Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian dan Metode Cooperative Learning Menurut Ahli

Pengertian dan Metode Cooperative Learning Menurut Para Ahli - Cooperative learning adalah sebuah pendekatan dari suatu instruksi dimana para murid bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lain dalam belajar (Ormrod, 2000). Jadi, mereka bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Keuntungan-keuntungan dari penerapan metode ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang (Ormrod, 2000):
  1. Psikologi Kognitif: meningkatkan pemahaman dan integrasi dari bahan-bahan pelajaran, saling membantu dan menyemangati dalam belajar, serta menyumbang lebih banyak ide daripada ide yang dikeluarkan seorang anggota kelompok. Selain itu, setiap anggota kelompok dapat menyadari kekurangan mereka masing-masing, mengenali adanya kesalahan dalam memahami sesuatu, serta meningkatkan perspective taking.
  2. Behaviorist: adanya reward untuk keberhasilan yang dicapai kelompok sesuai dengan prinsip group contingency dalam operant conditioning.
  3. Social Cognitive: murid akan memiliki self-efficacy yang tinggi dalam pengerjaan suatu tugas ketika mereka tahu bahwa mereka akan ditolong oleh anggota kelompok lain sehingga mereka berhasil mengerjakan tugas tersebut. Selain itu, mereka dapat saling meniru cara belajar dan strategi pemecahan masalah yang efektif.


Saat ini, sudah berlangsung ketertarikan yang lebih lanjut dalam mengadopsi prinsip cooperative learning dalam belajar di kelas (Johnson & Johnson, 1987). Untuk itu, pertama-tama perlu dibedakan antara cooperative learning dan kelompok belajar tradisional (Johnson & Johnson, 1987):

Strategi Cooperative Learning

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk menerapkan cooperative learning, di antaranya adalah:

1. Jigsaw
Strategi ini dicetuskan Aronson (dalam Woolfolk, 2004). Dalam Jigsaw, setiap anggota mendapat bagian yang harus dikuasai dari materi keseluruhan. Masing-masing anggota harus mengajari anggota yang lain bagian yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam Jigsaw II, yang merupakan pengembangan dari Jigsaw, anggota-anggota yang mempelajari bagian yang sama dari berbagai kelompok akan membentuk kelompok sementara, untuk memastikan pemahaman yang mereka miliki. Setelah itu mereka akan kembali ke kelompok asal untuk mengajari anggota kelompoknya.

2. Reciprocal Questioning
Reciprocal questioning dilakukan setelah presentasi materi oleh pengajar dilakukan. Dalam strategi ini, para siswa bekerja secara berpasangan atau bertiga untuk melakukan tanya-jawab seputar materi yang telah diberikan (King, dalam Woolfolk, 2004). Pengajar dapat memberikan kerangka pertanyaan, dan selanjutnya siswa diajari untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan spesifik berdasarkan kerangka tersebut.

3. Scripted Cooperation
Strategi ini dikembangkan oleh Dansereau (dalam Woolfolk, 2004). Dalam scripted cooperation, siswa bekerja bersama-sama dalam hampir segala tugas. Misalnya, dalam suatu tugas, dua orang siswa membaca materi, seorang lain memberikan kesimpulan secara lisan, dan siswa yang lain memberikan komentar terhadap kesimpulan yang diberikan serta mengoreksi jika terjadi kesalahan. Selanjutnya, para anggota kelompok bekerja sama mengelaborasi informasi yang diperoleh dari materi tadi, seperti menciptakan asosiasi, jembatan keledai, memberi contoh analogi, dan sebagainya. Pada tugas berikutnya, para siswa bertukar peran. Misalnya, yang sebelumnya membaca kini memberi kesimpulan lisan; yang sebelumnya memberi kesimpulan menjadi komentator dan korektor; dan seterusnya. Manfaat dari pendekatan ini adalah membantu siswa meningkatkan strategi belajar, yaitu mengelaborasi, meringkas, dan memonitor pemahaman (Ormrod, 2000).

4. Student Teams-Achievement Division (STAD)
Slavin dan rekan-rekannya (dalam Woolfolk, 2004) mengembangkan suatu strategi untuk meningkatkan motivasi siswa melalui kerjasama dalam kelompok dan kompetisi antarkelompok. Dalam STAD, sebuah kelompok beranggotakan sekitar lima orang dari kedua jenis kelamin, berbagai tingkat kemampuan, dan etnis. Pengajar akan membuat Individual Learning Expectation (Ekspektasi Belajar Individu) berdasarkan kemampuan masing-masing individu. Ekspektasi Belajar Individu ini menggambarkan kemampuan rata-rata dari individu tersebut.

Siswa akan belajar dalam kelompok untuk mempersiapkan diri menghadapi kuis dua-mingguan. Siswa mengerjakan kuis secara individual. Berdasarkan nilai yang diraih dalam kuis, setiap individu dapat memperoleh poin antara satu sampai tiga. Pemberian poin satu sampai tiga tersebut dilakukan dengan membandingkan nilai siswa dengan Ekspektasi Belajar Individu yang ia miliki. Dengan demikian, setiap siswa tetap dapat menyumbang poin maksimal bagi kelompoknya, disesuaikan dengan kemampuannya, yang tercantum dalam Ekspektasi Belajar Individu. Setelah beberapa minggu, skor masing-masing kelompok akan dibandingkan, dan kelompok yang memiliki skor tertinggi akan mendapatkan reward. Setiap 5-6 minggu, kelompok dapat dirombak, sehingga setiap siswa berkesempatan untuk bekerja bersama siswa yang berbeda-beda (Parsons, Hinson, & Sardo-Brown, 2001).

5. Group Investigation
Strategi ini dikembangkan oleh Sharan dan Sharan (dalam Barry & King, 1999). Dalam strategi ini langkah-langkah yang dilakukan adalah:
Kelompok menentukan subtopik dari topik yang dipelajari kelas.
Setiap anggota kelompok mempelajari bagian tertentu dari subtopik tersebut.
Bagian-bagian yang telah dipelajari oleh masing-masing anggota disatukan dalam suatu laporan.
Laporan tersebut dipresentasikan di depan kelas.
Kelompok akan menerima reward dari hasil kerja mereka, dan reward tersebut akan dibagi kepada seluruh anggota di kelompok tersebut.

6. Teams-Games-Tournaments (TGT)
Slavin (dalam Gage & Berliner, 1998) merupakan tokoh yang mengemukakan strategi ini. TGT dilakukan dengan membentuk kelompok yang beranggotakan tiga orang dengan kemampuan yang setara. Pada setiap kelompok terdapat “Pembaca”, “Penantang 1”, dan “Penantang 2”. Pembaca akan memilih sebuah kartu bernomor, dan mengambil kartu dari daftar pertanyaan yang bernomor sama. Selanjutnya, pembaca akan membacakan pertanyaan yang tertera dan mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kemudian, Penantang 1 dapat mencoba memberikan jawaban yang berbeda, atau tidak menjawab (pass). Setelah itu, Penantang 2 akan mencari jawaban yang tepat. Siapapun yang mengajukan jawaban yang tepat boleh menyimpan kartu pertanyaan yang dimenangkannya. Jika yang memberikan jawaban yang salah adalah Pembaca, ia tidak dikenai sanksi, tetapi jika Penantang yang salah, ia harus mengembalikan kartu yang telah dimenangkan sebelumnya. Anggota kelompok dengan nilai tertinggi akan maju ke kelompok yang beranggotakan orang-orang dengan kemampuan yang lebih tinggi, sedangkan yang mendapat nilai paling rendah akan bertanding di kelompok dengan kemampuan yang lebih rendah. Nilai dari masing-masing kelompok akan dijumlah, dan kelompok dengan nilai tertinggi akan mendapat reward.

7. Team-Assisted Individuation (TAI)
TAI digunakan pada pelajaran matematika. Pada strategi yang dikemukakan oleh Slavin ini (dalam Gage & Berliner, 1998), kelompok yang dibentuk beranggotakan 4-5 orang. Setiap orang akan belajar bersama seorang partner yang juga merupakan anggota kelompoknya. Setelah belajar, setiap anggota akan mengerjakan ujian secara bersama-sama, dan mengoreksi jawaban dengan cara bertukar lembar jawaban. Nilai yang diperoleh kelompok merupakan total dari jumlah nilai ujian para anggota. Dalam TAI, kelompok tidak bersaing dengan kelompok lain, tetapi berusaha untuk melampaui target yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika kelompok berhasil melampaui target, para anggota akan mendapat reward atas prestasi tersebut.

Meningkatkan Efektivitas Cooperative Learning

Cooperative learning bukanlah proses sederhana yang meliputi pembentukan kelompok dan membiarkan murid bekerja untuk menyelesaikan tugas bersama-sama. Agar cooperative learning dapat berhasil, guru harus membuat struktur kegiatan sedemikian rupa sehingga kerja sama tidak hanya sekadar membantu kesuksesan akademik, melainkan sungguh-sungguh diperlukan untuk mencapainya. 

Berikut ini adalah beberapa strategi untuk meningkatkan kerja sama dalam kelompok:

1. Memilih keanggotaan dalam suatu kelompok berdasarkan keefektifan kerja sama murid.
Kelompok cooperative learning biasanya terdiri dari 2-6 orang, namun jumlah yang paling efektif adalah 3-4 orang (Ormrod, 2000). Menurut Woolfolk (2004), jumlah ideal anggota dalam satu kelompok bergantung pada tujuan belajar yang hendak dicapai. Jika tujuan belajarnya adalah meninjau (review) dan melakukan latihan, baik yang bersifat rehearsal maupun practice, kelompok idealnya beranggotakan 4-6 orang. Namun, jika tujuan belajar adalah mendorong siswa agar terlibat aktif dalam diskusi, pemecahan masalah, atau belajar komputer, jumlah anggota yang ideal adalah 2-4 orang.

Dalam pembentukan kelompok, sebaiknya guru dan bukan siswa yang menentukan anggota kelompok, karena gurulah yang dapat membentuk kombinasi kelompok yang optimal. Jika siswa yang menentukan, maka mereka cenderung membentuk kelompok homogen—memilih anggota kelompok yang satu ras, satu gender, atau memiliki kemampuan yang sama (Johnson & Johnson, 1987). Guru dapat meminta murid untuk memilih teman-teman yang mereka suka untuk menjadi anggota, kemudian memilih satu-dua orang dari daftar tersebut untuk dimasukkan ke dalam kelompok. Dengan cara ini, guru dapat mengidentifikasi murid yang terisolasi dan kemudian dapat menempatkannya ke dalam kelompok yang memiliki kemampuan dan dapat memberi dukungan (Johnson & Johnson, 1987).

Kelompok heterogen memiliki sisi positif dan negatif (Ormrod, 2000). Positifnya, high-achievers dapat mempertajam pemahaman mereka terhadap materi dengan cara menjelaskan materi tersebut pada temannya yang low-achievers, sementara low-achievers mendapat keuntungan karena mendapat penjelasan materi yang kurang mereka pahami. Negatifnya, high-achievers dapat mendominasi diskusi dan menghambat murid low-achievers untuk berpartisipasi secara penuh. Low-achievers juga mungkin akan segan bertanya dan membiarkan anggota lain yang mengerjakan tugas. Untuk mengatasi masalah ini, sebaiknya guru bereksperimen dengan berbagai tingkat heterogenitas (low-high-medium ability) untuk mengetahui komposisi yang terbaik bagi murid. Di sisi lain, kelompok yang homogen kemampuannya dapat bekerjasama dengan lebih kompak daripada kelompok dengan kemampuan heterogen, terutama untuk mempelajari kemampuan spesifik (Johnson & Johnson, 1987).

Kelompok cooperative learning sebaiknya heterogen dalam kemampuan, etnis, status sosial ekonomi, dan gender (Johnson & Johnson, dalam Santrock, 2001). Ini dilakukan untuk meningkatkan kesempatan bagi peer tutoring dan peer support; meningkatkan hubungan antargender dan antaretnis; dan memastikan bahwa dalam setiap kelompok minimal ada 1 orang yang kompeten (Kagan, dalam Santrock, 2001).

Dengan kemampuan yang heterogen, siswa yang kemampuannya rendah dapat dibantu oleh siswa berkemampuan tinggi, dan lambat laun mereka membentuk hubungan “guru-murid”. Yang menjadi masalah kemudian adalah siswa berkemampuan sedang yang “ditinggalkan”. Diperkirakan bahwa siswa dengan kemampuan sedang lebih cocok untuk belajar di kelompok yang homogen (Ormrod, 2000).

Salah satu alasan dikembangkannya cooperative learning adalah untuk meningkatkan hubungan interpersonal di antara siswa dari berbagai etnis dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda (Santrock, 2001). Diharapkan bahwa interaksi dengan status yang sejajar dalam cooperative learning akan mengurangi prasangka. Akan tetapi, komposisi yang terlalu mencolok juga tidak baik (Miller & Harrington dalam Santrock, 2001). Oleh karena itu, disarankan untuk memvariasikan berbagai karakteristik sosial secara bersamaan. Selain itu, jangan membentuk kelompok dengan hanya seorang siswa dari kelompok minoritas. Ketiga, karena dalam kelompok mixed-gender anak laki-laki cenderung lebih aktif dan dominan, usahakan untuk memiliki jumlah yang sama untuk tiap gender (Tannen, dalam Santrock, 2001). Beberapa penelitian mengindikasikan jika jumlah anak perempuan dalam kelompok terlalu sedikit, seringkali mereka tidak terlibat dalam diskusi, kecuali mereka memiliki asertivitas tinggi (Woolfolk, 2004). Sebaliknya, jika hanya terdapat sedikit anak laki-laki, mereka akan cenderung menjadi pusat perhatian kelompok, kecuali anak laki-laki tersebut memang memiliki kemampuan di bawah anak perempuan atau amat pemalu. Selain menyeimbangkan jumlah, guru juga dapat mendukung anak perempuan untuk berbicara dan mendorong anak laki-laki untuk membiarkan anak perempuan menyatakan pendapat dan berkontribusi pada kelompok (Santrock, 2001).

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kelompok:

Semakin besar kelompok, semakin lebar pula rentang kemampuan, pengalaman, dan keahlian, serta makin banyak pikiran yang terlibat. Jadi ada kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anggota dengan pengetahuan khusus (Johnson & Johnson, 1987).

Semakin besar kelompok, semakin besar kemampuan yang harus dimiliki kelompok untuk memberi kesempatan berpartisipasi kepada setiap anggota. Oleh karena itu, kemampuan ini harus diajarkan (Johnson & Johnson, 1987). Jika waktu yang tersedia sangat terbatas, sebaiknya dibentuk kelompok kecil supaya lebih efektif—mengorganisasikan kelompok kecil hanya membutuhkan sedikit waktu sehingga beroperasinya pun lebih cepat (Johnson & Johnson, 1987). Jadi, sebaiknya guru mulai membentuk kelompok dengan anggota yang sedikit terlebih dahulu (sekitar 3 orang). Setelah murid meningkatkan pengalaman dan keahlian, mereka akan lebih mampu mengatur kelompok yang lebih besar. Enam orang merupakan batas maksimal, karena lebih dari itu, akan ada anggota yang pasif, dan beberapa anggota lain hanya berkomunikasi secara eksklusif dengan satu-dua orang saja.

Efektivitas kelompok tergantung dari proses yang terjadi di dalam kelompok tersebut. Anggota yang paling mendapatkan manfaat dari kelompok adalah anggota yang banyak bertanggung jawab atas tugas yang dikerjakan (Woolfolk, 2004). Anggota yang banyak mengajukan pertanyaan dan pertanyaannya terjawab juga lebih banyak mendapat manfaat. Namun demikian, terdapat indikasi bahwa semakin mampu seseorang memberikan penjelasan yang elaboratif dan bermakna, semakin baik ia belajar. Dengan kata lain, kemampuan untuk memberi penjelasan boleh jadi lebih penting daripada menerima penjelasan (Webb, Farivar, Mastergeorge; Webb & Palinscar; dalam Woolfolk, 2004).

2. Pembagian Peran
Sebagian guru membagi peran dalam kelompok untuk mendorong terjadinya kerjasama dan partisipasi. Dengan demikian, kelompok akan berjalan dengan lebih mulus dan memberikan setiap anggota sense of importance (Webb & Palinscar, dalam Santrock, 2001). Kebutuhan akan peran-peran tersebut tergantung dari situasi kelompok. Namun, perlu diingat juga, bahwa adanya pembagian peran merupakan pendukung kegiatan belajar, bukan tujuan akhir dari belajar (Woolfolk Hoy & Tshannen-Moran, dalam Woolfolk, 2004). Adapun peran-peran tersebut adalah:

3. Memberi satu tujuan bersama atau lebih untuk dicapai
Dalam permulaan aktivitas kelompok, guru harus menyatakan apa yang harus dicapai kelompok dengan jelas dan konkret. Murid-murid diharapkan untuk saling membantu dalam mencapai tujuan bersama tersebut, sehingga timbul saling ketergantungan yang positif (Johnson & Johnson, 1987). Tujuan kelompok ini juga harus memiliki arti bagi setiap anggotanya (Elliot, Kratochwill, Cook, & Travers, 2000).
4. Memberi petunjuk yang jelas tentang cara murid berperilaku dalam kelompok
Tanpa instruksi tentang perilaku kelompok yang pantas, maka murid-murid dapat berperilaku kurang kooperatif, seperti mencoba untuk mendominasi diskusi, mengejek pendapat orang lain, atau memaksa mengerjakan tugas dengan cara tertentu (Ormrod, 2000). Untuk itu, instruksi yang dapat diberikan untuk meningkatkan kemampuan kelompok dalam bekerja sama dan berperilaku produktif antara lain (Ormrod, 2000):
  • Mendengarkan dengan sopan dan penuh perhatian
  • Memberi semangat pada anggota kelompok lain
  • Meyakinkan bahwa setiap orang memiliki kesempatan sama untuk berpartisipasi
  • Menghindari berteriak atau menghina orang lain
  • Menawarkan bantuan kepada orang yang membutuhkan
  • Bertanya dengan pertanyaan yang jelas jika ada yang tidak dimengerti
  • Mengatur tugas sehingga anggota kelompok saling bergantung satu sama lain dalam pencapaian keberhasilan.

Guru harus menstruktur aktivitas cooperative learning sedemikian rupa sehingga kesuksesan murid tergantung pada pertolongan dan partisipasi dari anggota kelompok yang lain (Ormrod, 2000). Setiap murid harus percaya bahwa jika anggota lain bekerja dengan baik, hal itu akan menjadi keuntungan untuk semua orang. Contoh bentuk-bentuk tugas seperti ini antara lain (Ormrod, 2000):
  • Tugas yang meliputi pemecahan masalah secara kreatif dan memiliki lebih dari satu jawaban benar lebih mungkin meningkatkan kerjasama.
  • Tugas yang kompleks, konseptual, dan memerlukan pemikiran divergen; tugas dimana kualitas performance dinilai sangat penting; dan tugas yang membutuhkan penalaran yang tinggi (Johnson & Johnson, 1987)
  • Tugas yang mendorong setiap murid memiliki peran yang unik dalam kelompok. 

Jigsaw dan scripted cooperation.
Tugas yang memerlukan banyak keterampilan dan bakat sehingga setiap anggota kelompok dapat menyumbangkan sesuatu yang unik dan berguna. Dalam memberikan tugas kepada kelompok cooperative learning yang baru dibentuk atau belum berpengalaman, sebaiknya guru memperhatikan hal-hal berikut ini (Johnson & Johnson, 1987):
  • Material Interdependence: guru memberi satu kopi materi saja untuk satu kelompok, sehingga kelompok terdorong untuk bekerja sama. Setelah beberapa pertemuan dan murid terbiasa bekerja sama, setiap murid boleh mendapat satu kopi materi.
  • Information Interdependence: seperti teknik jigsaw—setiap anggota diberi materi yang berbeda sehingga setiap murid berkontribusi terhadap penyelesaian tugas.
  • Interdependence from Outside Enemies: dibuat kompetisi antarkelompok, dimana setiap anggota dari suatu kelompok bersaing melawan anggota kelompok lain. Kelompok yang anggota-anggotanya berhasil menampilkan yang terbaik dalam kompetisi terpilih sebagai pemenang.

Berperan sebagai sumber dan monitor daripada sebagai director
Selama cooperative learning berjalan, guru harus memonitor setiap kelompok untuk meyakinkan bahwa interaksi didalamnya produktif dan pantas secara sosial. Hal-hal yang dapat diperhatikan (Ormrod, 2000):
  • Apakah murid bekerja untuk mencapai satu tujuan bersama?
  • Apakah mereka semua aktif berpartisipasi?
  • Apakah mereka mendengarkan perspektif satu sama lain?
  • Apakah mereka bertanya ketika tidak mengerti?
  • Apakah mereka mengkritik ide daripada orangnya?

Guru juga dapat memberi bantuan ketika kelompok tidak mempunyai informasi atau insight yang penting untuk mencapai tujuan kelompok, tetapi sebaiknya guru tidak terlalu banyak mengintervensi. Dalam hal ini, guru lebih bertindak sebagai manajer kelas dan konsultan untuk mendukung keefektifan fungsi kelompok daripada bertindak sebagai technical expert (Johnson & Johnson, 1987).
Mengatur Ruang Kelas

Dalam penerapan cooperative learning, sebaiknya tempat duduk diatur agar setiap orang dapat melihat satu sama lain (misalnya bentuk melingkar) dan dalam jarak cukup dekat sehingga murid dapat berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan leluasa. Jarak antarkelompok sebaiknya tidak terlalu dekat agar tidak mengganggu proses belajar masing-masing kelompok (Johnson & Johnson, 1987).

Membuat murid-murid dapat mengidentifikasi sumbangan mereka terhadap keberhasilan kelompok dan juga me-reinforce mereka untuk mencapai kesuksesan (Ormrod, 2000). Murid akan lebih mau mempelajari materi selama cooperative learning ketika mereka tahu bahwa mereka akan mendemonstrasikan penguasaan materi secara individu, misalnya dengan kuis. Hal ini akan meminimalisasi kemungkinan adanya free-rider. Selain itu, guru juga harus me-reinforce anggota kelompok atas kesuksesan yang diraih bersama sebagai satu kelompok (group contingency). Dengan cara pemberian reward ini, prestasi yang lebih tinggi dapat terjadi. Contohnya adalah dengan memberi kuis individual setelah mempelajari materi dalam kelompok, kemudian memberi nilai bonus ketika semua anggota kelompok mendapat nilai di atas rata-rata.

Evaluasi keefektifan kelompok pada akhir aktivitas (Ormrod, 2000).

Ketika kelompok sudah mencapai tujuan mereka, guru harus mendorong mereka untuk melihat secara kritis dan analitis cara-cara kerja mereka yang efektif dan hal-hal yang masih perlu ditingkatkan. Guru dapat mengusulkan untuk mempertimbangkan beberapa hal yang selalu ia ingatkan ketika memonitor aktivitas, seperti apakah setiap orang berpartisipasi secara merata, apakah setiap anggota bertanya jika tidak mengerti, dan apakah setiap orang mengkritik ide daripada orangnya.

Segi Positif Cooperative Learning

Penelitian-penelitian terhadap cooperative learning secara umum menunjukkan hasil yang positif, terutama jika dibandingkan dengan metode pengajaran tradisional (Barry & King, 1999; Gage & Berliner, 1998). Efek positif ini ditemukan baik dalam segi kognitif maupun afektif siswa, seperti prestasi akademis, self-esteem, self-confidence, baiknya hubungan antarkelompok, antarras, antarkebudayaan, penerimaan sosial dari siswa yang di-mainstream, dan kemampuan sosial siswa.

Menurut National Training Laboratories Amerika Serikat (dalam Boone & Pinxten, 2004), belajar melalui diskusi, melakukan praktik, dan mengajari orang lain ternyata menghasilkan persentase materi yang besar dalam recall, jika dibandingkan dengan metode ceramah (5 %), membaca (10 %), maupun audio-visual (20 %). Diskusi kelompok menghasilkan persentase recall sebesar 50 %, praktik menghasilkan 75 %, dan mengajari orang lain meraih persentase tertinggi dengan 80 %.

Jika ditinjau dari teori-teori psikologi perkembangan, cooperative learning juga memberikan keuntungan (Woolfolk, 2004). Menurut teori information processing, dalam cooperative learning, melalui proses tanya-jawab yang terjadi dalam kelompok, setiap siswa harus mengorganisasi, membuat hubungan antarinformasi, dan melakukan review. Seluruh proses itu mendukung information processing dan meningkatkan memori. Cooperative learning juga didukung oleh teori Piaget. Menurut para pendukung teori ini, perdebatan yang mungkin terjadi dalam kelompok ketika membahas masalah akan memicu konflik kognitif dan disekuilibrium, yang akan membuat siswa mempertanyakan pemahamannya selama ini dan mencoba ide-ide baru. Adapun menurut teori Vygotsky, dalam belajar diperlukan interaksi, sebab fungsi mental yang lebih tinggi—seperti nalar, pemahaman, dan berpikir kritis—timbul dari interaksi sosial yang kemudian diinternalisasi oleh anak. Cooperative learning juga menyediakan dukungan sosial dan scaffolding, yang dibutuhkan siswa untuk maju.

Secara lebih spesifik, keuntungan-keuntungan yang didapat dapat dibagi menjadi empat, yaitu keuntungan kognitif, sosial, personal dan kesamaan (equity).

Keuntungan Kognitif
  • Mengembangkan kemampuan berpikir
  • Tugas-tugas kelompok dapat mengembangkan kemampuan berpikir karena berfokus pada higher-order thinking skills seperti pengembangan konsep, discovery learning, dan problem solving (Barry & King, 1998). Tugas tersebut memungkinkan siswa meniru cara belajar dan strategi pemecahan masalah yang efektif dan mengembangkan kesadaran metakognitif (Ormrod, 2000).
  • Meningkatkan keterampilan berkomunikasi : Interaksi yang berhubungan dengan pengerjaan tugas dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi karena murid-murid belajar untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi pikiran mereka, serta mempertahankan kebenaran dari pendapat mereka. 
  • Wanita, anggota kelompok minoritas, dan murid yang berisiko gagal secara akademis dapat tertolong karena mereka menunjukkan peningkatan prestasi (Ormrod, 2000).

Keuntungan Sosial

Murid dapat mengembangkan kemampuan sosial yang penting, antara lain:
  • Bekerjasama dengan murid lain
  • Saling tolong-menolong
  • Belajar untuk meminta pertolongan dari murid lain
  • Berinteraksi secara konstruktif dengan murid lain
  • Belajar bertoleransi
  • Belajar untuk saling bergantung satu sama lain
  • Berpartisipasi dalam pembuatan keputusan kelompok
  • Menerima peran mereka masing-masing dalam proses kepemimpinan
  • Bekerja sebagai tim yang kohesif
Keuntungan-keuntungan sosial ini sangat berguna untuk mempersiapkan murid dengan lebih baik masuk ke dunia kerja yang sesungguhnya, dimana tuntutan untuk bekerja dalam tim sangat tinggi.

Keuntungan Personal
  • Memberikan kesempatan pada murid untuk terlibat secara aktif.
  • Memberi kesempatan untuk bertanggungjawab dan memiliki kontrol terhadap pembelajaran.
  • Meningkatkan kepercayaan diri, harga diri, self-confidence dan self-understanding.
  • Dapat menikmati kesuksesan bersama, khususnya bagi low-achievers. Kegagalan atau pendapat yang salah tidak akan terlalu dipublikasikan
  • Murid mengekspresikan motivasi intrinsik untuk mempelajari bahan pelajaran, terutama untuk siswa yang kemampuannya kurang (Sharan; Slavin; dalam Parsons dkk., 2001).
Keuntungan Kesamaan
  • Murid dapat mengerti perspektif orang lain dan lebih sering memunculkan perilaku prososial—membuat keputusan tentang bagaimana membagi tugas secara rata dan adil, mengatasi konflik-konflik interpersonal dan saling menyemangati satu sama lain dalam belajar (Ormrod, 2000). 
  • Meningkatkan persahabatan, terutama meliputi kelompok rasial dan etnis, serta antara murid dengan dan tanpa disabilities (Barry & King, 1998; Ormrod, 2000). Selain itu, meningkatkan penerimaan siswa terhadap siswa lain yang memiliki kelemahan dalam bidang akademis (academically-challenged student) (Sharan; Slavin; dalam Parsons dkk., 2001).

Segi Negatif Cooperative Learning

Selain memiliki segi positif, cooperative learning juga memiliki segi negatif, terutama jika dalam pelaksanaannya kelompok-kelompok yang ada tidak dikelola dengan baik. Beberapa segi negatif tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
  • Tekanan terhadap konformitas.
  • Tekanan terhadap konformitas akan timbul jika reward bagi kelompok disalahgunakan atau ada anggota kelompok yang mendominasi. Hal serupa yang dapat terjadi adalah bergesernya titik berat pada sosialisasi dan hubungan antarpersonal, bukan pada tugas (McCalsin & Good, dalam Woolfolk, 2004).
  • Terdapat peluang akan terjadinya miskonsepsi. Miskonsepsi ini mungkin tidak terkoreksi sehingga menghasilkan pemahaman akhir yang salah (Battistich, Solomon, & Delucci, dalam Woolfolk, 2004 ; McCalsin & Good, dalam Woolfolk, 2004).
  • Tetap terdapat diskriminasi berdasarkan status siswa.
  • Ide-ide yang dilontarkan siswa dengan status rendah seringkali tidak diacuhkan, bahkan diejek, sedangkan ide yang dilontarkan oleh siswa dengan status yang tinggi akan di–reinforce berdasarkan status pelontar ide, bukan isi dari ide tersebut. (Anderson, Holland, & Palinscar, dalam Woolfolk, 2004).
  • Lebih mementingkan kecepatan kerja daripada ketepatan kerja (McCalsin & Good, dalam Woolfolk, 2004). Murid kadang lebih tertarik dalam mendapatkan reward sehingga mereka lebih terfokus pada mendapatkan jawaban yang benar daripada mempedulikan apakah semua anggota kelompok sudah mengerti materi yang dipelajari (Ormrod, 2000).
  • Meningkatnya perbedaan antarsiswa.
  • Sebagian siswa “belajar” untuk enggan berkontribusi sebab mereka merasa bahwa kelompok tetap maju dengan atau tanpa kontribusi mereka, atau menjadi tergantung sepenuhnya pada kelompok, sehingga, tanpa dibantu kelompok, tidak akan dapat memahami materi (McCalsin & Good, dalam Woolfolk, 2004).Timbulnya ketergantungan kepada teman untuk belajar, atau terdapatnya risiko merasa tidak kompeten (Gage & Berliner, 1998). Dalam beberapa kasus, murid tidak mempunyai kemampuan untuk menolong anggota kelompok yang lain untuk belajar (Ormrod, 2000).
  • Untuk menghindari terjadinya kekurangan-kekurangan ini, guru perlu memperhatikan diskusi dalam cooperative learning dan hasil diskusi dengan sungguh-sungguh, serta menyediakan arahan ketika dibutuhkan sehingga mendorong pembelajaran dan prestasi yang maksimal.


Posting Komentar untuk "Pengertian dan Metode Cooperative Learning Menurut Ahli"