Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Dan Teori Representasi Sosial Menurut Para Ahli

Pengertian Dan Teori Representasi Sosial Menurut Para Ahli - Bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Bahkan dengan bahasa kita bisa mengetahui budaya lain. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan suatu bangsa tercermin dari budayanya. Cerminan bahasa dan budaya tidak hanya dalam kosa kata, pargraf, wacana atau retorika. Ditinjau dari sudut kebudayaan, bahasa adalah wujud dari kebudayaan. Bahasa sebagai wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya dan dari bahasa kita dapat mengetahu seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu bangsa. Koentjoroningrat menyatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat manusia.

Untuk memahaminya Koentjaraningrat menggunakan sesuatu yang disebutkan “kerangka kebudayaan”, yang memiliki dua aspek tolak, yaitu (1) wujud kebudayaan dan (2) isi kebudayaan. Yang disebut wujud kebudayaan itu berupa (a) wujud gagasan, (b) perilaku, dan (c) fisik atau benda. Ketiga wujud itu secara berurutan disebutnya juga (a) sistem budaya, yang bersifat abstrak; (b) sistem sosial, yang bersifat agak konkret; dan (c) kebudayaan fisik, yang bersifat sangat konkret. Isi kebudayaan itu terdiri atas tujuh unsur yang bersifat universal. Artinya ketujuh unsur itu terdapat dalam setiap masyarakat manusia yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur tersebut yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi dan kesenian. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkup kebudayaan.

Pengertian Dan Teori Representasi Sosial Menurut Para Ahli_
image source: cultureheritageimaging.com
baca juga: Memahami Etnografi dan Contoh Etnografi Menurut Para Ahli

Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dimana hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, suatu bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw (dalam Crista, 2012:1) malah menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan dua sistem yang ”melekat” pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana.

Silzer (1990) menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya. Misalnya bangsa Inggris dan bangsa Eropa lainnya, yang tidak mengenal kebiasaan makan nasi, maka dalam bahasanya hanya ada satu kata yaitu rice, untuk menyatakan konsep padi, gabah, beras, dan nasi. Begitu juga tidak ada kosakata untuk konsep lauk, teman pemakan nasi. Sebaliknya, dalam budaya Indonesia ada karena ada budaya makan nasi, maka bahasa Indonesia mempunyai kata yang berbeda untuk keempat konsep itu. Masyarakat Inggris tentunya mengerti akan adanya perbedaan konsep beras, padi, gabah, dan nasi itu: tetapi mereka tidak merasa perlu, atau belum merasa perlu untuk saat ini, untuk menciptakan istilah baru untuk keempat konsep itu. Contoh lain mengenai adanya hubungan antara bahasa dan budaya dapat juga kita lihat dari peribahasa atau pepatah Melayu. Katanya, peribahasa atau pepatah Melayu ini mencerminkan sifat, sikap, dan keadaan bangsa Melayu (pada waktu dulu).

Menurut Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negatif itu adalah suka meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggung jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan. Menurut Koentjaraningrat, sikap mental menerabas tercermin dalam perilaku berbahasa berupa adanya keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa keinginan untuk belajar. Mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kita yang secara alami, yang dapat dikuasai tanpa harus dipelajari. Memang benar secara politis kita adalah orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan di Indonesia, dan bahasa Indonesia adalah milik kita. Akan tetapi, apakah benar itu dapat dikuasai dengan baik tanpa melalui proses belajar. Lebih-lebih kalau diingat bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua, bukan bahasa pertama. Untuk menguasai bahasa pertama saja kita harus belajar dari lingkungan kita: apabila untuk menguasai bahasa kedua yang harus dipelajari dari orang lain.

Bahasa dan Representasi

Bahasa bekerja melalui representasi. Anggota masyarakat dari sebuah suku bangsa atau peradaban akan memiliki konsep, imej, dan ide yang sama mengenai budaya mereka dan menerjemahkannya ke duni luar dengan cara yang hampir sama. Dengan kata lain, mereka menggunakan culture codes yang sama.Dalam hal ini, pola pikir dan perasaan merupakan system of representation dimana konsep kita, imej dan emosi merepresentasikan kita ke dunia luar. Bahasa disini tidak hanya bahasa dalam artian sempit, namun bahasa dalam artian luas. Bahasa bicara diekspresikan melalui suara, bahasa tulisan menggunakan kata, bahasa music menggunakan not, bahasa tubuh menggunakan gerakan tubuh, industry busana menggunakan baju-baju yang mereka produksi, bahasa ekspresi wajah menggunakan acting, televise menggunakan digital atau listrik untuk memproduksi gambar di layar, lampu merah menggunakan warna merah-kuning-hijau untuk mengatakan sesuatu. Elemen-elemen ini –suara, kata, not, gertur, ekspresi, busana– merupakan bagian dari dunia natural dan material kita, namun arti penting bahasa bukan berada pada arti benda tersebut namun apa yang mereka lakukan, fungsi mqereka. Mereka menciptakan sebuah makna dan menghantarkannya kepada dunia luar. Mereka berfungsi sebagai sebuah simbol, merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan. Jadi melalui budaya dan bahasa, produksi dan sirkulasi makna berlangsung

Bahasa berperan penting dalam proses representasi makna. Terdapat 3 pendekatanuntuk menjelaskan bagaimana representasi makna melalui bahasa. Pertama pendekatan reflektif, yaitu bahasa mempunyai fungsi seperti kaca, untuk merefleksikan maknasebenarnya seperti yang sudah ada di dunia. Pada 4 abad sebelum masehi, masyarakat Yunani menggunakan notasi mimesis untuk menjelaskan bagaimana bahasa, bahkan gambar dan lukisan, merupakan cerminan dari alam. Jadi teori yang mengatakan bahasa bekerja dengan merefleksikan atau mengimitasi kebenaran yang telah ada dan diperbaiki di dunia disebut mimetic.

Pendekatan kedua adalah pendekatan intensional. Pendekatan ini menekankan bagaimana makna dalam representasi membantah keadaan yang berlawanan. Dalam hal ini penulis berperan penting dalam menentukan makna unik melalui bahasa. Kata-kata mengacu pada apa yang penulis ingin katakan. Namun hal ini harus selalu mengacu pada aturan, kode,dan kesepakatan yang ada dalam suatu kelompok penganut budaya.Pendekatan ketiga adalah pendekatan konstruksionis, yaitu mengenali karakter bahasa. Hal ini mengindikasikan bahwa benda itu sendiri maupun individu bahasa dapat memperbaiki makna dalam bahasa.

Representasi Sosial

Teori representasi sosial menawarkan model tentang pengetahuan sosial, baik konstruksi sosial, transformasi dan distribusi serta penggambarannya terhadap fungsi pengalaman dan pengetahuan dalam praktik sosial. Konsep representasi sosial diperkenalkan oleh Sergei Moscovici (1976) dengan studi tentang masuk dan penyebaran psikoanalisis dalam masyarakat Perancis pada tahun 1950-an. Pada awalnya, teori representasi sosial mengkaji peran dan fungsi dari pengetahuan sosial dalam masyarakat, dan selanjutnya meluas pada teori tentang pengetahuan dan praktik sosial secara umum.

Latar belakang historis dari konsep teori representasi sosial adalah pembedaan dari Durkheim (1951) antara representasi individu dan kolektif: “Durkheim adalah yang pertama memiliki perhatian pada arti penting reperesentasi kolektif yang melekat pada bahasa, institusi dan adat istiadat kita, dan juga menunjukkan bahwa pada tingkat tertentu serangkaian representasi akan membentuk pemikiran sosial sebagai pelengkap bagi pemikiran individual. Moscovici juga menyebutkan bahwa psikologi perkembangan Piaget pada analisisnya tentang bagaimana anak-anak menggunakan bentuk dan sumber yang berbeda dari pengetahuan untuk mengkonstruk dunia mereka dan mendapat makna dari realitas sebagai salah satu sumber dari konsep teori representasi sosial. Akhirnya, konsep Freudian tentang ‘interiorisasi’ juga dintegrasikan dalam konsep representasi sosial. Konsep ini menggambarkan ‘bagaimana suatu isi memasukkan realitas ke dalam kesan dan simbol yang meninggalkan tanda-tandanya pada hidup kita dari masa kanak-kanak. Maka, teori representasi sosial mengadopsi gagasan Durkheim tentang pengetahuan dan representasi sebagai fenomena kolektif (atau sosial), dari Piaget mengadopsi aspek dari konstruksi sosial atas realitas dan makna, dan dari Freud mengadopsi proses melalui mana realitas ekternal—objek, konsep atau teori yang digunakan dalam lingkungan individu—masuk dalam pandangan internal.

Representasi sosial menjadi paradigma utama dalam psikologi sosial di Perancis dan negara-negara seperti Italia, Spanyol, Portugal dan Amerika Latin sejak tahun 1960-an. Teori representasi sosial banyak didiskusikan di Inggris dalam lingkup psikologi sosial setelah adanya perdebatan seputar konsep representasi sosial pada tahun 1980-an.
Titik awal bagi penelitian pada representasi sosial adalah pertanyaan-pertanyaan seperti: ‘Bagaimana asal mula ide-ide umum tentang berbagai disiplin ilmiah?’ Apa yang terjadi pada disiplin ilmiah ketika melampaui dari ilmuwan ke dalam masyarakat?’ Hingga saat ini, ketertarikan terhadap representasi sosial telah mengalami perluasan: tidak hanya pengetahuan sosial tentang disiplin ilmiah dan pengaruhnya dalam masyarakat, tetapi juga pengetahuan tentang objek-objek budaya—seperti kesehatan dan penyakit (Herzlich, 1973), kegilaan (De Rosa, 1987; Jodelet, 1991), perubahan teknologi dalam hidup sehari-hari (Flick, 1994) dan lain-lain, juga representasi sosial dari objek-objek perubahan teknologi dalam praktik keseharian (Jodelet, 1991).

Penelitian Utama dalam Representasi Sosial

Secara khusus, negara-negara di bagian selatan Eropa dan Amerika Latin, tetapi akhir-akhir ini juga di Inggris, Australia, Amerika Serikat dan di Jerman, telah banyak dilakukan penelitian representasi sosial. Representasi sosial atas psikoanalisis di Perancis pada tahun 1950-an. Dengan penelitiannya tentang psikoanalisis, Moscovici (1976) telah memformulasikan dan secara empiris menyadari ide-ide sentral dari teori representasi sosial. Secara umum, penelitian ini membandingkan dua hal: analisis tentang bagaimana teori Freud direpresentasikan di media massa Perancis pada tahun 1950-an (1952-1956), dimana 1610 artikel diambil dari 210 jurnal (separuh dari jurnal tersebut diterbitkan di Perancis, sedang yang lain dari negara lain) dianalisis isinya; dan kuisioner yang dijawab sekitar 2200 orang yang dikategorikan sebagai sampel dari berbagai ‘populasi’. Pertama, sampel representatif dari warga kota Paris diteliti. Selanjutnya, sampel yang lebih khusus (dibedakan dari usia, status sosial dan gaya hidup) diteliti agar mampu membedakan representasi khusus mereka atas psikoanalisis: sampel dari ‘warga kelas menengah’ (misal artis, fungsionaris, pengusaha), sampel dari ‘kelompok liberal ( misal, guru, dokter, pengacara), sampel dari ‘warga kelas pekerja’, sampel dari ‘kelompok mahasiswa di Paris, dan sampel dari ‘kelompok sarjana teknik usia dewasa’. Dalam penelitian ini ditemukan data bahwa konsep psikoanalitik dan cara berpikir secara luas telah memasuki kehidupan keseharian. Tetapi, dapat pula ditunjukkan bahwa teori psikoanalisis hanyan dipahami dalam aspek-aspek tertentu dan bahwa persepsi atas teori psikoanalisis berbeda dari satu kelompok sampel dengan kelompok sampel lainnya. Misalnya, masing-masing kelompok dibandingkan berkenaan dengan seberapa banyak mereka mengetahui tentang psikoanaliasis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok sampel kelas menengah secara signifikan lebih baik ketimbang kelompok sampel kelas pekerja dalam menjawab pertanyaan seperti: kapan teori psikoanalisis muncul, berapa lama terapi psikoanalitik dilakukan dan seterusnya. Kelompok sampel juga dibandingkan berkenaan dengan sikap mereka terhadap teori psikoanalisis dan tingkatan sejauh mana pengetahuan tentang psikoanalisis memiliki keterkaitan dengan sikap (positif atau negatif) terhadap teori psikoanalisis. Di sini, korelasi memiliki perbedaan lagi antara satu kelompok sampel dengan kelompok sampel lainnya. Akhirnya, penelitian ini juga menunjukkan adanya variasi dalam perlakuan atas teori psikoanalisis dalam berbagai jurnal yang diklasifikasikan menurut orientasi politik umumnya, dan gaung khusus teori psikoanalisis yang ditemukan dalam media Katholik dan Marxist, yaitu, konteknya didsarkan pada pandangan khusus.

Representasi sosial atas kesehatan dan penyakit di Perancis pada tahun 1950-an. Penelitian paradigmatik kedua yang pertama kali diterjemahkan dalam Bahasa Inggris serta lebih menarik perhatian terhadap teori representasi sosial secara umum, adalah penelitian dari Herzlich (1973). Dalam wawancara terbuka, 80 orang dari kelompok sosial yang dibedakan dalam kelompok pendidikan dan profesi, diwawancarai tentang ide-ide mereka terkait dengan kesehatan dan penyakit. Berbeda dengan penelitian Moscovici, tuntutan pada kerepresentatifan bersifat lebih fleksibel dan mendalam dalam pengumpulan data. Di samping itu, tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana teori tertentu merasuk dalam masyarakat telah ditinggalkan: sebagai pengganti dari suatu teori yang digunakan sebagai titik mula, jalurnya direkonstruksi melalui analisis media, bagian subkjektif dari asal mula dan makna dari representasi sosial juga diperhatikan.

Hal yang paling mengesankan adalah, penelitian ini menghasilkan pembedaan dalam tipologi, yaitu konsepsi keseharian tentang kesehatan dan konsep tentang penyakit. Maka, sebagai contoh, representasi atas penyakit berpusar pada pandangan bahwa ‘penyakit sebagai destruktif (ditandai dengan hilangnya peran dan munculnya isolasi sosial karena sifat tergantung terhadap orang lain), ‘penyakit sebagai pembebas’ (dipersepsi sebagai suatu kesempatan untuk beristirahat sejenak dan terbebas dari kewajiban sosial, menawarkan pilihan baru) dan ‘penyakit sebagai suatu pekerjaan (ditandai dengn perjuangan aktif melawan penyakit dan mengatasinya karena adanya pasien). Tipologi tersebut menggambarkan keragaman dalam representasi sosial atas kesehatan dan penyakit. Selaras dengan inti dari representasi ini, tipologi tersebut menunjukkan berbagai cara mengkonstruksi secara sosial atas kesehatan dan penyakit sebagai fenomena dan menafsirkan relasi individu dengan lingkungan dan masyarakat.

Representasi sosial atas kegilaan di Perancis pada tahun 1980-an. Penelitian Jodelet (1991) tentang representasi sosial atas kegilaan, telah dikaji selama beberapa periode waktu sebagai contoh paradigmatik ketiga. Penelitian ini dilakukan di sebuah desa di Perancis, dimana sebagain besar penduduknya memiliki generasi yang mengalami sakit jiwa dan dirawat di rumah mereka sendiri. Dalam penelitian ini, konsep sakit jiwa, kegilaan dan orang yang menderita sakit jiwa serta pengaruh konsep tersebut dalam membentuk kehidupan keseharian diteliti dengan menggunakan observasi partisipan, wawancara pelengkap dan analisis terhadap dokumen. 

Penelitian ini menemukan bahwa teori naif tentang kegilaan telah membentuk inti dari representasi sosial atas gangguan jiwa. Teori naif ini ditentukan oleh penularan dan oleh rasa takut kehilangan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Hal ini membantu untuk menjelaskan berbagai praktik di desa tersebut, dimana terdapat hal yang bertolak belakang dalam isi dan dampak terdahap tujuan ‘resmi’ dirumahkannya para pasien dimana anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa tinggal dalam keluarga ketimbang dikucuilkan. Misalnya, Jodelet menemukan dalam sejarah desa tersebut adanya kecenderungan untuk meniadakan makanan bagi penderita gangguan jiwa dalam keluarga—dimana pada awal proyek perumahan, sekitar 10 persen dari pasien harus mengambil makanan secara terpisah, selanjutnya pada 88 persen (pada tahun 1980-an), makanan penderita gangguan jiwa ditiadakan dari makanan keluarga. Secara meningkat, ruangan penderita gangguan jiwa dipisahkan dari ruang keluarga dimana seharusnya mereka tinggal bersama. Pertama, dinding untuk memisahkan mereka dilengkapi dengan lubang untuk mengontrol penderita, selanjutnya dibangun rumah atau tempat tinggal secar terpisah dimana penderita gangguan jiwa tinggal sendiri. Contoh tersebut menunjukkan kecenderungan untuk mengucilkan penderita gangguan jiwa ketimbang untuk melibatkan mereka dalam kehidupan keseharian dengan orang ‘normal’, dimana asal dari tujuan dan alasan yang mendasari proyek perumahan bagi penderita gangguan jiwa sebagai alternatif bagi rumah sakit jiwa. 

Dalam penelitian Jodelet juga tidak menggunakan teori khusus sebagai titik mula, dan juga kita tidak menemukan analisis isi terhadap media massa berkenaan dengan konsep teoritis sebagaimana dalam penelitian Moscovici (1976). Bahkan, pengubahan wacana kegilaan dan gangguan jiwa diteliti dalam hubunggan dengan pengubahan cara menghadapi penderita gangguan jiwa dalam kehidupan keseharian di desa tersebut. Perbandingan. Ketiga penelitian tersebut dan hasilnya dapat dibandingkan dalam beberapa aspek, tetapi berbeda dalam aspek-aspek tertentu. Ketiga penelitian tersebut telah melengkapi ide-ide tentang apa yang membentuk inti dari representasi sosial yang diteliti dan cara dari ide-ide tersebut berbeda dari pandangan ‘resmi’ terhadap objek mereka. 

Penelitian Moscovici menunjukkan perbedaan dalam representasi sosial atas psikoanalisis yang dibandingkan dengan teori Freud, serta menunjukkan juga asumsi inti dari psikoanalisis dalam masyarakat. Herzlich menunjukkan cara dari konsep seperti kesehatan dan penyakit yang digunakan oleh objek wawancara untuk menafsirkan relasi mereka dengan masyarakat dan lingkungan serta memberi relasi tersebut suatu bentuk khususu yang dismbolkan dalam inti figuratif dari representas sosial. Dalam penelitian Jodelet, pada satu sisi menunjukkan adanya kontradiksi antara pandangan resmi atas gangguan jiwa dan tujuan bagi perlakuan di desa tersebut, dan pada sisi lain menunjukkan kejelasan adanya pandangan ‘tidak resmi’ atas kegilaan dalam representasi sosial ini desa tersebut dan dalam praktik keseharian.

Maka, inti dari representasi sosial dan perbedaannya dari pengetahuan resmi, telah ditunjukkan dalam masing-masing penelitian tersebut. Penekanan dari penelitian tersebut berbeda. Sementara Moscovici lebih tertarik pada distribusi pengetahuan tentang suatu teori, Herzlich lebih berfokus pada subjektif dan konstruksi sosial terhadap objek seperti kesehatan dan penyakit serta cara dari konsep-konsep tersebut digunkan untuk menafsirkan dan mengkonstruk realitas sosial. Akhirnya, Jodelet lebih tertarik pada cara dari reperesentasi sosial mempengarui praktik keseharian dan bagaimana elaborasi ilmiah mereka melengkapi cara menafsirkan praktik keseharian dan kontradiksi di antara mereka. Secara umum, berbagai penelitian tentang representasi sosial ditempatkan dalam segitiga fokus berikut—distribusi sosial dari pengetahuan (ilmiah atau non ilmiah) konstruksi sosial dan fungsi dari pengetahuan serta peranannya dalam praktik keseharian.

Tradisi keempat dalam penelitian representasi sosial diikuti oleh kelompok Abric, Flament, Codol dan lainnya di Provinsi Aix-en. Sejak akhir tahun 1960-an, kelompok ini mengkaji secara eksperimental, adakah inti dalam representasi sosial yang dapat dipisahkan dan diuji serta selanjutnya dibedakan dari elemen pinggiran yang kurang stbil. Jenis penelitian ini mengalami peningkatan saat melibatkan pertanyaan tradisional dan metode dalam psikologi kognitif.

Dari sudut pandang metodologis, kita menemukan berbagai metode dalam penelitian representasi sosial tergantung pada topik dan tujuan penelitian. Cakupan metode dari desain yang berorientasi antrpologi (Jodelet) hingga metode eksperimental (Abric). Konsep dan perspektif dari representasi sosial telah cukup terbuka untuk mengintegrasikan spektrum metodologi dan teoritisnya. Namun, teori representasi sosial memiliki beberapa konsep sentral yang akan dikaji dalam tulisan ini.

Konsep Sentral dalam Teori Representasi Sosial

Definisi. Beberapa kritik terhadap konsep representasi sosial didasarkan pada asumsi bahwa tidak pernah ada definisi yang jelas dan berbeda dari representasi sosial. Tetapi, Moscovici sendiri mendefinisikan representasi sosial sebagai berikut:

Suatu sistem nilai, ide-ide dan praktik yang memiliki dua fungsi: pertama membangun suatu tatanan yang akan memampukan individu untuk mengorientasikan dirinya dalam lingkungan material dan sosial serta untuk menguasainya; dan kedua untuk memampukan komunikasi yang terjadi diantara anggota komunitas dengan menghadirkan suatu kode bagi pertukaran sosial dan suatu kode untuk penamaan dan pengklasifikasian secara jelas terhdap berbagai aspek lingkungan meraka serta sejarah individu dan kelompok. (Moscovici, 1973)

Dalam pengertian ini, representasi sosial merupakan suatu proses yang dimiliki secara sosial dan dihasilkan secara interaktif atas pemahaman objek dan proses serta suatu cara untuk mengkomunikasikan tentang mereka dengan orang lain. Secara lebih umum, proses ini merupakan bagian dari proses sosial dalam mengkonstruksi realitas—baik melalui pengetahuan maupun melalui praktik sosial. Menurut Moscovici, tujuan dari setiap representasi (sosial) adalah menjdikan sesuatu yang tidak familiar, atau ketidakfamiliaran itu sendiri, menjadi familiar (1984). Dalam proses representasi sosial tersebut, ada dua proses yang dipandang sebagai inti: anchoring dan objectification. Dalam konteks ini, anchoring berarti ‘mengangkat ide-ide asing, mereduksinya pada kategori-kategori dan kesan umum, menatanya dalam suatu konteks yang familiar. Proses kedua adalah objectification atas ide-ide dan proses, dimana ‘mengalihkan sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang lebih konkret, mentransfer dari sesuatu yang berada di pikiran menjadi sesuatu yang berada dalam dunia fisik. Dua proses tersebut memainkan peran sentral dalam konstruksi atas berbagai representasi sosial, yaitu cara dari representasi sosial dihasilkan, dipertahankan dan diubah.

Anchoring. Ide sentral dalam anchoring adalah mengintegrasikan fenomena baru—objek, penglaman, relasi, praktik, d.l.l—menjadi pandangan dan kategori yang ada, membuang ketidakfamiliaran dan sifat menakutkan, singkatnya aspek-aspek asingnya: ‘Maka, mengangkat, mengklasifikasikan dan menamakan sesuatu. Titik acuan dalam proses ini adalah kategori-kategori yang telah ada diintegrasikan pada fenomena tersebut dan prototip kategori dibandingkan dengan fenomena tersebut. Pengeneralisasian dn pengkhususan adalah dua startegi yang digunakan untuk mengklasifikasikan fenomena. Pada kasus pertma, perbedaan antara fenomena diklasifikasikan dan prototip dalam kategori tersebut diredukdi dengan mengabstrakkan dari kekhususan-kekhususan pada fenomena tersebut. Sebaliknya, pada kasus kedua, perbedaan tersebut ditekankan dan dicari perbedaan krusialnya. Melalui proses penamaan ini, suatu fenomena dapat diperoleh dalam tiga langkah:

…(a) setelah diberi nama, sesorang tau sesuatu dapat digambarkan dan memperoleh karakteristik-karakteristik tertentu, kecenderungan, d.l.l; (b) ia (individu) atau ia (sesuatu) menjadi berbeda dari individu atau sesuatu lainnya melalui tiga karakteristik dan kecenderungan; dan (c) ia (individu) atun ia (sesuatu) menjadi objek dari suatu konvensi antara mereka yang mengadopsi dan memiliki konvensi yang sama.

Penekanan aspek terakhir ini, yaitu pelaziman pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki bersama, proses anchoring dalam representasi sosial melampaui model-model kognitif lainnya, yaitu klasifikasi atau tipifikasi. Hal ini lebih mengacu pada model sosial dari pengetahuan dari Schutz (1971-1972) atau Fleck (1980). Dalam hal ini, anchoring tidak dipandang sebagai proses yang bersifat universalistik—valid bagi semua orang—dan tidak pula sebagai proses individual—terjadi pada diri individu—tetapi sebagai proses sosial. Billig menekankan hal ini sebagai berikut:

Meskipun demikian, terdapat perbedaan krusial antara pendekatan kognitif dengan pendekatan representasi sosial. Ahli psikologi sosial kognitif cenderung memandang kategorisasi berkaitan dengan pemfungsian individu. Sebaliknya, ahli teori representasi sosial mengkaji pemfungsian sosial dari anchoring. Apa yang direpresentasikan adalah objek sosial, dan anchoring menggambarkan individu menjadi tradisi kultural dari kelompok, sedang pada sat yang sama juga mengembangkan tradisi tesebut. Dalam hal ini, representasi berakar dari kehidupan kelompok (1988: 6)

Dalam hal ini, perbedaan lain dari proses yang murni kognitif yaitu klasifikasi, bahwa anchoring merupakan suatu proses dimana makna diperoleh (Jodelet, 1984).
Relevansi umum dari proses ini, bagi Moscovici (1984) adalah bahwa tidak ada persepsi dan berpikir tanpa anchoring. Tujuan sentral dari klasifikasi dan penamaan adalah untu mempermudah interpretasi atas karakteristik, memahami tujuan…dinalik tindakan manusia. Pemahaman melalui anchoring, pada umumnya didasarkan pada pengklasifikasian fenomena agar dapat dimengerti menjadi kategori-kategori tertentu, sistem dari kategori atau kumpulan pengetahuan; bagaimanapun juga, terdapat perluasan dan pemodifikasian jika hal tersebut dipandang perlu.

Relevansi konkret dari proses ini mungkin secara garis besar seperti dalam contoh perubahan teknologi dalam kehidupan keseharian sebagai berikut. Inti dari poin ini adalah respon yang bertentangan terhadap piranti baru dan kemunculan teknologi baru yang diintegrasikan dalam kategori dan representasi yang telah familiar bagi individu dalam konteks sosial mereka. Dengan menanchoring objek-objek baru dalam kategori tertentu, selanjutnya kategori-kategori tersebut dimodifikasi secara bertahap—kategori tersebut diperluas, dibedakan, dsatukan, atau ditempatkan dalam relasi yang berbeda dengan kategori lainnya. Namun, proses konstruksi dan klasifikasi ini tidak dibatasi pada, dan juga tidak sekedar menempatkan dalam individu, tetapi dilekatkan pada klasifikasi dan konstruksi sosial. Hal ini menggunakan atau memodifikasi kategori-kategori dan kelas-kelas yang telah ada dalam komunikasi keseharian dan diterima serta dilazimkan dalam konteks sosial dan kultural. Proses tersebut, dan secara khusus keterbatasannya, menjadi bukti ketika pola klasifikasi yang familiar tidak lagi sesuai bagi piranti atau teknologi tertentu dan konsekuensinya.

Daftar Pustaka
  1. Hall, Stuart. 2010. “The Centrality of Culture; ‘Introduction and The Work of Representation in Representations: Cultural Representations and Signifying Practices,
  2. Hall, Stuart. 1997. “Representation: Cultural Representation and Signifying Practices”.
  3. Koentjaraningrat, 1990. “Pengantar Ilmu Antropologi””, PT Rineka Cipta

Posting Komentar untuk "Pengertian Dan Teori Representasi Sosial Menurut Para Ahli"