Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori Terjadinya Kelompok Menurut Orientasi Psikologi

Teori Terjadinya Kelompok Menurut Orientasi Psikologi - Kelompok merupakan pokok bahasan yang penting dalam Psikologi Sosial karena sebaai makhluk sosial manusia tidak pernah terlepas dari kelompok. Keberadaan manusia, baik ketika sendiri maupun ketika bersama orang lain, seringkali dipengaruhi oleh orang lain.

Menurut Allport, kelompok adalah sesuatu yang tidak nyata, kelompok hanya ada dalam pikiran individu, kelompok merupakan sekumpulan individu yang memiliki nilai, ide, pikiran atau kebiasaan yang sama. Namun Durkheim menyatakan sebaliknya kelompok adalah hal yang nyata, kelompok bukan hanya sekedar sekumpulan orang-orang yang memiliki ide-ide yang sama, melainkan ia memiliki keunikan sendiri yang berbeda dengan individu-individu yang membentuknya.

Teori Terjadinya Kelompok Menurut Orientasi Psikologi_
image source: www.psysr.org

1. Teori Perkembangan Kelompok

Teori ini dikemukan oleh Bennis & Sheppard (dalam Sarwono) dan dipengaruhi oleh psikoanalisis. Intinya adalah pencarian otoritas (dalam psikoanalisis : tokoh ayah). Seseorang masuk ke dalam suatu kelompok dengan keraguaan siapa di dalam kelompok itu yang menjadi tokoh otoritas dan ketika ia menemukannya ia bimbang antara ingin mengikuti otoritas dan ingin melepaskan diri dari otoritas tersebut.

Tahap-Tahap Perkembangan Kelompok :

Tahap otoritas

a. Ketergantungan pada otoritas
Anggota mengharapkan arahan dari orang tertentu yang dianggap sebagai otoritas

b. Pemberontakan
Jika orang yang dianggap sebagai otoritas dipandang tidak mampu atau tidak sesuai dengan harapan anggota, orang tersebut diabaikan atau disingkirkan. Kemudian dipilih otoritas baru atau kelompok dibiarkan informal dulu untuk sementara. Dalam tahap ini dapat terjadi konflik antar anggota.

c. Pencairan
Ada dua kemungkinan, pertama diterimanya tokok otoritas yang ada karena mampu atau terpilih tokoh otoritas baru. Dari kemungkinan yang pertama kelompok akan berlanjut. Kemungkinan kedua adalah tidak terpilih otoritas baru, kelompok akan bubar, tidak berlanjut atau terpecah.
Tahap pribadi

Tahap ini merupakan tahap pemantapan saling ketergantungan antaranggota kelompok

a. Tahap harmoni
Semua pas, semua bahagia karena saling percaya, saling memenuhi harapan. Produktivitas kelompok pada tahap ini cukup tinggi

b. Tahap identitas pribadi
Pribadi-pribadi mulai merasa tertekan oleh kelompok. Masing-masing pribadi menginginkan identitas pribadinya. Kelompok terbagi dua antara yang mau mempertahankan situasi seperti apa adanya (status quo) dan yang mau mencari aktivitas individual walaupun tetap dalam kelompok.

c. Tahap pencairan masalah pribadi
Setiap anggota kelompok sudah mengetahui persis posisi masing-masing, sudah dapat saling menerima, dapat saling berkomunikasi dengan baik. Setiap anggota diberi peran yang sesuai dengan kemampuan dan sifat masing-masing. Individu tidak kehilangan identitas diri dan kebebasannya walaupun tetap terikat pada keanggotaan kelompok. Tahap ini merupakan tingkat yang maksimal dalam perkembangan kelompok.

2. Teori Hubungan Pribadi

Disebut sebagai teori FIRO-B (Fundamental Interpersonal Relation Orientation Behavior) dan dikemukakan oleh Schulz (dalam Sarwono, 2002)

Teori ini juga dipengaruhi oleh psikoanalisis dan intinya adalah kebutuhan dasar dalam hubungan antara individu dan individu lainnya. Menurut Schutz ada tiga macam kebutuhan dasar pada manusia sehubungan dengan hubungan antarpribadi tersebut, yaitu
  • Inklusi : kebutuhan untuk terlibat dan termasuk dalam kelompok
  • Kontrol : kebutuhan akan arahan
  • Afeksi : kebutuhan akan kasih saying dan perhatian dalam kelompok

Walaupun setiap orang mempunyai ketiga kebutuhan dasar tersebut, pada tiap-tiap orang ada salah satu kebutuhan yang lebih menonjol daripada yang lainnya. Menurut Schulz ada tiga tipe kepribadian manusia ditinjau dari hubungannya dengan orang lain, yaitu tipe inklusi, kontrol dan afeksi.

Sejalan dengan pengaruh pengalaman dan pendidikan yang diperoleh pada masa kanak-kanak orang yang tidak cukup mendapat pemenuhan kebutuhan inklusi akan menjadi orang yang merasa tidak bermakna (insignificant), orang yang tida cukup mendapat pemenuhan kebutuhan kontrol akan merasa dirinya tidak mampu (inkompeten) dan orang yang tidak cukup mendapat pemenuhan kebutuhan afeksi akan merasa dirinya tidak dicintai (unlovable).

Selanjutnya, dikatakan oleh Schulz bahwa dalam hubungan antarpribadi dapat terjadi hubungan yang selaras atau compatible (orang yang butuh inklusi berhubungan dengan orang memberi inklusi, orang yang butuh kontrol berhubungan dengan orang dapat memberikan kontrol, dan orang yang butuh afeksi berhubungan dengan pemberi afeksi) atau tidak selaras atau inkompatibel. Jika hubungan ini kompatibel, kemungkinan untuk berlanjut lebih besar daripada jika hubungan itu inkompatibel.

Dalam hubungan keserasian atau kompatibilitas inilah ada dua tipe dari masing-masing jenis kebutuhan tersebut, yaitu (1) tipe yang membutuhkan (wanted), yaitu membutuhkan inklusi (ingin diajak, ingin dilibatkan), membutuhkan kontrol (ingin mendapat pengarahan, petunjuk) dan membutuhkan afeksi (ingin disayang, dicintai), (2) tipe yang memberi (expressed), yaitu memberi inklusi (mengajak, melibatkan orang lain), memberi kontrol (mengarahkan, memimpin) dan memberi afeksi (memberi perhatian, kasih sayang).

Dengan demikian, ada enam tipe kepribadian menurut teori FIRO-B tersebut.

Berbagai bentuk perilaku hubungan antarpribadi sehubungan dengan terpenuhi atau tidaknya ketiga kebutuhan dasar di atas adalah sebagai berikut : 

Perilaku inklusi

a. Perilaku kurang sosial (undersocial behavior)
Malu, menarik diri, sulit menyesuaikan diri, terjadi pada individu yang kurang terpenuhi kebutuhan inklusinya semasa anak-anak sehingga merasa insignifikan.

b. Perilaku terlalu sosial (oversocial behavior)
Terlalu mementingkan teman, mau berkorban demi teman sekalipun merugikan diri sendiri. Perasaan insignifikan yang timbul dari kurang terpenuhinya kebutuhan inklusi dikompensasi (ditutupi) dengan perilaku sosial berlebih agar orang lain mau melibatkan dia.

c. Perilaku sosial (social behavior)
Cukup percaya diri, mampu menyesuaikan diri dengan tepat sesuai dengan situasi dan kondisi karena masa anak-anaknya cukup terpenuhi kebutuhannya akan inklusi

Perilaku kontrol

a. Perilaku menurut atau abdikrat (abdicratic behavior)
Selalu ikut saja kata-kata atau kehendak orang lain, merasa dirinya tidak mampu berbuat kalau tidak diberi petunjuk. Perilaku ini terkait dengan kepribadian inkompeten karena kurang terpenuhinya kebutuhan akan kontrol semasa kanak-kanak.

b. Perilaku otokrat (autocratic behavior)
Sebagai kompensasi perasaan inkompeten karena kurang terpenuhinya kebutuhan akan kontrol semasa kanak-kanak muncul perilaku yang mau selalu mengatur, cenderung memerintah dan mau benar sendiri

c. Perilaku democrat (democratic behavior)
Orang yang mendapatkan cukup kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya akan kontrol semasa kanak-kanak akan berperilaku demokratis, mendengarkan pendapat orang lain dan mempertimbangkan pendapat orang lain sebelum mengambil suatu keputusan.

d. Perilaku patologik (pathological behavior)
Kurang terpenuhinya kebutuhan akan kontrol dimasa kanak-kanak dapat berkembang menjadi psikopat atau obsesif kompulsif.

Perilaku Kelompok Menurut Teori FIRO – B

Seperti halnya dengan teori otoritas, teori FIRO-B yang juga mendasarkan pada psikoanalisis mempunyai teori sendiri mengenai proses terjadinya kelompok. Menurut teori ini ada tiga tahap proses pembentukan kelompok (1) inklusi (2) kontrol (3) afeksi

Tahap inklusi adalah tahap yang paling awal karena individu baru pertama kali bergabung dengan individu lain dalam kelompok. Identitas pribadi masih dominan dan hasrat untuk bergabung dengan kelompok berkonflik dengan hasrat untuk mempertahankan identitas diri. Ada perasaan tidak diterima oleh kelompok, merasa bukan senasib atau sejenis dengan individu-individu lain dalam kelompok, ada hasrat untuk meninggalkan atau ke luar saja dari kelompok, tetapi juga ada dorongan untuk tetap tinggal dalam kelompok. Kalau individu merasa bahwa kelompok itu tidak terlalu penting maka ia akan meninggalkan kelompok.

Tahap berikutnya adalah tahap kontrol karena kelompok itu mulai mengatur diri dengan tata tertib, kesepakatan tentang peraturan, tujuan kelompok, pembagian tugas antaranggota kelompok dan sebagainya. Tahap ini analog dengan tahap otoritas dengan otoritas dalam teori Bennis & Sheppard.

Tahap terakhir adalah tahap afeksi karena para anggota sudah saling mengenal satu sama lain, timbul perasaan saling suka atau saling tidak suka antaranggota sehingga akhirnya terbentuk sub-kelompok, geng atau klik yang merupakan bagian dari kelompok yang besar.

Ketiga tahap ini dapat berputar-putar seperti daur ulang selama periode tertentu.

3. Teori Sintalitas Kelompok

Sintalitas adalah istilah yang dikemukakan oleh Cattel yang artinya adalah kepribadian yang khusus digunakan untuk kelompok. Cattel berpendapat bahwa untuk mempelajari kelompok perlu ada cara untuk menguraikan dan mengukur sifat-sifat dan perilaku kelompok. Karena itulah ia mengembangkan konsep-konsep kepribadian kelompok atau sintalitas kelompok

Dasar pendapat Cattel ini adalah pandangan McDougall mengenai kelompok. Ia menyatakan sebagai berikut :
  • Perilaku dan struktur yang khas dari suatu kelompok tetap ada, walaupun anggotanya berganti-ganti 
  • Pengalaman-pengalaman kelompok direkam dalam ingatan 
  • Kelompok mampun berespons secara keseluruhan terhadap rangsang yang tertuju kepada salah satu bagiannya 
  • Kelompok menunjukkan adanya dorongan-dorongan 
  • Kelompok menunjukkan emosi yang bervariasi 
  • Kelompok menunjukkan adanya pertimbangan-pertimbangan kolektif (bersama) 

Selanjutnya untuk meramalkan perilaku kelompok, menurut Cattel kita harus mengetahui adanya tiga dimensi dari sintalitas kelompok
  1. Dimensi sifat-sifat sintalitas, yaitu pengaruh dari keberadaan kelompok dan perilaku kelompok, baik terhadap kelompok lain maupun lingkungan. Sifat sintalitas ini terlihat antara lain dari agresivitas terhadap kelompok lain, kerjasama dengan kelompok lain dan perilaku kelompok terhadap lingkungan. 
  2. Dimensi struktur kelompok yaitu bagaimana hubungan antar anggota kelompok, perilaku-perilaku dalam kelompok dan pola organisasi kelompok. Dimensi ini terlihat antara lain dari pola kepemimpinan dalam kelompok, klik, geng, pembagian peran, status, dan pola komunikasi dalam kelompok. 
  3. Dimensi sifat populasi yaitu sifat-sifat rata-rata anggota kelompok, misalnya taraf inteligensi, keadaan sosial ekonomi, tingkat pendidikan, banyak peristiwa kriminal dan sikap rata-rata terhadap berbagai permasalah sosial. 

Eksistensi suatu kelompok tergantung pada seberapa jauh kelompok dapat memenuhi kebutuhan individu. Jika sebuah kelompok tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya, kelompok itu semakin berkurang jumlah anggotanya dan akhirnya bubar. Sementara itu, setiap anggota kelompok dapat menjadi anggota dari dua atau lebih kelompok yang lain.

Teori Cattel merupakan teori yang menjembatani teori yang berorientasi psikologi dan yang berorientasi sosiologi karena walaupun ia masih menggunakan asas psikologi, unit analisisnya adalah pada tingkat kelompok.

Terjadinya Kelompok Menurut Orientasi Sosiologi

1. Teori Identitas Sosial

Teori Identitas Sosial dikemukakan oleh Billig (dalam Sarwono, 2002), dimana mendefinisikan kelompok sebagai kumpulan orang-orang yang anggota-anggotanya sadar atau tahu akan adanya satu identitas sosial bersama.

Identitas sosial didefinisikan sebagai sebuah proses yang mengikat individu pada kelompoknya dan yang menyebabkan individu menyadari diri sosialnya (social self). Identitas sosial adalah suatu proses, bukan tindakan atau perilaku. Proses itu tidak terjadi pada tingkat individu tetapi individu merupakan bagian dari proses tersebut. Proses itu ada objek dan subjek identifikasi karena identifikasi selalu membutuhkan sesuatu untuk diidentifikasikan. Antara subjek dan subjek lain atau objek yang diidentifkasikan ada hubungan dialektik. Subjek disini adalah agen yang aktif, tidak pasif. Sifat dialektik itu menyebabkan proses identitas sosial terkait dengan waktu dan sejarah. Hubungan dengan waktu dan kaitan dengan sejarah memungkinkan stabilitas, tetapi juga perubahan sosial.

2. Teori Identitas Kelompok

Berbeda dari teori identitas sosial yang orientasinya sosiologik, teori identitas kelompok lebih banyak didasari oleh antropologi. Menurut Horowitz (dalam Sarwono, 2002), indicator pertama dari identitas etnik adalah karena paling terlihat, adalah warna kulit. Negro (Nigger) adalah sebutan untuk orang berkulit hitam di Amerika. Keturunan Malaysia di Thailand Selatan yang lebih gelap warna kulitnya dari orang Thai dinamakan Khaek. Keturunan India di Sumatera Utara dan Malaysia dipanggil orang keeling.

Akan tetapi, nyatanya, walaupun merupakan indicator pertama, tidak selalu warna kulit merupakan indicator utama dalam menentukan identitas etnik. Hubungan hierarkis antara dua kelompok etnik (yang satu lebih dominan dari yang lain) juga dapat menimbulkan identitas etnik yang tajam, walaupun tidak ada perbedaan warna kulit. Di Indonesia, orang Cina yang warna kulitnya tidak jauh berbeda dari pribumi dianggap etnik yang sangat berbeda oleh orang pribumi.

Disamping itu, warna kulit juga sering kali dikalahkan oleh sejarah sebagai indicator identitas etnik, khususnya sejarah yang menyangkut konflik antarkelompok. Dulu di Amerika Utara, orang Inggris (kulit putih) dinamakan Kristen dan orang Afrika (kulit hitam) dinamakan kafir. Akan tetapi, setelah orang Afrika menjadi Kristen (sejak 1680) mereka disebut Hitam dan orang Inggris disebut Putih. Jadi intinya adalah mempertahankan perbedaan sosial karena latar belakangnya adalah perbudakan. Di sisi lain, keturunan campuran (indo di Indonesia atau mulatto di Filipina) dapat berubah-ubah warna kulit sesuai dengan perkembangan sejarah hubungan antarernik. Anak keturunan pribumi-Belanda, misalnya dapat dianggap berkulit putih jika diakui oleh bapaknya, apalagi kalau ia disekolahkan di negeri Belanda. Sebaliknya, jika ia tidak diakui, ia tetap berkulit coklat dan dianggap sebagai pribumi terus.

Dengan demikian, nyatalah bahwa semakin tajam konflik antaretnik, semakin nyatalah ciri-ciri perbedaan warna kulit, bukan sebaliknya (semakin nyata perbedaan warna kulit, semakin tajam konfliknya).

Ciri fisik yang mudah terlihat ini ada tiga macam, yaitu (1) bawaan sejak lahir, selain warna kulit juga raut wajah, warna dan bentuk rambut, postur tubuh. (2) yang bukan bawaan seperti dikhitan, lubang anting, gigi dipangkur, goresan-goresan di kulit, gigi rusak karena air minum. (3) perilaku seperti busana, memelihara jenggot, gaya duduk atau berdiri.

Indikator identitas etnik yang lain adalah yang tidak terlihat. Termasuk didalamnya adalah (1) bahasa (tata bahasa, sintaksis, perbendaharaan kata, aksesn, huruf-huruf). Di Indonesia sejak Sumpah Pemuda 1928 bahasa Indonesia dijadikan bahasa kesatuan untuk mempertebal identitas etnik. (2) budaya, nama, kebiasaan, makanan, penguasaan ritual budaya tertentu (hafal doa-doa, lagu-lagi, tahu tata cara) (3) agama.

3. Teori Identitas Budaya

Pendekatan lain terhadap identitas kelompk adalah identitas budaya. Smith & Bond (dalam Sarwono, 2002) melaporkan hasil penelitian Hofstede terahdap sebuah perusahaan Amerika Serikat bernama Hermes (bukan nama sesungguhnya) yang diselenggarakan antara tahun 1967-1973. Penelitian yang kemudia menjadi penelitian monumental ini dilaksanakan di cabang-cabang perusahaan Hermes di 50 negara dan meliputi 117.000 responden yang terdiri atas karyawan perusahaan bagian pemasaran dan pelayanan yang pada umumnya adalah pria.

Dalam penelitian itu ada empat faktor yang diukur yaitu (1) jarak kekuasaan (2) menghindari ketidakpastian (3) individualism-kolektivitsme (4) maskulinitas dan femininitas.

Dari hasil penelitian ternyata ada korelasi yang negative antara jarak kekuasaan dan individualism. Negara-negara maju dimana jarak kekuasaan rendah (atasan dekat dengan bawahan dan bawahan dekat dengan atasan) ternyata individualismenya tinggi. Sebaliknya di negara-negara yang jarak kekuasaannya jauh (bahawan enggan berhubungan langsung dengan atasan) kolektivismenya tinggi (individualism rendah). Walaupun ada beberapa pengecualian, secara keseluruhan dapat disimpulkan oleh Hofstde bahwa kedua faktor itulah (jarak kekuasaan dan individualism-kolektivisme) yang menentukan identitas suatu bangsa.

Pandangan Hofstede ini diperkuat oelh Bochner & Hosketh (dalam Sarwono, 2002) dalam penelitian mereka di sebuah bank di Australia yang pegawainya terdiri atas berbagai etnik. Dari seluruh pengawai diambil sample sejumlah 136 orang dari etnik Angloceltic dan 127 responden etnik Asia. Hasilnya adalah bahwa individualism tinggi. Sementara untuk etnik Asia sebaliknya, yaitu jarak kekuasaan tinggi dan individualisem rendah.

Dinamika Kelompok

Perilaku seseorang dalam kelompok dapat berbeda dengan perilaknya ketika ia sedang sendiri Contoh : ketika seseorang sedang belajar sendiri di kamarnya, ia dapat dengan santati tiduran sambil mendengarkan music dan menggoyang-goyangkna anggota badannya. Hal ini tidak dilakukannya ketika ia belajar di kelas.

Bagaimana kelompok dapat mempengaruhi perilaku anggotanya dapat dilihat antara lain pada 4 aspek, yaitu :
  1. Peran
  2. Status
  3. Jejaring komunikasi
  4. Sosialisasi kelompok
  5. Norma
  6. Kekompakan

Seseorang dalam kelompok dapat ditunjuk, baik secara formal maupun nonformal, untuk menjalankan peran tertentu. Adapun yang dimaksud peran di sini adalah fungsi-fungsi dalam kelompok. Melalui perannya tersebut seseorang dapat mengetahui apa yang mejadi tugas dan tanggung jawabnya dalam kelompok. Peran merupakan salah satu cara kelompok untuk membentuk tingkah laku dan pikiran anggota kelompok yang memegang peran tersebut. Misalnya, peran sebagai pemimpin, akan mengarahkan tingkah laku dan pikirannya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan perannya sebagai pemimpin. Namun perannya juga memiliki dampak negative, pertama karena dapat terjadi konflik peran, kedua dapat menimbulkan reaksi negative pada seseorang karena perilakunya menjadi dibatasi oleh perannya.

Setiap peran memiliki gengsi atau wibawa yang berbeda, inilah yang disebut status. Orang dengan status yang tinggi akan mendapatkan fasilias yang lebih baik dari kelompoknya, dan pada gilirannya akan mempengaruhi perilakunya dan perilaku anggota kelompok padanya. Status terdiri dari dua jenis, yaitu status yang diwariskan (ascribed status) dan status yang diusahakan (achieved status). Status yang diwariskan adalah status yang diberikan kepada individu karena ia memiliki karakteristik yang menurut kelompok berharga dan prestisius. Berbeda dengan status yang diwariskan, status yang diusahakan diperoleh individu karena ia melakukan sesuatu yang penting dalam mencapai tujuan kelompok atau berkorban untuk kelompok.

Komunikasi di dalam kelompok biasanya membentu jejaring yang menentukan siapa berkoordinasi dengan siapa. Jejaring komunikasi bisa terpusat (centralized) atau tersebar (decentralized). Jejaring komunikasi terpusat terbentuk ketika anggota kelompok harus menghubungi seorang tokoh sentral untuk berkomunikasi dengan anggota lain. Tokoh sentral ini adalah sumber informasi serta target komunikasi. Jejaring komunikasi terpusat mencakup Y, wheel dan rantai. Sedangkan jaringan komunikasi tersebar terbentuk ketika informasi mengalir di antara anggota kelompok tanpa harus melalui tokoh sentral. Disini komunikasi dan akses informasi terdistribusi secara lebih merata.

Teori Terjadinya Kelompok Menurut Orientasi Psikologi 2_

Sosialisasi kelompok adalah bagaimana kelompok berubah dari waktu ke waktu karena anggotanya berinteraksi sehingga terjadi perubahan struktur hubungan dan peran di dalam kelompok. Ada berbagai model sosialisasi kelompok. Salah satunya adalah Model Perkembangan Kelompok Dasar dari Tuckman (dalam Sarwono & Mainarno, 2009)). Model ini meliputi hal-hal berikut:
  1. Forming. Ini adalah tahap pertama, kelompok baru terbentu, partisipasi anggota kelompok masih sedikit dan bergantung pada pemimpin atau peraturan umum.
  2. Storming (konflik). Ini merupakan tahap kedua, anggota kelompok tidak sependapat tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana peran pemimpin di dalam kelompok. Di sini terjadi diskusi dan perdebatan antaranggota sambil saling menilai satu sama lain.
  3. Norming (struktur). Pada tahap ketiga ini mulai ada kohesi kelompok serta terbentuk struktur, peran, dan rasa ke-kita-an. Disini juga ditentukan tata cara, norma ,aturan, hak dan kewajiban yang akan dijadikan rujukan.
  4. Performing (bekerja). Pada tahap ini anggota kelompok terfokus untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok
  5. Adjourning (bubar). Ini adalah tahap terakhir, anggota kelompok mulai melepaskan diri dari kegiatan sosial, emosional dan tugas kelompok.

Norma sebagai aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok, baik yang tersirat maupun yang tersurat, akan mengatur perilaku anggota kelompok. Melalui norma kelompok, anggota kelompok dapat mengetahui bagaimana seharusnya mereka bertingkah laku (prescriptive norms) dan tingkah laku apa yang tidak boleh mereka lakukan (proscriptive norms).

Norma berkembang melalui beberapa cari, yaitu :
  1. Pemimpin menyatakan secara eksplisit norma kelompok
  2. Norma ditetapkan sebagai reaksi atas munculnya kejadian kritis dalam kelompok
  3. Norma berasal dari pengamatan suatu kelompok terhadap norma yang berlaku di kelompok lain, yang dirasa cocok untuk diterapkan dalam kelompoknya.

Kekompakan kelompok mencakup semua kekuatan / faktor yang menyebabkan anggota kelompok tetap bertahan dalam kelompok. Semakin kompak suatu kelompok, makasemakin besar tingkat konformitas anggota terhadap kelompok (kepatuhan pada norma kelompok). Dengan demikian ,semakin kompak maka semakin besar pengaruh kelompok terhadap anggotanya.

Hal yang menarik adalah mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mendasari kekompakan kelompok. Selama ini dipercayai bahwa daya tarik antar anggota kelompok merupakan faktor yang membuat suatu kelompok mejadi kompak. Namun selanjutnya ditemukan bahwa ada faktor lain yang berperan dalam kekompakan kelompok, yang bersifat depersonalized attraction yaitu keanggotaannya pada kelompok yang memiliki ciri-ciri khas.


Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada kekompakan kelompok adalah :
  1. Besarnya usaha atau kesulitan yang dihadapi untuk menjadi anggota kelompok
  2. Adanya ancaman dari luar atau kompetisi terhadap kelompok lain
  3. Ukuran kelompok, kelompok kecil cenderung lebih kompak dibandingkna kelompok yang lebih besar.

Kelompok dan Hasil Pelaksanaan Tugas

Telah dibahas diatas bagaimana kelompok mempengaruhi tingkah laku anggotanya. Pengaruh kelompok tersebut dapat terwujud melalui peran dan status yagn dipegang seseorang dalam kelompok, melalui norma-norma yang berlaku dalam kelompok, serta tingkat kekompakan yang dimiliki kelompok.

Apakah kelompok juga berpengaruh terhadap hasil pelaksanaan anggotanya? Atau, apakah seseorang lebih baik mengerjakan tugas bersama orang lain atau bekerja sendiri? Pertanyaan ini menarik untuk dijawab mengingat banyak pekerjaan kita yang dalam pelaksanaannya dapat dikerjakan bersama orang lain atau dihadapan orang lain.


Posting Komentar untuk "Teori Terjadinya Kelompok Menurut Orientasi Psikologi"