Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian dan Pendekatan Teori Stakeholder Menurut Para Ahli

Pengertian dan Pendekatan Teori Stakeholder Menurut Para Ahli - Teori ini pada awalnya muncul karena adanya perkembangan kesadaran dan pemahaman bahwa perusahaan memiliki stakeholder, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Ide bahwa perusahaan memiliki stakeholder ini kemudian menjadi hal yang banyak dibicarakan dalam literatur-literatur manajemem baik akademis maupun profesional.

Studi yang pertama kali mengemukakan mengenai stakeholder adalah Strategic Management: A Stakeholder Approach oleh Freeman (1984). Sejak itu banyak sekali studi yang membahas mengenai konsep stakeholder. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970, yang secara umum dikenal dengan stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder theory dimulai dengan asumsi bahwa nilai secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian dari kegiatan usaha (Freeman dkk., 2004).

Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali & Chariri, 2007). Deegan (2004) menyatakan bahwa stakeholder theory adalah "Teori yang menyatakan bahwa semua stakeholder memunyai hak memperoleh informasi mengenai aktivitas perusahaan yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan mereka. Para stakeholder juga dapat memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut dan tidak dapat memainkan peran secara langsung dalam suatu perusahaan."

Pengertian dan Pendekatan Teori Stakeholder Menurut Para Ahli_
image source: theclique.co.nz
baca juga: Pengertian Employee Relations dan Contoh Kegiatan Menurut Ahli

Budimanta, Prasetijo, & Rudito (2008) menyatakan bahwa terdapat dua bentuk dalam pendekatan stakeholder yaitu old-corporate relation dan new-corporate relation. Old-corporate relation menekankan pada bentuk pelaksanaan aktivitas perusahaan secara terpisah, yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kesatuan di antara fungsi dalam sebuah perusahaan ketika melakukan pekerjaannya. Hubungan perusahaan dengan pihak di luar perusahaan juga bersifat jangka pendek dan hanya sebatas hubungan transaksional saja tanpa ada kerjasama untuk menciptakan kebermanfaatan bersama.

Pendekatan old-corporate relation ini dapat menimbulkan konflik karena perusahaan memisahkan diri dengan para stakeholder baik yang berasal dari dalam perusahaan dan dari luar perusahaan. Sedangkan, pendekatan new-corporate relation menekankan kolaborasi antara perusahaan dengan seluruh stakeholder sehingga perusahaan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang bekerja secara sendiri dalam sistem sosial masyarakat. Hubungan perusahaan dengan stakeholder di dalam perusahaan dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatannya yang membangun kerjasama dalam menciptakan kesinambungan usaha perusahaan, sedangkan hubungan dengan stakeholder di luar perusahaan didasarkan pada hubungan yang bersifat fungsional yang bertumpu pada kemitraan. Perusahaan selain menghimpun kekayaan juga berusaha bersama-sama membangun kualitas kehidupan dengan stakeholder di luar perusahaan.

Tunggal (2008) menyatakan bahwa teori stakeholder dapat dilihat dalam tiga pendekatan:
  1. Deskriptif
Pendekatan deskriptif pada intinya menyatakan bahwa, stakeholder secara sederhana merupakan deskripsi yang realitas mengenai bagaimana sebuah perusahaan beroperasi. Teori stakeholder dalam pendekatan deskriptif, bertujuan untuk memahami bagaimana manajer menangani kepentingan stakeholder dengan tetap menjalankan kepentingan perusahaan. Manajer dituntut untuk mengarahkan energi mereka terhadap seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya terhadap pemilik perusahaan saja.
  1. Instrumental
Teori stakeholder dalam pendekatan instrumental menyatakan bahwa, salah satu strategi pihak manajemen perusahaan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang lebih baik adalah dengan memperhatikan para pemangku kepentingan. Hal ini didukung oleh bukti empiris yang diungkapkan oleh Lawrence & Weber (2008), yang menunjukkan bahwa setidaknya lebih dari 450 perusahaan yang menyatakan komitmennya terhadap pemangku kepentingan dalam laporan tahunnya memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komitmen. Pendekatan instrumental bertujuan untuk mempelajari konsekuensi yang ditanggung perusahaan, dengan melihat dari pengelolaan hubungan stakeholder dan berbagai tujuan tata kelola perusahaan yang telah dicapai.
  1. Normatif
Teori stakeholder dalam pendekatan normatif menyatakan bahwa setiap orang atau kelompok yang telah memberikan kontribusi terhadap nilai suatu perusahaan memiliki hak moral untuk menerima imbalan (rewards) dari perusahaan, dan hal ini menjadi suatu kewajiban bagi manajemen untuk memenuhi apa yang menjadi hak para pemangku kepentingan. Pendekatan normatif juga bertujuan untuk mengidentifikasi pedoman moral atau filosofis terkait dengan aktivitas ataupun manajemen perusahaan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stakeholder teori merupakan suatu teori yang mempertimbangkan kepentingan kelompok stakeholder yang dapat memengaruhi strategi perusahaan. Pertimbangan tersebut memunyai kekuatan karena stakeholder adalah bagian perusahaan yang memiliki pengaruh dalam pemakaian sumber ekonomi yang digunakan dalam aktivitas perusahaan. Strategi stakeholder bukan hanya kinerja dalam finansial namun juga kinerja sosial yang diterapkan oleh perusahaan. Corporate Sosial Responsibility merupakan strategi perusahaan untuk memuaskan keinginan para stakeholder, makin baik pengungkapan Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan perusahaan maka stakeholder akan makin terpuaskan dan akan memberikan dukungan penuh kepada perusahaan atas segala aktivitasnya yang bertujuan menaikkan kinerja dan mencapai laba.

Stakeholder theory mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya (pemegang saham, kreditur, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut (Ghozali & Chariri, 2007).

Gray, dkk., (1995) dalam Ghozali & Chariri (2007) menyatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholders dan dukungan tersebut harus dicari, sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Teori Stakeholder Freeman (1984) dalam Roberts (1992) mendefinisikan stakeholder seperti sebuah kelompok atau individual yang dapat memberi dampak atau terkena dampak oleh hasil tujuan perusahaan. Stakeholders adalah para pemangku kepentingan, yaitu pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompok tersebut memengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh perusahaan. Stakeholder termasuk di dalamnya yaitu stockholders, creditors, employees, customers, suppliers, public interest groups, dan govermental bodies (Roberts, 1992).

Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut. Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk memengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Ghozali & Chariri, 2007).

Roberts (1992) memaparkan bahwa perkembangan konsep stakeholder dibagi menjadi tiga yaitu model perencanaan perusahaan, kebijakan bisnis dan corporate social responsibility. Pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan bagian dari komunikasi antara perusahaan dengan stakeholder-nya. Oleh karena itu, ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara yang memuaskan keinginan stakeholder (Ghozali & Chariri, 2007).

Teori stakeholder secara eksplisit mempertimbangkan akan dampak kebijakan pengungkapan perusahaan ketika ada perbedaan kelompok stakeholder dalam sebuah perusahaan. Pengungkapan informasi oleh perusahaan dijadikan alat manajemen untuk mengelola kebutuhan informasi yang dibutuhkan oleh berbagai kelompok (stakeholders). Oleh karena itu, manajemen mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan ini dalam rangka mengelola stakeholder agar perusahaan mendapatkan dukungan dari mereka. Dukungan tersebut dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan (Gray, dkk., 1995).

Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan memiliki pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan. Pihak-pihak ini dapat meliputi investor dan pihak-pihak non investor seperti pelanggan, karyawan, pemasok, masyarakat sekitar, dan pemerintah (Robbins dan Coulter, 2007). Menurut teori ini, perusahaan memiliki kontrak dengan stakeholder-nya. Dengan demikian, stakeholder memegang peranan penting dalam menentukan kesuksesan perusahaan. Salah satu faktor penting dalam teori stakeholder adalah adanya pembedaan antara explicit dan implicit claim. Explicit claim direfleksikan oleh garansi produk, kontrak harga, dan kontrak upah. Sedangkan implicit claim dapat menjadi terlalu ambigu untuk dituangkan ke dalam bentuk tertentu. Beberapa contoh dari implicit claim adalah kemampuan perusahaan untuk menyediakan layanan, mempekerjakan karyawan tanpa kontrak, dan melanjutkan sumber pasokan tanpa negosiasi baru. Explicit dan implicit claim dapat mempengaruhi tingkat pendapatan perusahaan. Akan tetapi implicit claim memiliki  risiko yang lebih tinggi bagi perusahaan apabila tidak dipenuhi dibandingkan explicit
claim.

Pengertian teori stakeholder menurut Freeman dan Reed (Ulum, 2009) adalah sekelompok orang atau individu yang diidentifikasikan dapat mempengaruhi kegiatan perusahaan ataupun dapat dipengaruhi oleh kegiatan perusahaan. De Wit dan Meyer (Duran dan Radojicic, 2004, p14) berpendapat bahwa para pemegang saham, para pekerja, para supplier, bank, para customer, pemerintah, dan komunitas memegang peranan penting dalam organisasi (berperan sebagai stakeholder), untuk itu korporasi harus memperhitungkan semua kepentingan dan nilai-nilai dari para stakeholdernya.

Manajer diharapkan dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholder mereka, dan melaporkan aktivitas-aktivitas tersebut. Artinya perusahaan perlu menerapkan tanggung jawabnya terhadap para stakeholdernya dan juga menerapkan good corporate governance (Freeman et.al, 2010, p195). Teori ini juga menyatakan perusahaan akan memilih secara sukarela dalam pengungkapan informasi kinerja lingkungan, sosial, dan intelektual mereka, melebihi dan diatas permintaan wajibnya, untuk memenuhi ekspektasi sesungguhnya atau yang diakui oleh stakeholder.

Tujuan utamanya adalah membantu manajer korporasi untuk mengerti lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan dengan lebih efektif diantara keberadaan hubungan-hubungan dilingkungan perusahaan mereka serta menolong manajer korporasi dalam meningkatkan nilai dari dampak aktivitas-aktivitas mereka dan meminimalkan kerugian bagi stakeholder-nya. Lebih lanjut lagi menurut Helena dan Therése, (2005, p8) masyarakat merupakan stakeholder terpenting bagi perusahaan dan media memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan aktivitas-aktivitas perusahaan kepada para stakeholder.

Media juga memiliki kekuatan untuk memebeberkan informasi perusahaan, apabila perusahaan melakukan tindakan yang tidak pantas, maka media akan membeberkan keburukan perusahaan tersebut. Sehingga perusahaan perlu menerapkan prinsip good corporate governance dan corporate  social responsibility untuk menjaga reputasi dihadapanstakeholder-nya.

Dibawah ini merupakan bagan klasifikasi stakeholder perusahaan

Sumber : Caroll (2003)_
Sumber : Caroll (2003)

Teori Stewardship

Teori Stewardship (Kaihatu, 2006, p2) dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat
manusia, yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan
penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia (hubungan berlandaskan kepercayaan) yang dikehendaki
para stakeholder. Dengan kata lain, teori stewardship memandang manajemen sebagai dapat dipercayai untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder.

Konsep inti dari teori stewardship adalah kepercayaan. Menurut Huse (2007, p54) dalam teori stewardsip, para manajer digambarkan sebagai “good steward”, dimana mereka setia menjalani tugas dan tanggungjawab yang diberikan tuannya (dalam hal ini para stakeholder), tidak termotivasi pada materi dan uang akan tetapi pada keinginan untuk mengaktualisasi diri, dan mendapatkan kepuasan dari pekerjaan yang digeluti, serta menghindari konflik kepentingan dengan stakeholder-nya.

Lebih lanjut lagi, menurut Helena dan Therése (2005, p9) didalam teori stewardship,
manajer akan melakukan upaya demi mendapatkan kepercayaan publik. Hal ini didasari pada
prinsip bahwa manajer memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengelola sumber daya yang ada dengan cara yang bijak untuk kepentingan masyarakat luas. Para manajer tidak akan bertindak untuk kepentingannya sendiri, akan tetapi bertindak untuk kepentingan semua pihak, dan mereka (para manajer) percaya, apabila mereka telah bertindak untuk kepentingan yang lebih luas, maka secara pribadi kebutuhan mereka pun telah terpenuhi.

Teori Sistem
Teori sistem memiliki akar kompleks, namun memiliki hubungan yang relevan dengan teori stakeholder. Teori ini dipelopori oleh Russell Ackoff dan C. Barat rohaniawan (1947). Ide-ide ini adalah diterapkan pada sistem organisasi pada awal tahun 1970-an (Ackoff 1970, 1974). Teori sistem menekankan link eksternal yang merupakan bagian dari setiap organisasi. Dengan demikian, organisasi digambarkan sebagai 'sistem terbuka' merupakan bagian dari jaringan yang jauh lebih besar daripada sebagai entitas yang berdiri sendiri yang independen. Identifikasi stakeholder dan interkoneksi antara mereka merupakan langkah penting dalam pendekatan ini. Dari perspektif sistem, masalah hanya bisa diselesaikan dengan dukungan dari semua anggota, atau pemangku kepentingan, dalam sebuah perusahaan atau organisasi.

Teori Organisasi
Teori organisasi berasal dari akar yang sama seperti teori sistem. Pada tahun 1960 Katz dan Kahn (1966) mulai mengembangkan kerangka kerja organisasi yang ditetapkan
organisasi relatif terhadap sistem yang mengelilinginya. Thompson [1967] diperkenalkan
konsep "klien" untuk mengambil bagian ke dalam kelompok. Pendekatan ini meramalkan upaya untuk menekankan eksternal lingkungan sebagai faktor penjelas yang signifikan dari organisasi perusahaan (Pfeffer dan Salancik, 1978). Maksud di balik teori-teori organisasi adalah untuk menggambarkandan menjelaskan keberadaan dan sifat organisasi.

Teori Legitimasi
 Ghozali dan Chariri (2007) mengungkapkan definisi teori legitimasi sebagai suatu kondisi atau status, yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan sejalan dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar di mana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu perbedaan yang nyata atau potensial, ada antara kedua sistem nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi perusahaan. Dengan melakukan pengungkapan sosial, perusahaan merasa keberadaan dan aktivitasnya terlegitimasi. Organisasi berusaha menciptakan keselarasan antara nilai-nilai yang melekat pada kegiatannya dengan norma-norma perilaku yang ada dalam sistem sosial masyarakat dimana organisasi adalah bagian dari sistem tersebut. Selama kedua hal tersebut selaras, hal tersebut dinamakan legitimasi perusahaan. Ketika terjadi ketidak selarasan antara kedua sistem tersubut, maka akan ada ancaman terhadap legitimasi perusahaan.

Dalam posisi sebagai bagian dari masyarakat, operasi perusahaan seringkali mempengaruhi masyarakat sekitarnya. Eksitensinya dapat diterima sebagai anggota masyarakat, sebaliknya eksitensinya pun dapat terancam bila perusahaan tidak menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut atau bahkan merugikan anggota komunitas tersebut. Oleh karena itu, perusahaan melalui manajemennya mencoba memperoleh kesesuaian antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam masyarakat umum dan publik yang relevan atau stakeholder-nya. Keselarasan antara tindakan organisasi dan nilai-nilai masyarakatnya ini tidak selamanya berjalan seperti yang diharapkan. Tidak jarang akan terjadi perbedaan potensial antara organisasi dan nilai-nilai sosil yang dapat mengancam legitimasi perusahaan yang sering disebut legitimacy gap. Bahkan menurut menyatakan bahwaa ketika legitimacy gap terjadi dapat menghancurkan legitimasi organisasi yang berujung pada berakhirnya eksitensi perusahaan.

Corporate Social Responsibility
Kotler dan Lee (2005:3) mendefinisikan terminologi Corporate Social Responsibillty
sebagai : “a commitment to improve community well-being through discretionary business
and contributions of corporate resources”.

Definisi di atas tidaklah semata mengacu pada aktivitas bisnis yang patuh pada hukum atau sebatas pada moral dan etika. Namun, lebih dimaksudkan sebagai komitmen sukarela yang dibuat oleh organisasi bisnis dalam memilih dan menerapkan praktek tanggung jawab sosial serta berkontribusi pada masyarakat. Komitmen tersebut, menurut Kotler dan Lee, harus ditunjukkan agar perusahaan dinilai sebagai organisasi yang secara sosial bertanggung jawab dan akan menjalankan praktek bisnis yang berdasar prinsip tanggung jawab sosial tersebut, baik secara moneter atau non-moneter. Istilah community well-being dalam definisi Kotler dan Lee tersebut memasukkan kondisi manusia sebagai anggota masyarakat, sebagaimana juga masalah lingkungan.

Meluasnya perhatian pada praktek CSR tersebut mengundang berbagai pihak untuk
memberikan pengertian dan definisi atas terminology tersebut. Komisi Eropa mendefinisikan
CSR sebagai “integrasi secara sukarela oleh organisasi bisnis atas persoalan sosial dan
lingkungan hidup dalam aktivitas komersial organisasi dan dalam hubungannya dengan
berbagai pemangku kepentingan” (Fonteneau, 2003:3).

Lebih spesifik Mazurkiewicz (2004, p3) mengungkapkan bahwa kegiatan CSR pada dasarnya berdasarkan pendekatan sukarela, eksternalitas lingkungan diamati untuk pihak-pihak yang berperan, tetapi sering kali tidak dapat diverifikasi. Secara umum, keprihatinan tentang CSR adalah bahwa, bukan jumlah besar inisiatif, akan tetapi tidak adanya kerangka komprehensif yang akan menutup pada saat yang sama isu-isu seperti: standar pemerintah, sistem manajemen, ketentuan bertindak, standar kinerja, pelaporan kinerja, dan jaminan standar. Perusahaan, biasanya, menerapkan komponen yang terpisah, atau bergabung inisiatif yang dipilih, sering lupa misalnya tentang mekanisme pemantauan yang transparan.

Bagi sebuah organisasi bisnis, penerapan CSR memiliki dampak positif bagi kelangsungan usahanya. Pringle and Thomson (2001:xxi) menyatakan bahwa menghubungkan sebuah perusahaan atau sebuah merek dengan charity yang relevan dapat menghasilkan “spirit of brand”. Saat ini, menurut Pringle and Thomson, konsumen menaruh perhatian lebih dari sekedar masalah fungsi sebuah produk atau manfaat rasional dari sebuah produk atau manfaat rasional dari sebuah produk, namun juga memperhatikan pada aspek emosional dan psikologi dari kepribadian sebuah merek dan citra yang dihasilkan. Konsumen bergerak ke atas menuju puncak dari hierarki Maslow, yaitu mencari realisasi diri (Pringle and Thomson, 2001:xxii).

Manfaat CSR (Corporate Social Responsibility)

Manfaat CSR bagi perusahaan (Hendrik Budi Untung, 2007:7) adalah sebagai berikut:
  1. Memperhatikan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan.
  2. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara total.
  3. Mereduksi resiko bisnis perusahaan.
  4. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha.
  5. Membuka peluang pasar yang lebih luas.
  6. Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah.
  7. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders.
  8. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan.
  9. Memperbaiki hubungan dengan regulator.
  10. Peluang mendapatkan penghargaan.

Dengan prinsip responsilbility, penekanan diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Dalam hal ini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Sedangkan stakeholders perusahaan dapat didefiniskan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.

Termasuk di dalamnya adalah karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat, lingkungan sekitar dan pemerintah sebagai regulator. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangan saja (financial). Tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Dalam hal ini bottom lines lainnya selain keuangan adalah sosial dan Peran Public Relations dalam Membangun Citra Perusahaan melalui  lingkungan. Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar di berbagai tempat dan waktu muncul kepermukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidupnya (Idris, 2005).

Sekian artikel tentang Pengertian dan Pendekatan Teori Stakeholder Menurut Para Ahli. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka
  • Freeman, R. E., (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach, , Boston: Pitman Publishing
  • Cutlip, Scott M., Allen H. Center, & Glen M. Broom. 2011. Effective Public Relations. Jakarta: Kencana Prada Media Group.
  • Ardianto, Elvinaro dan Sumirat, Soleh. 2004. Dasar-dasar Public Relations. Remaja Rosdakarya, Bandung

Posting Komentar untuk "Pengertian dan Pendekatan Teori Stakeholder Menurut Para Ahli"