Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Potensialitas dan Aktualitas dalam Filsafat

Pengertian Potensialitas dan Aktualitas dalam Filsafat - Ada pendapat yang sangat umum mengenai potensialitas dan aktualitas manusia walaupun lazimnya hanya implisit dan tersembunyi saja. Pegangan pertama dapat diambil dari contoh klasik: seorang seniman memahat patung dari potongan kayu. Potongan kayu itu mengandung bermacam-macam kemungkinan, dapat digarap menjadi patung atau meja atau apa saja. Lalu, ide ‘patung’ mempunyai suatu kepenuhan ideal; dan seniman itu selalu berusaha mencapai suatu idam-idaman keindahan. Namun, sambil bekerja, idam-idaman itu seakan-akan dibatasi oleh kemungkinan kayu (dan oleh seniman sendiri), atau oleh pembentukan konkret. Jika kemungkinan kayu dapat dikatakan sebagai potensi kayu, maka batas kemungkinannya itu disebut sebagai aktualitas kayu dalam pembentukan konkretnya.

Dalam contoh klasik diatas Kemungkinan disini dalam konteks manusia merupakan salah satu dimensi yang dikatakan sebagai potensialitas karena Ia sendiri yang menciptakan kemungkinannya sendiri, sebagaimana berbeda dengan kayu yang diberikan kemungkinannya. Jadi potensialitas manusia disini tidak diartikan sebagai sebatas potensi atau kemampuan manusia, melainkan segala kemungkinan yang menjadi milik manusia. Akan tetapi, dalam potensialitas manusia itu hanya satu yang dihayati atau diakui sebagai sebuah kemungkinannya sendiri dalam setiap momen kemewaktuan manusia. Manusia dibatasi sendiri oleh kemungkinannya sendiri dalam pencariannya. Disinilah letak aktualitas manusia itu.

Pengertian Potensialitas dan Aktualitas dalam Filsafat_
image source: www.mtt-events.com

Posisi Potensialitas dan Aktualitas Manusia Dalam Filsafat Tradisional Populer

Hubungan Potensialitas dan Aktualitas
Bentuk merupakan hakikat sesuatu sehingga kekal dan tidak berubah-ubah. Tetapi dalam panca indera terdapat perubahan, perubahan menghendaki dasar yang di atasnyalah perubahan itu terjadi, dasar inilah yang disebut materi. Materi berubah tetapi bentuk kekal. Bentuklah yang membuat materi berubah, artinya materi berubah untuk memperoleh bentuk tertentu. Dengan memperoleh bentuk tertentu, materi mempunyai potensialitas yang ada di dalamnya, menjelma menjadi aktualitas. Antara bentuk dan materi terdapat hubungan gerak. Sedang yang menggerakkan potensialitas untuk menjadi aktualitas adalah penggerak pertama, karena penyebab utama dari gerak terjadi dari perubahan dari perbuatan yang menggerakkan, digerakkan pula oleh sesuatu penggerak lain. Demikianlah seterusnya, sehingga terdapat suatu rentetan penggerak dan yang digerakkan. Rentetan ini tidak berkesudahan bila di dalamnya tidak terdapat sesuatu penggerak yang tak bergerak.

Potensialitas Penuh
Makin manusia dekat kepada asal-usulnya sendiri (pada titik pangkalnya), makin pula ia ‘memiliki’ kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas jumlahnya. Pada titik permulaan itu potensialitasnya masih paling luas atau paling ekstensif. Ia masih dapat menjadi apa-apa: menteri, dosen, tokoh masayarakat, tukang becak; baik dan pinter dan kecil dan bodoh atau apa saja. Masih dapat menerima sembarang ketentuan-ketentuan; daia masih semacam tabula rasa atau kertas putih. Kemungkinan-kemungkinan itu bersama-sama dapat dipandang sebagai suatu keseluruhan walaupun tanpa hubungan satu sama lain. Mereka merupakan kemungkinan manusiawi murni; belum ada sedikitpun selain potensial belaka.

Karena yang diselidiki ialah substansi manusia, maka kemungkinan ini disebut potensialitas substansial. Kemungkinan ini merupakan suatu ‘belum’ yang radikal dan substansial. Potensialitas substansial ini adalah dasar dan cakrawala terakhir bagi semua kemungkinan substansi; seakan-akan merupakan pengakuan tanpa batas tertentu, penuh dengan segala kemungkinan manusiawi. Kemungkinan murni itu sudah sejak permulaan ada di dalam masing-masing manusia unik.

Aktualitas Penuh
Manusia pertama-tama dipikirkan menurut realisasi ideal; manusia ideal merupakan sistesis dari semua ketentuan yang manusiawi dan puncaknya yang mutlak; suatu kepenuhan manusiawi yang tak terbatas. Namun, bukan digambarkan sebagai suatu massa ‘pasir’ seperti potensialitas murni, melainkan sebagai pengepalan padat yang menyintesakan semua yang berharga di dalam kemanusiaan. Tidak ada satupun aspek potensialitas yang masih melulu potensial. Idam-idaman ini merupakan aktualitas manusiawi murni.

Kesempurnaan ini juga merupakan aktualitas substansial; suatu ‘sudah’ kenkret-real yang bulat. Aktualitas ini merupakan cakrawala dan limit terakhir dari semua kesempurnaan dan ketentuan manusiawi.

Manusia Konkret
Di dalam substansi manusia yang konkret kedua unsur tadi seakan-akan bertemu di dalam suatu dialektika yang kompleks. Potensialitas murni merupakan unsur ‘belum-ditentukan’, yang menunggu dan menantikan penentuan yang harus diterimanya dengan pasif. Aktualitas murni berupa unsur ‘menetukan’, yang bertindak secara aktif. Namun, di dalam substansi konkret kedua limit tadi sudah tidak ditemukan menurut kemurniannya.

Aktualitas mengumpulkan dan mengepalkan potensialitas-potensialitas yang terpancar seperti pasir, dan membentuk substansi actual. Di dalam proses itu potensialitas disalurkan dan dibatasi eksistensinya. Artinya: diatasi kekosongannya yang murni dan tercapai suatu kepadatan, namun hanya bidang terbatas yang diaktuir. Sebenarnya potensialitas tidak dikurangi, ia tetap ada seluruhnya di dalam substansi yang telah terbentuk. Namun ia hanya teraktuir hanya untuk sebagian saja, dan bidang-bidang lainnya seakan-akan lebih jauh dari aktuasi, lebih mundur lagi.

Misalnya, kalau anak didik dalam keluarga seorang petani, maka potensialitasnya yang diaktuir itu lain daripada di dalam pendidikan pada keluarga seorang dokter. Sekolah yang saya kunjungi juga memberi aktuasi terbatas; diambil rel tertentu, ke dalam arah tertentu. Kemungkinan-kemungkinan lain seakan-akan menjauh, dan mungkin tidak pernah lagi mendapat kesempatan.

Aktualitas baru direalisir sejauh mengaktuir potensialitas. Namun, sekaligus dibatasi pula di dalam kepadatannya oleh potensialitas yang diaktuir itu. Kesempurnaannya hanya terwujud secara terbatas namun tetap hadir seluruh kesempatan itu di dalam realisasi substansi terbatas pun, dengan seluruh dorongannya.

Substansi manusia itu selalu menjadi kesatuan potensialitas dan aktualitas. Di dalam manusia konkret kedua aspek tidak dapat dipikirkan lepas satu sama lain. Saling meresapi dan saling melingkupi dan saling menentukan. Hanya dalam kesatuan bersama mereka dapat menjadi real. Selalu ada potensialitas-yang-diaktuir (namun masih mempunyai latar belakang kemungkinan-kemungkinan tak terbatas yang seakan-akan ditangguhkan), dan aktualitas-yang-direalisir (namun diliputi suatu cakrawala kesempurnaan tak tertinggal, yang seakan-akan masih tersembunyi). Mereka berdua itu koekstensif, sama luas.

Potensialitas dan Aktualitas Berkembang dengan Nilai yang Tidak Sama
Perkembangan ideal dapat dibayangkan sebagai berikut. Aktualitas mengaktuir potensialitas sedemikian sehingga seluruh kesempurnaan aktualitas dapat ‘keluar’ dan menjadi; apalagi bersama dengan itu juga seluruh potensialitas diaktuir sehingga tidak ada lagi yang masih ‘belum’. Demikian ada perkembangan dari potensialitas murn, di mana juga aktualitas telah harus dipikir pada titik nolnya, sampai kepada aktualitas murni, dimana seluruh potensialitas tetap hadir juga, namun sebagai teraktuir dengan penuh.

Hubungan antara potensialitas dan aktualitas itu dianggap bersifat sangat unik; hanya berlaku untuk hubungan antara kedua aspek ini. Hubungan itu seperti antara ‘belum’ dan ‘sudah’, antara ‘yang-belum-sempurna’ dan ‘yang-sempurna’. Potensialitas lebih ditempatkan pada titik permulaan, dan dinilai rendah. Potensialitas murni ialah batas atau limit realitas manusiawi yang paling minim. Aktualitas lebih ditempatkan pada titik hasil, dan dinilai tinggi. Aktualitas murni ialah batas atau limit realitas manusiawi yang paling maksimal.

Pengertian serta Posisi Potensionalitas dan Aktualitas Manusia dalam Filsafat Modern

Potensi(alitas) objektif atau ‘possibility’ adanya manusia disini tidak dibicarakan lagi. Mungkin akhirnya harus dijabarkan kepada ‘potensialitas’ pula sebab kemungkinan adanya manusia hanya diketahui dari fakta adanya saja sebagai ‘ab esse ad posse valet illatio’ (kesimpulan yang valid). untuk problem itu lihatlah metafisika/ontology. Disini hanya dibicarakan potensialitas subjektif saja.

Penolakan konsep potensi
Filsafat modern, mulai dari Descartes, menolak konsep ‘potensi’ dan ‘aktualitas’. Sebab bersama dengan timbulnya ilmu pengetahuan eksakta, maka ‘potensi’ substansial dan aspek-aspeklnya yang lebih khusus dibayangkan sebagai suatu sifat atau hal yang fisis-real di dalam substansi; dan filsafat skolastik memang telah memberikan alasan bagi salah paham itu oleh karena caranya memakai ‘potensi’ di dalam keterangannya tentang soal-soal ilmiah positif. Tidak dapat ditemukan potensi-potensi seperti itu dengan memakai eksperimen-eksperimen atau analisis ilmiah, maka seluruh konsep ‘potensi’ sebagai ‘realitas’ yang berdistingsi-real dari aktualitas itu ditolak. Demikian rasionalisme (Descartes), empirisme (Hume), dan mekanisme.

Hanya Leibniz berusaha memakai kembali ‘potensi’ di dalam penyusunan teorinya mengenai ‘monas’. Menurut dia realitas terdiri dari kumpulan-kumpulan ‘monas-monas’. Dan setiap ‘monas’ merupakan sentrum atau titik ‘daya’ (potensi) yang bukan berkeluasan dan bukan materiil. Pada taraf-taraf lebih tinggi monas itu sekaligus merupakan kesatuan kesadaran.

Filsafat perubahan
Filsafat ‘perubahan’, seperti misalnya Bergson, menganggap bahwa perubahan yang kontiniu merupakan inti realitas. Untuk mereka ‘potensi(alitas)’ itu melulu suatu abstraksi, atau suatu aspek yang tidak dibedakan dengan keadaan real dari ‘akt(tualitas)’, atau hanya merupakan proyeksi mental dari ‘sekarang’ kearah ‘masa lampau’.

Kemudian filsafat modern akhirnya menerima kembali konsep ‘potensi’. Pada abad ke-20 ilmu pengetahuan meninggalkan gambaran dunia yang berciri mekanis. Maka baik ahli filsafat maupun ahli ilmu pengetahuan lain (a.l Heisenberg) kembali lagi kepada pengertian ‘potensi’. Potensionalitas dianggap syarat mutlak untuk menerangkan proses perkembangan organis dan jenjang kemungkinan-kemungkinan kegiatan yang tak terduga di dalam alam-dunia.

Potensi dan sublimasi
Menurut Freud, di dalam manusia ada suatu daya psikis, yang merupakan motor perkembangan, yaitu ‘libido’. Daya itu di dalam hewan dikendalikan oleh naluri dan keterikatannya kepada alam sekitar. Tetapi di dalam manusia daya itu jauh lebih luas dan tendensi-tendensinya seakan-akan tak terbatas. Terpaksa oleh benturan realitas, maka ketidak-terbatasan ‘libido’ itu disalurkan ke dalam sublimasi dorongan pada taraf yang lebih tinggi.

Gehlen mempunyai pandangan serupa dengan lebih bertolak dari bidang biologis. Dibandingkan dengan yang infrahuman, manusia disebut mangelwesen, yaitu ‘makhluk yang berkekurangan’. Misalnya, hewan sudah agak cepat berspesialisasi di dalam macam-macam unsur; bentuk kaki-tangannya, moncong, sayap, kebiasaan-kebiasaan (naluri) dll. Manusia itu lebih’ primitif’, tidak demikian berspesialisasi, tidak beradaptasi, bersifat embrional. Jadi, potensialitas manusia jauh lebih kurang terbentuk, dan jauh lebih luas dari hewan. Maka manusia dapat bertahan terus karena ia mengatasi kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan tadi dengan kegiatan pada taraf lebih tinggi, yakni taraf mental-spiritual.

Refleksi Antara Potensionalitas dan Aktualitas

Secara metodis penyelidikan filosofis itu voraussetzungelos (mengandaikan). Tidak mulai dengan menerima salah satu konsep atau rumusan menurut arti manapun juga; menolak semua apriori dan segala prasangka. Baru berdasarkan analisis mengenai kenyataan sendiri disusun konsep dengan arti tertentu.

Aktualitasku
Aku sekarang memahami diri-dan-yang-lain. Kesadaran itu bersifat ‘aktual’, merupakan realitas yang berarti disini dan kini, suatu aktual yang konkret. Aktualitasku yang tertentu ini meliputi segala ‘kesempurnaan’ yang ada padaku; mewujudkan seluruh kemanusiaanku. Dan kesempurnaan dan ketentuan lain dari itu secara ‘defacto’ tidak ada, sekarang ini. Kesempurnaan ini sebagai otonomiku mengandung dan mencandra bermacam-macam unsur yang sekunder, atau ‘kesempurnaan’ (atau ‘sifat’) yang khusus.

Potensialitasku

Kemampuan

Bahwa aku ini ‘aku’ dengan actual mengandaikan dan menuntut (sebagai syarat mutlak) bahwa aku dapat mengakui diri dan ‘yang-lain’. Aku memiliki kemampuan agar ‘memanusia’, seperti sekarang ini saya lakukan. ‘mampu’ itu merupakan arti pokok dari kata kerja latin posse; possum ialah ‘aku bisa’ (je peux=prancis). Kemampuanku ‘meng-aku’ sekarang ini merupakan potensialitasku, atau dengan kata lain yang lebih konkret: ‘potensi’ku. Aku ini suatu potensi ‘mengaku’ yang substansial.

Personal-konkret
Kemampuan atau potensiku ini dapat juga disebut ‘kemungkinan’: aku mungkin mengakui diri. Sebetulnya, istilah ‘kemungkinan’ terlalu abstrak dan kurang personal. Hanya menunjukkan dugaan bahwa tidak mustahil sesuatu peristiwa akan terjadi, atau sudah terjadi, atau sedang terjadi tanpa saya ketahui dengan tepat. Istilah itu justeru membuat abstraksi dari kepastian dan penyadaran dan pelaksanaanku sendiri. Misalnya, waktu masih anak-anak, saya membayangkan segala kemungkinan yang terbuka bagi saya umumnya itu hanya spekulasi abstrak; dan tidak jelas apakah penantian itu realistis, dan apakah itu memang potensialitas subjektif di dalam diri saya.

Padahal potensialitasku tidak dapat saya pandang lepas daripada diri saya yang konkret. Saya sadari pada saat sekarang ini, sejauh saya akui. Potensiku ini bukan kemungkinan-kemungkinan abstrak, melainkan bersifat instrinsik, dan diluar ‘sekarang’ tidak ada kemampuanku yang lain.

Refleksi

Kedua aspek diatas antara aktualitas dan potensialitas berkembang sejajar dengan ‘aku’. Dalam kerangka potensialitas manusia dapat kita lihat misalnya ketika seorang ibu atau ayah dapat membayangkan semua kemungkinan yang terbuka bagi anaknya. Namun itu baru spekulasi abstrak; dan sama sekali belum begitu jelas. Kurang tepat juga mengatakan bahwa potensialitas bagi manusia itu paling luas, bahkan tak terbatas pada titik permulaannya; bahwa dia dapat menjadi apa-apa. Kurang tepat bahwa keleluasaan itu lambat laun dipersempit, bahwa makin lama makin banyak pintu ditutup. Potensialitas demikian itu bukan konkret pribadi, melainkan melulu kekosongan tyanpa dinamika yang benar. Kebelumhadiran ketentuan itu dapatlah disebut potensialitas murni. Namun, sebenarnya hanya merupakan ekstensi (keluasan) belaka (kemungkinan-kemungkinan abstrak yang tak terbatas banyaknya), tanpa komprehensi apapun (sintetis ataui kepadatan real). Potensialitas itu tidak berarti apa-apa; sebenarnya hanya nol besar yang dapat ‘menghasilkan’ apa-apa saja.

Potensialitas manusia atau kemampuan untuk ‘memanusia’ itu pada permulaan minim sekali, menurut aspek komprehensif dan ekstensif. Lama-kelamaan berkembang sesuai dengan historisitas manusia. Potensialitas itu memiliki juga masa lampau dan masa depan, mengandung janji dan ramalan. Di dalam anak kecil, kemampuan atau daya ‘meng-aku’ itu jauh lebih lemah daripada di dalam orang dewasa. Dengan makin mendalam dan menjadi padat, menghasilkan potensi baru yang lebih ekstensif-komprehensif.

Sementara aktualitas manusia tidak pula dipikirkan sebagai suatu kepenuhan ideal, yang disampaikan dan dipenjarakan oleh potensialitas dulu. Aktualitas demikian pada bentuk murni hanya komprehensi saja (sintesis padat yang sempurna) tanpa ekstensi (pluralitas bidang-bidang penghayatan). Itu bukan manusiawi. Kurang tepat bahwa aktualitas itu lama-kelamaan membebaskan diri dari keterbatasan potensialitas, dengan mengaktuirnya. Sebaliknya, aktualitas itu justeru bertitik tolak dari kecil, dan berkembang perlahan-lahan secara kreatif. Di luar aktualitasku sekarang tidak ada kesempurnaan apapun, yang terbelenggu pun tidak, kecuali janji untuk masa depan. Aktualitas murni tidak terpikirkan, dan tidak ada. Hanya ada sejauh menjadi real di dalam ‘sekarang’ dan sebagai janji.

Selain sejajar berkembang dengan ‘aku’ kedua aspek diatas juga berkembang bersama-sama. Di dalam aktualitasku kedua-duanya merupakan hasil dari masa lampau; hasil itu diolah kembali secara baru, dan akan berkembang lagi. Baik ekstensi maupun komprehensi (kepadatan) bertambah. Misalnya di dalam pandangan abstrak potensialitas dalam sebuah batu sekurang-kurangnya menurut ekstensinya lebih luas daripada potensialitas di dalam manusia. Di dalam manusia kemungkinan-kemungkinan telah lebih terarah dan terbatas. Potensialitas manusia sebenarnya tidak hanya secara komprehensif lebih mendalam dan lebih besar daripada di dalam batu, melainkan juga secara ekstensif jauh lebih luas.

Potensialitas tidak boleh dikatakan makin diaktuir oleh kesempurnaan; kesempurnaan tidak boleh disebut makin direalisir bersama aktuasi potensialitas. Mereka berkembang bersama, menjadi ‘aku’ sadar yang lebih kaya dan daya mengucap ‘aku’ yang lebih kuat. Dengan berkembang dengan saling memuat, maka ‘aku’ menjadi makin terisi, tegang dan eksplosif. Proses perkembangan juga dapat disebut aktualisasi dan potensialisasi yang memuncak. Dan jikalau perkembangan ini dirasa sebagai peruncingan potensialitas orisinal yang menyempit, dan sebagai realisasi aktualitas ideal yang terbatas saja, maka sebenarnya terjadilah peralihan dari potensialitas khayalan dan aktualitas impian kepada potensialitas-aktualitas yang sungguh realistis dan pribadi.

Kesimpulan

Kalau dipandang pada hakikat manusia, dalam hubungan dengan Potensialitas sebagai yang ‘memanusia’ dan ‘meng-aku’, maka pada dasarnya sama saja pengertian dan defenisi antara potensialitas manusia, potensi, kemampuan, kepandaian, daya juga bakat. Dari refleksi diatas ditemukan bahwa potensialitas manusia tidak dapat dipikirkan lepas dari aktualitas manusia. Potensialitas tidak boleh hanya dihubungkan dengan masa lampau, melainkan mereka baru konkret-eksistensial sekarang ini. Kesempurnaan dan cita-cita tidak boleh hanya dihubungkan dengan masa depan, melainkan berciri realistis yang berarti sekarang ini saja. Mereka merupakan struktur ku yang ‘sekarang’; aku sekarang merupakan baik potensi dan bakat mengakui diri-dan-yang-lain, maupun sasaran dan cakrawala pengakuan yang dicita-citakan itu. Dengan demikian ketiga aspek, yakni potensialitas (bakat atau daya), aktualitas dan kesempurnaan (cita-cita), merupakan kesatuan yang berbeda sekali dari lampau-sekarang-depan.

Dari fakta-fakta diatas, di dalamnya didapatkan aspek-aspek baru lagi; dan unsur potensialitas-kesempurnaan, bakat, cita-cita ini mewarnai aktualitas otonomi-di-dalam-korelasi, dan mengisi struktur perkembangan. Namun mereka tidak memberikan keterangan atau dasar bagi perkembangan sendiri. Mereka juga hanya merupakan eksplisitasi dari satu fakta induk, ‘aku me-manusia’. Mereka antara potensialitas dan aktualitas bersama-sama mewujudkan struktur manusia yang hakiki, yang berlaku selalu dan dimana-mana. Mereka bersama-sama ikut memberikan arti lengkap kepada ‘substansi’ manusia.


Posting Komentar untuk "Pengertian Potensialitas dan Aktualitas dalam Filsafat"