Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kajian Filsafat Manusia antara Jiwa dan Badan Manusia

Kajian Filsafat Manusia antara Jiwa dan Badan ManusiaDalam filsafat manusia, kajian tentang jiwa dan badan merupakan kajian yang penting, karena kesadaran tentang ‘aku’ manusia selalu menunjukkan kecenderungan tentang ‘aku’ manusia yang terdiri dari jiwa dan badan. Kajian tentang jiwa dan badan merupakan tonggak dari kajian-kajian sebelumnya tentang manusia, dari mulai potensi (kemungkinan) dan aktualitas (kenyataan), kesadaran historisitas, dan sosialitas dengan yang-lain sebagai dimensi-dimensi manusia sebagai kenyataan yang melekat di dalam manusia.

“Aku” sebagai titik tolak kesadaran tentang manusia mengkerucut pada 2 hal yang dimiliki masing-masing individu manusia untuk dibuka yakni antara jiwa dan badan manusia. Disatu pihak, aku merasa terbatas; aku hidup pada tempat tertentu dan pada saat tertentu terbatas pada ruang waktu-ku, merasa diri terhambat di dalam badan, terbatas didalam otonomi tubuh dan korelasi dengan yang-lain (dunia dengan segala kebertubuhannya). Di lain pihak, aku mengatasi segala keterbatasanku di dalam kesadaranku sebagai ‘ide’ku, dan aku bersatu dengan yang lainnya dalam tataran ‘ide’ku, dalam historisitas ‘ide’ (kebudayaan) bersama yang-lain.

Kajian Filsafat Manusia antara Jiwa dan Badan Manusia_
image source: www.dragynstudios.com

‘Aku’ sadar sebagai manusia yang memiliki jiwa (ide) dan badan (tubuh) sekaligus. Jika hanya memiliki jiwa saja, ‘aku’ bukanlah manusia, sebaliknya jika hanya memiliki badan saja, apa ubahnya ‘aku’ manusia dengan seonggok materi lainnya, katakanlah binatang misalnya. Atau bisa jadi ya, karena kesadaranku melulu diarahkan oleh badanku. Bagaimana ‘aku’ memperlakukan duniaku, selalu dipahami dalam kerangka ‘badan’ku. Akan tetapi juga tidak, justeru karena kesadaranku tentang ‘Tuhan’ dan kekuatan supra-manusia meneguhkan keberadaan jiwa-ku. Tidak ada anjing yang melakukan upacara minta hujan karena kekeringan yang melanda, juga tidak ada monyet yang berbudaya dengan mengerahkan kemampuannya secara turun temurun membentuk sebuah peradaban. Lagi-lagi hanya manusia dengan ‘aku’ sebagai sub terkecilnya yang melakukan segala aktifitas diluar dari kerangka ‘badan’ku. Apakah upacara minta hujan yang dilakukan manusia disaat kekeringan melanda merupakan aktifitas yang digerakkan oleh badannya, tentu saja iya karena digerakkan upaya ‘badan’ yang membutuhkan air, tapi apakah perlakuan upacara sedemikian merupakan aktifitas badani dalam arti upaya untuk memenuhi kebutuhan akan air (mencari air ke segala tempat misalnya) tentu saja tidak, ini artinya ada perbedaan gerak yang dikondisikan dari dinamika jiwa dan badan dalam kehidupanku sebagai manusia.

Begitupun dengan peradaban, historisitas keberadaan manusia secara turun-temurun menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan pola dalam segi kehidupannya yang membentuk budaya. ‘Aku’ manusia tidak hanya hidup sebagaimana babi juga hidup, juga tidak hanya bekerja sebagaimana monyet juga bekerja. Potensiku sebagaimana kemungkinanku tidak terbatas dan dibatasi oleh tubuhku, karena ‘aku’ hidup dengan segudang cita-cita diluar sana dengan menyelami serta menghayati setiap hidupku di dalam sini.

Manusia sebagai makhluk hidup memiliki ciri khas yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Asimilasi, yaitu berkembang dan mengembangkan diri dengan mengubah yang dimakan dan dicerna menjadi substansinya sendiri. Memperbaiki dan memulihkan, yaitu mengerjakan dari substansinya sendiri, dari dalam dirinya, dari apa yang dibuat oleh organismenya. Mereproduksi, yaitu kemampuan untuk melipatgandakan diri, membuat dalam dirinya bibit yang akan menjadi mahluk hidup baru. Responsif, yaitu kemampuan merespon stimulus yang diberikan padanya oleh alam sekitarnya, ( daya adaptasi). Punya tujuan, yaitu kemampuan menentukan tujuan. Manusia punya tujuan hidup dan untuk mencapainya mereka memanfaatkan apa yang ada disekitarnya dengan menggunakan ilmu dan alat. Yang terakhir merupakan perbedaan yang khas antara manusia sebagai makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya sebagaimana binatang dan tumbuhan.

Jiwalah yang membuat manusia memiliki ciri khas yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya di dunia. Jiwa menurut Whitehead punya struktur yang sifatnya hierarkis dimana taraf yang tertinggi diduduki oleh taraf rasional, dalam melaksanakan tugasnya taraf ini didukung oleh taraf-taraf lain seperti taraf organik (benda mati), taraf vegetatif (tumbuhan) taraf sensitif (binatang). Taraf yang rendah mempunyai fungsi saling berhubungan dan mendukung taraf tertinggi yaitu taraf rasional. Taraf organik (benda mati) sifatnya statis tidak memperkenalkan unsur baru yang muncul dari keinginan mewujudkan cita-cita pribadi. Taraf vegetatif (tumbuhan) lebih menunjukkan aktifitas jiwa yang efektif dengan adanya unsur pembaharuan (adaptasi dengan lingkungan). Taraf sensitif (binatang) sudah muncul kesadaran akan diri dan lingkungan, bersamaan dengan kemampuan analisis terhadap pengalaman-pengalaman fisik. Taraf rasional terjadi pembaruan terus menerus yang menjadi begitu efektif di dalam sejarah kehidupan manusia, karena dalam diri manusia ada kesadaran intelektual yang punya kemampuan sangat efektif untuk menyederhanakan pengalaman dan memberi tekanan kepada segi yang dianggap penting sambil menyingkirkan yang dianggap tidak relevan. Ciri khas dari manusia memiliki sekaligus ke-4 taraf dalam struktur jiwa sebagaimana diatas.

Namun, pada dasarnya semua kesadaran jiwa mendarat lewat pintu badan. Tak ada kesadaran dengan taraf rasional diluar kerangka intensi (keterarahan;arahan) dari badan. Itu sebabnya kadang sulit untuk menunjukkan bahwa jiwa dalam kesadaran manusia lebih unggul (abadi) daripada badan. Badan sebagaimana objek diluar sana memang menjadi begitu rendah artinya jika hanya dipandang sebagai materi tanpa keluasan, sementara dibalik itu semua tak ada subjektifitas kesadaran yang dapat keluar dari kerangka kesadaran sejauh badan sebagai subjek di dalam sini. Kesadaran tentang rasa sakit yang dialami melulu dikarenakan juga sekaligus diekspresikan oleh badan. Rasa sakit akibat tulang yang patah karena kecelakaan misalnya, atau rasa takut yang menjelma menjadi ekspresi pisik seperti degup jantung yang kencang, bulu roma yang naik dan lain-lain ekspresi pisik itu merupakan juga wujud dari jiwa. Oleh karena itu sering para pemikir mengatakan bahwa jiwa merupakan badan yang menguap, sebaliknya badan merupakan jiwa yang membeku. Untuk pemahaman yang lebih radix (dalam; mencapai akar) tentang kesadaran tentang jiwa dan badan ada baiknya kita runut beragam kesadaran dari para filsuf terdahulu tentangnya


Posting Komentar untuk "Kajian Filsafat Manusia antara Jiwa dan Badan Manusia"