Sarwono, 2001). 
  • Media massa merupakan sarana keterbukaan dan kontak antara berbagai unsur dalam masyarakat. Akan tetapi, sering kali media massa malah mempertajam indetitas kelompok dan meningkatkan konflik (Price dalam Sarwono, 2001). 
  • Di Harris Country Texas, dua kelompok minoritas (kulit hitam dan Hispanik) tidak selalu mendukung koalisi politik antara kedua kelompok itu. Bahkan, semakin tinggi kedudukan, tingkat sosial-ekonomi, dan pendidikan seseorang semakin rendah dukungannya terhadap koalisi (Tedin & Murray dalam Sarwono, 2001). 
  • Prasangka penduduk kulit putih Kanada terhadap penduduk asli (Indian atau dinamakan juga Aborigin-Kanada) masih tetap didasari oleh prasangka, perbedaan sosial-ekonomi, dan interes kelompok semakin sulit dikembangkan hubungan yang harmonis walaupun sudah sering dilakukan kontak (Langford dalam Sarwono, 2001). 
  • Kontak warga negara Indonesia (WNI) non-pribumi (keturunan Cina) dengan pribudi di Semarang pada tahun 1950-an sangat dekat, tetapi tidak sejajar. Cina sebagai majikan, pribumi sebagai pembantu. Akibatnya timbul perasaan superioritas kelompok Cina terhadap pribudmi (Willmott dalam Sarwono, 2001). Keadaan yang masih berlangsung sampai saat ini, sering kali merupakan sekam yang pada saat-saat tertentu dapat menyalakan api rasialisme di Jawa Tengah, di Jawa bahkan di Indonesia pada umumnya. 
  • Walaupun selalu terjadi kontak yang intensif (bahkan sering kali didorong dan didukung oleh pemerintah), prasangka rasial (yang sering bercampur dengan politik, agama dan kebudayaan) terhadap WNI keturunan Cina masih tumbuh di kalangan masyarakat pribumi di Indonesia. Bentuk prasangka itu, antara lain dengan adanya anggapan bahwa Cina adalah eksklusif; Cina mendominasi perekonomian; Cina adalah komunis; Cina masih dekat ke tanah leluhurnya daripada ke Indonesia; Cina sama saja semuanya (homogeny) (Suryadinata dalam Sarwono, 2001). 

Kontak yang Menimbulkan Interaksi Positif

Kontak yang menimbulkan hubungan antarindividu atau kelompok jika status kedua pihak setara (equal status contact), tetapi akan mempertajam konflik jika kontak itu terjadi dalam situasi kompetitif, tidak ditunjang oleh penguasa atau pengatur, dan tidak setara (Pettigrew dalam Sarwono, 2001). Dalam keadaan yang setara, semakin banyak kontak semakin kecil kemungkinan bias (penyimpangan) persepsi (Gaerner dalam Sarwono, 2001).

Selain itu penelitian juga telah membuktikan bahwa kontak dan komunikasi, baik antar kelompok maupun di dalam kelompok dapat meningkatkan daya guna kelompok (group efficacy), tetapi daya guna kelompok tidak dapat meningkatkan komunikasi (Kerr dalam Sarwono, 2001).

Sayangnya, keadaan setara dan adanya tujuan bersama yang dapat meningkatkan hubungan antarkelompok melalui kontak sangat jarang dalam kenyataan sehari-hari (Amir dalam Sarwono, 2001).

Kerjasama

Kesetaraan ternyata juga belum menjamin kerja sama yang baik antara dua kelompok. Dalam eksperimen Sherif (dalam Sarwono, 2001) yang telah diuraikan diatas, kelompok Elang dan Ular tetap bermusuhan walaupun kompetisi telah dihentikan. Kegiatan-kegiatan bersama yang tidak kompetitif: menonton, makan bersama, dan memasang kembang api, tetap diwarnai oleh permusuhan. Sesekali permusuhan sudah terjadi sulit untuk mendamaikan kembali.

Namun, tidak berarti bahwa kedua kelompok sama sekali tidak dapat didamaikan. Dalam eksperimennya itu, Sherif (dalam Sarwono, 2001) membuktikan bahwa ada factor-faktor tertentu yang dapat memperbaiki hubungan antara dua kelompok.

Musuh bersama

Di tahun 1945, kelompok-kelompok yang saling bersaing di Indonesia bersatu padu untuk merebut kemerdekaan. Kelompok Mujahidin di Afganistan segera bekerja sama dengan bekas musuhnya, golongan komunis, setelah kelompok Taliban menguasai Kabul dan merupakan ancaman, baik terhadap kaum Mujahidin maupun komunis. Saddam Husein berperang melawan Iran selama 8 tahun dan hasilnya adalah kebangkrutan Irak, ribuaan orang tewas, kritik dari dalam negari dan perbatasan Irak-Iran sama sekali tidak berubah, sama seperti sebelum perang. Untuk menghindari perpecahan dalam negeri Saddam Husein menciptakan musuh bersama baru, yaitu Kuwait (Socolovsky dalam Sarwono, 2001).

Tujuan bersama

Musuh bersama dapat disubstitusikan dengan tujuan bersama, tujuan yang lebih tinggi, dan lebih utama dari pada tujuan kelompok masing-masing. Dalam eksperimen Sherif (dalam Sarwono, 2001), dibuat problem seakan-akan saluran air mampat sehingga seluruh penghuni perkemahan tidak dapat mandi, minum dan memasak. Kelompok Elang dan Ular mau tidak mau harus bekerja sama untuk membuat air mengalir kembali di perkemahan. Pada kesempatan lain, tiba-tiba ada truk mogok menghalangi jalan masuk ke perkemahan. Sopirnya minta tolong kepada anak-anak dan setelah semua anak (baik dari kelompok Elang maupun Ular) ikut mendorong, truk dapat berjalan. Semua anak bertepuk tangan. Setelah itu, suasan di perkemahan menjadi jauh lebih akrab. Kedua kelompok mau bertegur sama dan mau bekerja sama membuat acara-acara. Ketika pulang ke Oklahoma, kedua kelompok membaur dalam bus-bus dan bersama-sama menyanyikan lagu Oklahoma.

Eksperimen Sherif tersebut direplikasi oleh Blake & Mounton (dalam Sarwono, 2001( terhadap 1000 orang eksekutif dalam 150 kelompok yang berbeda. Hasilnya dengan ekperimen Sherif. Kesimpulannya adalah bahwa proses dari lawan menjadi kawan tidak hanya terjadi pada remaja, tetapi juga terjadi pada orang dewasa.

Akan tetapii, kita juga harus berhati-hati karena keberhasilan Sherif yang dikukuhkan oleh Blake & Mouton itu disebabkan karena adanya upaya bersama antara kedua kelompok itu (Elang dan Ular) diakhiri dengan keberhasilan upaya itu sendiri. Keberhasilan itulah yang menyebabkan hubungan antarkedua kelompok yang awalnya bersaing menjadi akrab. Sebaliknya, kalau hasil upaya bersama itu tidak seperti yang diharapkan (jelek, gagal, tidak sukses), kedua kelompok justru akan semakin bermusuhan karena keduanya saling menyalahkan (Worchel dalam Sarwono, 2001).
Mempelajari sesuatu secara bersama

Ketika kelompok Elang dan Ular bersama-sama berusaha memperbaiki saluran, anggota kelompok tidak hanya mempelajari sistem saluran air bersama-sama, tetapi juga belajar untuk saling bekerja sama. Proses ini meningkatkan hubungan antarkelompok (Sherif dalam Sarwono, 2001). Di Amarika Serikat sejak tahun 1960-an anak-anak kulit putih dari anak-anak kulit berwarna diharuskan bersekolah di sekolah campuran. “Mereka saling belajar untuk saling bekerja sama. Hasilnya adalah semakin meningkatnya pengertian antara kedua kelompok itu (Slavin dalam Sarwono, 2001).

Komunikasi

Komunikasi antarkelompok yang dapat meningkatkan kerjasama, dapat berwujud salah satu dari tiga bentuk yang berikut. (1) Tawar Menawar (bargaining), (2) dengan perantaraan pihak ketiga (mediasi), (3) arbritasi (mediasi aktif, dimana pihak ketiga ikut menawarkan alternative penyelesaian masalah).

Tawar Menawar

Tawar Menawar (bargaining) adalah mencari alternatif dalam konflik antara dua kelompok dengan langsung berkomunikasi. Tujuannya adalah untuk mencari posisi atau situasi yang paling tepat yang dapat memuaskan kedua pihak (seperti dalam tawar menawar di pasar). Kelompok yang kerja sama dalam kelompoknya baik, juga lebih baik dalam negosiasi antarkelompok, sedangkan kelompok yang dalam kelompoknya sendiri saling berkompetisi juga cenderung untuk berkompetisi dengan kelompok lain (Keenan & Carnevale dalam Sarwono, 2001). Akan tetapi, tawar menawar tidak selalu berhasil. Kalau penawaran terlalu tinggi, pihak lain merasa tidak perlu melanjutkan komunikasi sehingga pemecahaman persoalan yang diharapkan tidak terjadi. Dalam perang teluk, misalnya, Presiden Bush pernah berucap melalui media masa, “Kita akan sepak pantat si Saddam”, dan Saddam Husein membalas, “Kita akan buat Amerika tolol itu berenang di darahnya sendiri”. (Myers dalam Sarwono, 2001). Setelah ucapan-ucapan itu, tidak dapat lagi dilakukan komunikasi antara kedua pihak tanpa ada pihak yang harus kehilangan muka sehingga terjadilah perang Teluk itu.

Mediasi

Untuk menyelamatkan kedua pihak dari kehilangan muka, diperlukan pihak ketiga, yaitu mediator. Peran mediator hanya menjadi penghubung atau penengah antara kedua pihak sehingga tercapai penyelesaian masalah sebagaimana yang diharapkan tanpa harus ada yang kehilangan muka. Dengan perkataan lain, mediator berfungsi untuk mengubah dari konflik menang-kalah (win-loose conflict) menjadi konflik menang-menang (win-win conflict) (Pruitt dalam Sarwono, 2001).

Contoh klasik dikemukakan oleh Follet (dalam Sarwono, 2001), yaitu dua saudara perempuan yang berebut sebuah buah. Melalui pihak ketiga diketahui bahwa saudara yang satu mau membuat sari jeruk, sedangkan saudara yang lain ingin membuat selai kulit jeruk. Akhirnya, konflik ini diselesaikan dengan memberikan isi jeruk kepada saudara yang pertama dan kulitnya kepada saudara yang kedua.

Dalam praktik psikologi sering terjadi pasangan suami-istri atau ibu-anak datang kepada psikolog dalam keadan tidak dapat saling berkomunikasi. Setelah psikologi mewawancaraai kedua pihak secara terpisah, diketahuilah hal-hal yang dapat dikembangkan untuk mencapai penyelesaian menang-menang. Dalam konsultasi-konsultasi berikutnya, kedua pihak diajak oleh psikolog untuk saling berkomunikasi dengan memanfaatkan hal-hal yang positif tersebut.

Kunci untuk mencapai penyelesaian menang-menang adalah saling percaya (Ross & Ward dalam Sarwono, 2001). Dalam kasus dilema terdakwa yang sudah diuraikan pada materi konflik antar kelompok, kedua terdakwa sama-sama tidak mau mengaku sehingga keduanya mendapat hukuman yang cukup berat karena keduanya terdakwa saling percaya, tentu keduanya akan mengaku dan mendapat hukuman yang ringan. Membuat kedua terdakwa saling percaya itulah tugas mediator.

Dalam politik, tugas mediator ini dilaksanakan dengan baik oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Henry Kissinger, dalam diplomasi ulang alik antara Israel dan negara-negara Arab ketika itu sehingga berhasil ditandatangani tiga persetujuan (Pruitt dalam Sarwono, 2001).

Abritasi

Kalau mediasi tidak berhasil, sangat boleh jadi diperlukan abritasi. Kegagalan tawar menawar, baik langsung maupun melalui mediator kemungkinan disebabkan karena kedua pihak sudah membekukan posisinya masing-masing dan tidak mau bergeser lagi. Kedua pihak merasa bahwa dengan membekukan posisi itu mereka akan memperoleh kemenangan dengan negosiasi yang sedang terjadi. Dalam keadaan ini diperlukan campur tangan aktif dari pihak ketiga yang bukan hanya menawarkan alternative, melainkan juga menegakkannya bahwa kalau perlu memaksakannya dengan kekuasaan (Pruitt dalam Sarwono, 2001).

Dalam konflik Bosnia-Serbia, misalnya negara-negara NATO (dibawah pimpinan Amerika Serikat) campur tangan dan memaksa perdamaian dengan kekuatan senjata untuk kemudian dilanjutkan oleh pasukan PBB.

Konsiliasi

Kalau dua kelompok sudah sama sekali tidak dapat saling dihubungkan, tidak ada gunanya untuk melanjutkan usaha komunikasi . Dalam keadaan ini sebaiknya masing-masing pihak mengundurkan diri, saling menghindari kontak untuk menghindari hal-hal yang negative. Pengunduran diri ini dinamakan konsiliasi dan tujuannya adalah untuk meredakan ketegangan.

Sebagai upaya lebih lanjut dapat diusahakan GRIT (Graduated and Reciprocated Initiatives in Tension reduction) (Osgood dalam Sarwono, 2001), yaitu masing-masing pihak melakukan langkah-langkah kecil guna memancing pihak lain untuk bereaksi, yaitu melakukan langkah-langkah kecil juga. Contohnya adalah pada tahun 1980-an, dalam krisis Berlin, tank-tank AS dan US sudah saling berhadapan. Krisis itu diatasi dengan ditariknya tank-tank AS sedikit demi sedikit. Setiap langkah mundur tank AS diikuti oleh mundurnya tank US sampai 
akhirnya semua tank dari kedua pihak ditarik mundur (Rubin dalam Sarwono, 2001).


Posting Komentar untuk "Kompetisi, Kerjasama dan Dilema Sosial Menurut Para Ahli"

Klik link dibawah ini untuk mengunduh artikel: