Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengembangan Kode Etik dalam Dunia Profesi Menurut Ahli

Pada tahun 1948 terjadi peristiwa yang dikenal sebagai The Doctor’s Trial yaitu suatu peristiwa dimana sebanyak 20 orang dokter bersama dengan tiga orang petugas lainnya didakwa secara bersama oleh pengadilan militer Amerika Serikat di Nuremberg, Jeman setelah perang dunia kedua karena mereka melakukan hal yang dikenal sebagai The Nazi Human Experimentation. Eksperimen tersebut adalah suatu rangkaian percobaan biadab dengan menggunakan manusia sebagai kelinci percobaan yang juga dilakukan atas nama ilmu pengetahuan dan kepentingan militer.

Mereka (para dokter) melakukan eksperimen kepada para tawanan seperti orang-orang dipaksa untuk menjadi subjek penelitian yang dapat membahayakan dirinya, semua subjek mengalami penderitaan atau rasa sakit yang luar biasa dan eksperimen seringkali dirancang dengan akhir yang fatal bagi korban-korbannya. Eksperimen yang dilakukan adalah eksperimen pembekuan, tekanan ketinggian, air laut, racun, dan lain-lain (Hasan, 2009).

Pengembangan Kode Etik dalam Dunia Profesi Menurut Ahli
image source: pexels.com

Pengembangan Kode Etik dalam Dunia Profesi Menurut Ahli - Secara garis besar, seluruh percobaan pada The Nazi Human Experimentation dilakukan untuk memenuhi cita-cita Adolf Hitler dalam membentuk pemerintahan impiannya. Banyak dokter Nazi, tidak hanya terdakwa dalam The Doctor’s Trial, melakukan percobaan ini dengan jalur komando khusus di bawah pimpinan Heinreich Himmler demi memperoleh pengetahuan tentang kondisi perang tertentu yang dihadapi oleh Angkatan Perang Jerman. Selain itu, mereka juga melakukan percobaan yang berfokus pada peningkatan pemahaman genetika, antropologi, dan rasial (Hasan, 2009).

Serangkaian eksperimen tidak berperikemanusiaan tersebut dilakukan demi kepentingan ideologik, militer dan kedokteran. Cita-cita Hitler untuk membentuk pemerintahan impian membutuhkan berbagai eksperimen untuk memenangkan peperangan dan untuk mendapatkan generasi masa depan yang unggul. Dokter-dokter Nazi berpikiran bahwa kepentingan militer merupakan pembenaran yang cukup bagi eksperimen-eksperimen mereka. Mereka melakukan pembenaran mereka dengan mengatakan bahwa pada akhirnya akan meninggal juga. Ironisnya beberapa percobaan yang dilakukan dianggap tidak berlandaskan teori ilmiah (Hasan, 2009).

Melihat kondisi ini, di kalangan kedokteran timbul kesadaran akan pentingnya untuk menyusun pegangan tertulis bagi para dokter dalam melakukan penelitian medik mereka. Bulan April 1947 Dr. Leo Alexander mengajukan enam butir batasan penelitian medik yang baik kepada Dewan Kejahatan Perang. Pengadilan memutuskan untuk menerima butiran ini dan menambah empat butir lagi (Hasan, 2009).

Menurut Hasan (2009), sepuluh butir ini dikenal sebagai “Nuremberg Code”. Nuremberg Code terdiri dari berbagai prinsip dasar umum seperti asas kesediaan (informed consent) dan penghilangan paksaan, formulasi eksperimen ilmiah yang baik dan manfaat bagi partisipan eksperimen.

Kode etik ini menyatakan pentingnya pertimbangan risiko yang harus dihadapi dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan dan penghindaran rasa sakit dan penderitaan yang tidak diperlukan. Menurut kode etik ini, dokter harus menghindari tindakan yang mencederai pasien mereka (Hasan, 2009).

Menurut Hasan (2009) : The Nuremberg Code (1947)

Berikut ini adalah penjelasan detail “The Nuremberg Code” (1947) terkait dengan eksperimen kedokteran yang diperkenankan.

Sejumlah besar bukti yang terjadi sebelumnya tentang pengaruh jenis tertentu eksperimen kedokteran pada manusia, ketika ditimbang pada batasan yang terdefinisikan dengan baik, memperkuat etika profesi kedokteran secara umum. Pendukung praktik eksperimentasi terhadap manusia melakukan pembenaran terhadap pandangan mereka dengan dasar bahwa eksperimen yang demikian memberikan hasil bagi kebaikan masyarakat yang tidak dapat disediakan oleh metode atau alat penelitian lain. Namun, seluruhnya setuju bahwa prinsip-prinsip dasar tersebut seharusnya dapat teramati untuk memenuhi konsep moral, etika dan legal, antara lain :

1. Persetujuan sukarela dari subjek manusia adalah keintian yang mutlak.

Hal ini berarti bahwa orang yang terlibat harus memiliki kapasitas legal untuk memberikan persetujuan, harus dalam situasi untuk dapat menggunakan kekuatan pilihan yang bebas, tanpa intervensi segala elemen kekuatan, kecurangan, penipuan, paksaan, lewat batas atau bentuk tersembunyi paksaan atau tekanan lain dan harus memiliki pengetahuan yang mencukupi dan pemahaman terhadap elemen dari materi subjek yang terlibat yang memungkinkannya untuk mengambil keputusan yang dapat dipahami.

Elemen yang kemudian menuntut bahwa sebelum penerimaan persetujuan keputusan dari subjek eksperimental di sana harus diberitahukan baik karakter, lama dan tujuan eksperimen, metode dan alat yang akan dilakukan, segala ketidaknyamanan dan bahaya beralasan yang diduga dan pengaruh-pengaruh terhadap kesehatan atau orang yang mungkin berasal dari partisipasinya dalam eksperimen. Tugas dan tanggung jawab untuk memastikan kualitas persetujuan bergantung pada masing-masing individu yang memulai, mengarahkan atau terlibat dalam eksperimen. Hal tersebut merupakan tugas pribadi dan tanggung jawab yang tidak dapat didelegasikan pada orang lain melalui perwalian.

2. Eksperimen harus sedemikian rupa untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kebaikan masyarakat, tidak dapat disediakan oleh metode atau alat penelitian lain, dan bukan sesuatu yang memiliki karakter acak atau tidak perlu.

3. Eksperimen harus dirancang dan didasarkan pada hasil eksperimen binatang dan pengetahuan dari riwayat alamiah penyakit atau masalah lain di bawah penelitian dengan hasil yang dapat diantisipasi yang membenarkan kinerja eksperimen.

4. Eksperimen harus dilakukan untuk menghilangkan penderitaan dan cedera fisik dan mental yang tidak diperlukan.

5. Tidak ada eksperimen yang boleh dilaksanakan ketika disana terdapat alasan apriori untuk meyakini bahwa kematian atau cedera kecacatan akan terjadi, kecuali mungkin pada eksperimen-eksperimen di mana dokter eksperimental juga bertindak sebagai subjek.

6. Tingkat risiko yang diambil harus tidak pernah melampaui yang ditentukan oleh kepentingan kemanusiaan dari masalah yang hendak dipecahkan oleh eksperimen.

7. Persiapan yang layak harus dibuat dan fasilitas yang sesuai harus disediakan untuk melindungi subjek eksperimental menghadapi bahkan kemungkinan cedera, kecacatan atau kematian yang langka.

8. Eksperimen harus dilaksanakan hanya oleh orang yang memiliki kualifikasi secara ilmiah. Tingkat tertinggi dari keterampilan dan perawatan harus merupakan persyaratan pada seluruh tahap eksperimen bagi siapa yang melaksanakan atau terlibat dalam eksperimen.

9. Selama pelaksanaan eksperimen terhadap subjek manusia harus terdapat kebebasan dalam melakukan penghentian eksperimen di mana keberlanjutan eksperimen bagi dirinya terlihat tidak mungkin.

10. Selama pelaksanaan eksperimen, ilmuwan yang bertanggung jawab bersiap untuk menghentikan eksperimen pada setiap tahap, jika dia memiliki penyebab yang mungkin dapat dipercayai dan keterampilan yang unggul dan pertimbangan yang hati-hati yang dibutuhkannya untuk melihat bahwa keberlanjutan eksperimen akan menghasilkan cedera, kecacatan atau kematian dari subjek eksperimental.

Prinsip-prinsip yang diberikan oleh Nuremberg Code untuk praktik kedokteran ini kemudian meluas ke seluruh dunia sebagai fajar baru dunia kemanusiaan setelah perang dunia kedua. Menyusul kode etik ini, World Medical Association mengadakan Deklarasi Jenewa (1948) dan kemudian diikuti Deklarasi Helsinki (1964). Kedo etik ini juga menginspirasi perumusan berbagai aturan-aturan profesi di berbagai negara di dunia (Hasan, 2009).

Menyadari pentingnya kode etik untuk profesi, berbagai organisasi profesi lain selain WMA juga mulai merumuskan kode etik. Di Amerika Serikat, American Psychological Association telah membuat rumusan kode etiknya mulai tahun 1953 yang kemudian direvisi pada tahun 1959, 1963, 1968, 1977, 1979, 1981, 1990, 1992 dan 2002. Di Indonesia, Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia (ISPSI) yang lahir pada tanggal 11 Juli 1959 dan telah sejak awal merumuskan Kode Etik Sarjana Psikologi Indonesia. Kemudian dengan bergantinya nama ISPSI menjadi Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), maka tanggal 22 Oktober 2000 pada kongres HIMPSI ke-8 di Bandung disusun kembali Kode Etik Psikologi Indonesia (Hasan, 2009).

Pada awalnya belum ada kode etik psikologi yang bersifat internasional. Namun dengan semakin tingginya kesadaran untuk membentuk jaringan organisasi profesi psikologi yang berskala global, maka usaha ke arah itu mulai dilakukan. International Union of Psychological Science (IUPsyS), International Association of Applied Psychology (IAAP) dan International Association for Cross-Cultural Psychology (IACCP) telah membentuk panitia adhoc untuk merumuskan Universal Declaration of Ethical Principles for Psychologists sejak tahun 2004 (Hasan, 2009).

Sekian artikel tentang Pengembangan Kode Etik dalam Dunia Profesi Menurut Ahli. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka
Hasan, A.B.P. (2009). Kode etik psikolog dan ilmuwan psikologi. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Liem, K. & Kwan, K. (2003). The ethical practice of counseling in Asia: An introduction to the special issue of asian journal of counselling. Asian Journal of Counselling, 10(1), 1-10.
Ponton, R.F. & Duba, J.D. (2009). The ACA code of ethics: Articulating counseling’s professional covenant. Journal of Counseling & Development, 87, 117-121.

Posting Komentar untuk "Pengembangan Kode Etik dalam Dunia Profesi Menurut Ahli"