Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pandangan Tentang Jiwa dan Badan dalam Kesadaran Filosofis

Pandangan Tentang Jiwa dan Badan dalam Kesadaran Filosofis - Menurut Plato manusia memiliki tiga elemen dalam jiwa, pertama adalah kemampuan menggunakan bahasa dan berpikir; kedua, elemen raga/tubuh dalam bentuk nafsu badaniah, hasrat, dan kebutuhan; ketiga, elemen rohaniah/kehendak bisa dilihat dengan adanya emosi seperti kemarahan, sindiran, ambisi, kebanggaan, dan kehormatan. Elemen paling tinggi menurut Plato adalah berpikir (akal) dan terendah nafsu badaniah.

Jiwa, menurut pandangan Plato, tidak dapat mati karena merupakan sesuatu yang adikodrati berasal dari dunia ide. Meski kelihatan bahwa jiwa dan tubuh saling bersatu, tetapi jiwa dan tubuh adalah kenyataan yang harus dibedakan. Tubuh memenjarakan jiwa, oleh karenanya jiwa harus dilepaskan dari tubuh dengan dua macam cara yaitu pertama dengan kematian dan kedua dengan pengetahuan. Jiwa yang terlepas dari ikatan tubuh bisa menikmati kebahagiaan melihat ide karena selama ini ide tersebut diikat oleh tubuh dengan keinginan atau nafsu badaniah sehingga menutup penglihatan terhadap ide.

Pandangan Tentang Jiwa dan Badan dalam Kesadaran Filosofis_
image source: philosophy.unc.edu

Aristoteles sebagai murid Plato meninggalkan ajaran gurunya ini tentang jiwa dan tubuh. Jika, Plato berpendapat bahwa jiwa itu bersifat kekal, tetapi Aristoteles tidak. Menurut Aristoteles, jiwa dan tubuh ibarat bentuk dan materi (Hylemorfisme). Jiwa adalah bentuk dan tubuh adalah materi. Jiwa merupakan asas hidup yang menjadikan tubuh memiliki kehidupan. Jiwa adalah penggerak tubuh, kehendak jiwa menentukan perbuatan dan tujuan yang akan dicapai. Pandangan tentang tubuh dan jiwa sedemikian ini dalam tradisi filsafat dikatakan juga, dualisme aristoteles/ Secara spesifik, jiwa adalah pengendali atas reproduksi, pergerakan, dan persepsi. Aristoteles mengibaratkan jiwa dan tubuh bagaikan kampak. Jika kampak adalah benda hidup, maka tubuhnya adalah kayu atau metal, sedangkan jiwanya adalah kemampuan untuk membelah dan segala kemampuan yang membuat tubuh tersebut disebut kampak. Sebuah kampak tidak bisa disebut kampak apabila tidak bisa memotong, melainkan hanya seonggok kayu atau metal.

Disadari oleh Aristoteles bahwa tubuh bisa mati dan oleh sebab itu, maka jiwanya juga ikut mati. Seperti kampak tadi yang kehilangan kemampuannya, manusia juga demikian ketika mati ia akan kehilangan kemampuan berpikir dan berkehendak. Disatu sisi, Plato memandang bahwa keseluruhan manusia adalah ‘ide’ atau jiwa, sedang Aristoteles muridnya mencoba mengemukakan kedua unsur penting manusia diantara jiwa dan badan dalam kesadaran tentang manusia.

Pandangan masa aufklarung (jaman Pencerahan Jerman): mengkerucut pada spiritualistis

Pandangan tentang jiwa dan badan yang dipahami oleh Hegel, Schopenhauer, Fichte, Schelling, Berkeley, Hartman dll, bahwa pada pokoknya manusia itu adalah subjektifitas atau kesadaran (spiritual). Pada pemahaman tentang badan, aspek-aspeknya yang materiil memang tidak dapat disangkal, tetapi dikembalikan kepada subjektifitas; bahwa badan hanya merupakan ’epifenomena’ (hasil ikutan atau akibat) pada realitas spiritual itu. Hanya mempunyai fungsi menyediakan objek (yang-lain) kepada kesadaran itu supaya melalui dialektika dengan objek itu, roh (sebagai jiwa absolut) dapat menemukan dirinya sendiri, dan bahwa kerohanian manusia ini sebenarnya bertipe ilahi.

Pandangan Jiwa dan Badan dalam Kesadaran Modern

Pandangan ini mengikuti gaya kesadaran klasik tentang jiwa dan badan yang telah ditorehkan oleh Plato dalam ideanya dan Aristoteles dalam Hylemorfisme yakni memperlawankan kedua aspek antara jiwa dan badan dalam manusia. Gagasan pemikiran modern mengedepankan jiwa dalam unsur manusia, gagasan ini dipelopori oleh Rene Descartes sebagai bapak filsuf modern.

Pertama – tama Descartes berasumsi bahwa segala – galanya bisa diragukan, termasuk kesan – kesan inderawi yang sangat jelas dan terpilah – pilah, serta semua sifat dasar dunia fisis yang dulu dianggap sudah jelas dan pasti. Misalnya, ia membayangkan kesan – kesan tersebut hanya ilusi belaka, bahwa ia telah bermimpi tentang kesan – kesan tersebut dan bukan sungguh – sungguh mengalaminya. Namun, setelah terus menerus ragu akhirnya ia sampai pada satu ide yang tampak sangat pasti, yang tidak dapat diragukan.

Dengan demikian, secara paradoksal tindakan meragukan tersebut justru memberikan bukti adanya kepastian yang diinginkan oleh descartes. Ia dapat meragukan segenap kenyataan inderawinya, bahkan keberadaan tubuh dan dunia fisiknya. Tetapi ia tidak dapat meragukan kenyataan subjektif dari jiwanya sendiri yang meragukan. Pengalaman meragukan tersebut sungguh – sungguh nyata. Maka, aktivitas jiwa atau roh rasional itulah satu – satunya kenyataan yang tidak dapat diragukan oleh siapapun dan kapanpun.

Konsekuensi yang bisa ditarik dari hal diatas adalah bahwa jiwa pastilah merupakan sesuatu yang berbeda dengan tubuh. Jiwa adalah satu hal, dan tubuh adalah hal yang lain. Tubuh seperti benda – benda fisik lainnya, terdiri dari partikel – partikel yang bergerak dan memiliki keluasan. Jiwa yang esensinya adalah kesadaran dan berpikir, keberadaannya tidak bergantung pada ruang dan waktu karena ia merupakan “ substansi “ yang immaterial atau non fisik.

Pengetahuan yang berasal dari indera – indera dapat dijamin atau dipercaya, bukan karena indera – indera itu dengan sendirinya sudah pasti, tetapi karena integritas jiwa yang mempersepsinya yang sudah pasti. Kesimpulannya bahwa sesuatu atau substansi, yang seluruh esensi atau hakikat manusia hanyalah berpikir, dan yang untuk beradanya tidak memerlukan ruang atau benda material atau tubuh. Ini berarti bahwa energi ini, roh ini, jiwa ini, yang dengannya ”Aku” ada, seluruhnya bebeda dengan tubuh dan lebih mudah untuk mengetahui daripada tubuh, dan bahwa seandainya tubuh mengalami aus, jiwa tidak pernah berhenti untuk berada seperti sekarang ini.

Berbeda dengan pandangan evolusionism sebagaimana filsuf yang juga scientist yakni Teilhard de Chardin, dimana menurutnya kesadarannya terhadap jiwa dan badan menjadi sebuah konvergensi. Dibedakannya dua macam energi atau tenaga di dalam evolusi kehidupan: energi ’tangensial’, yaitu organisasi ’lahiriah’ (pada permukaan), dan energi ’radial’ yang dari dalam, yang tercapai dengan energi itu ialah ’complexite’ dan ’conscience’ atau ’interiote’. Kedua macam energi itu berevolusi dengan hasil yang sejajar dan mencapai puncak di dalam manusia.

Pandangan Materialistis; Mengedepankan badan sebagai kesadaran pokok

Menurut pandangan ini, pada pokoknya manusia itu adalah materi walaupun aspek-aspek yang lazimnya disebut spiritual itu tidak disangkal, tetapi dikembalikan kepada materi itu sebagai awal dari kesadaran. Tokoh-tokoh pemikir yang mengedepankan kesadaran seperti ini adalah Demokritos (tokoh filsuf Yunani klasik), tokoh yang lebih modern yakni, Karl Max, Engels, Feuerbach, Lamettrie dll. Menurut mereka, Jiwa merupakan salah satu jenis fenomena materiil yang khusus atau pula merupakan ’epifenomen’ (hasil ikutan atau akibat) pada fenomen materi yakni fisiko-kimis. Dalam kerangka ini telah pula memberi insight kepada psikologi dalam paham behaviorisme yang mengutamakan materialitas badan secara berlebih-lebihan. Dimana menurut Behaviourisme, penyelidikan tentang manusia harus tertuju semata-mata pada tingkah laku manusia sebagaimana dapat dipersepsi secara objektif. Suatu kesadaran sebagai bagian intern kelakuan yakni suatu hidup psikis batiniah, sama sekali tidak diakui. Kelakuan dipandang sebagai serangkaian refleks yang digabungkan satu sama lain dengan jalan asosiasi yang bersifat mekanis. Oleh sebab itu dalam paham psikologi aliaran Behaviourisme tidak ada perbedaan lagi antara penyelidikan tentang kelakuan manusia dengan penyelidikan tentang kelakuan binatang, kalau manusia sulit dipakai untuk macam-macam eksperimen, maka digunakan binatang saja.

Dalam pandangan materialisme, badan manusia tidak bertaraf lebih tinggi dari materi alam dunia, hanya lebih kompleks saja. Dengan demikan badan manusia melulu ’badan-objek’ (le corps-objet); menjadi benda diantara barang-barang benda lainnya, tanpa diakui ciri subjektif apapun di dalamnya. Pandangan materialistis tentang jiwa-badan ini juga menjadi pakon dalam paham empirisme dan juga positivisme dalam memandang jiw dan badan, bahwa manusia pada pokoknya adalah badan saja, dan sebagai badan maka manusia disamaratakan dengan objek-objek ilmu-ilmu eksakta (scientisme).

Pandangan Seimbang tentang Jiwa dan Badan; Fenomenologi dan Eksistensialisme

Pandangan tentang jiwa dan badan dalam pemahaman kesadaran aliran ini menitikberatkan badan sebagai ’le corps-sujet’ atau ’le corps vecu’, yaitu ’badan-subjek’ atau ’badan yang dihidupi’. Badan dalam kesadaran ini lain daripada sembarang objek. ’Aku’ tidak dapat menjauhkan diri dari badanku, atau megelilinginya sebagaimana para kaum empiris positivistik. Perspektif pandangan terhadap yang-lain dapat diubah, akan tetapi terhadap badanku sendiri itu mustahil. Justeru karena sudah dihidupi sendiri, maka badanku saya alami sebagai yang lain daripada yang-lain. ’tanganku tidak sama dengan dunia yang ditangani; kakiku tidak sama dengan dunia yang saya injak; mataku tidak sama dengan dunia yang kelihatan; telingaku tidak sama dengan dunia yang terdengar; kulitku dengan perasaannya tidak sama dengan dunia yang rasanya kasar, atau lembut, bersegi, lengket, panas, dingin dll. Pada pokoknya badan dipahami dalam kerangka exsistence humanis (rasa kemanusiaan dalam kesadaran akan keberadaannya), adapun tokoh-tokoh filsuf dalam pemahaman ini adalah Heidegger, Sartre, Marcel, Merleau Ponty dll.

Refleksi Filosofis Atas Jiwa dan Badan

Untuk mencapai dasar hakiki dualitas di dalam manusia yang antara lain diungkapkan dengan badan dan jiwa, maka titik tolak ialah kesadaran, dan juga pengakuan manusia mengenai diri-dan-yang-lain. Tidak tepat kalau mulai dengan menerima konsep-konsep dan rumusan-rumusan tradisional, tanpa mengembalikannya kepada asal-usulnya, perlu diteliti mulai dari dasarnya. Yang paling dekat dengan manusia ialah manusia atau ’Aku’ sendiri, jika memang ditemukan kerohanian sebagai jiwa dan kejasmanian sebagai badan di dalamnya, maka itu berarti menentukan arti dan nilainya yang pertama dan asali. Jalan ini jauh lebih dapat disadari ketimbang mengandaikan pengertian kerohanian dari malaikat dan mengambil pengertian kejasmanian dari hewan sebagaimana yang diintrodusir oleh para tokoh agamawan dalam kesadaran tentang jiwa dan badan. Dalam kesadaran ’aku’, manusia lebih diketahui daripada malaikat ataupun hewan.

Roh atau Jiwa
Aku mengakui diri menurut suatu kompleksitas, tetapi dimensi-dimensi itu bukan menjadi keterpecahan, melainkan di dalamnya pengakuanku menjadi aktual dan formal (dengan tahu-menahu). Di dalam fenomena manapun aku tidak terpencar sedikitpun, bukan bersifat fragmentaris, melainkan memfokuskan dan mengeratkan dimensi-dimensi itu. Aku memberikan kesatuan, penstrukturan dan organisasi kepada keanekaan itu. Aku bukan kehilangan diri di dalamnya; dengan serentak aku tetap hadir pada diriku seluruhnya dan membuatnya menjadi wujudku sendiri. Aspek itu ialah gaya atau interioritas yang memberikan penyatuan kepada kesadaranku yang bersifat kompleks itu. Di dalam dan oleh kebatinan atau pemfokusan itu pengakuan menjadi spirit yang diresapi menjadi gaya. Oleh karena itu, sebenarnya spirit atau gaya itu dimaksudkan dengan sebutan ’roh’. Apalagi roh di dalam manusia disebut jiwa. Dan jiwa itu merupakan unsur spiritual di dalam manusia.

Materi atau Badan
Aku memiliki diri dan menyadari diri sebagai kesatuan. Kesatuan itu bukan satu titik saja, atau suatu keseragaman merata (uniformalitas-egalitas), melainkan merupakan suatu kompleksitas. Di dalam setiap fenomena aku menyadari diri memiliki dimensi-dimensi: di dalam semua relasi, di dalam segala bagian dan aspek, kalau berpiir dan berbicara, berkehendak dan bekerja, makan dan berdoa, cinta dan benci. Dimensi-dimensi itu memberikan kejelasan dan ketentuan kepada pengakuanku. Mereka membendung, mengatur, dan menyalurkannya; memberi bagian-bagian dan keluasan, batas-batas dan bentuk-bentuk yang tepat sehingga tidak kabur, melainkan dikenal dengan mudah. Kompleksitas itu menyediakan perwujudan kepada kesadaranku. Di dalam dan oleh kompleksitas atau dimensionalitas itu pengakuanku menjelma dan dimaterialisir. Maka dari itu, sebenarnya wujud-wujud atau dimensi-dimensi itu dimaksudkan dengan sebutan ’materi’. Apalgi materi di dalam manusia juga disebut badan; dan badan itu merupakan unsur jasmani (materil) pada manusia.

Kebersamaan Jiwa dan Badan
Kedua unsur itu, dipikirkan dan dipahami bersama-sama. Dimensi-dimensi manusia itu baru wujud yang tertentu dan unik ini sejauh diketatkan dan difokuskan, atau sejauh diresapi oleh gaya itu. Penyatuan di dalam manusia baru berupa gaya yang tertentu dan unik ini sejauh diwujudkan, disusun dan diberi bentuk, atau sejauh dicurahkan ke dalam kompleksitas itu. Penyatuan oleh gaya itu hanya dapat menjadi nayata (real) di dalam perwujudan dimensional. Perwujudan hanya dapat menjadi konkret di dalam penyatuan ketat oleh gaya itu. Mereka saling memberikan kekonkretan.

Di dalam manusia materi/badan ialah ekspresi dan konpleksitas pengakuan manusia; roh/ajiwa ialah intensi (keterarahan) dan interioritas (kebatinan) pengakuannya. Ekspresi atau kompleksitas itu menggayakan diri (menginteririsir diri) di dalam intensi; intensi atau interioritas itu mewujudkan diri di dalam ekspresi.

Kesatuan Jiwa dan Badan; Saling Memuat dalam Identitas yang Riel

Secara tradisional spiritualitas diungkapkan lepas dari materialitas. ’rohani’ itu diartikan bukan jasmani dan sebaliknya ’jasmani’ itu berarti bukan rohani. Pada pemahaman tradisional kedua aspek dikira saling berlawanan.

Di dalam refleksi mengenai manusia ditemukan fakta yang jauh berbeda dari anggapan tradisional. Di dalam ’aku’ yang satu ini ditemukan materi dan roh, atau badan dan jiwa, sebagai kesatuan substansial. Yang satu tidak diketahui atau dirumuskan tanpa yang lainnya. Tidak lepas-lepas sebagai objek yang berjarak diluar sana melainkan didapatkan sebagai materi-di-dalam-roh, atau badan-di-dalam-jiwa. Istilah-istilah ini tidak dimaksudkan sebagai tiga buah kata yang disambung, melainkan sebagai satu istilah utuh dan satu arti langsung. Kedua aspek itu ditemukan bersama-sama di dalam satu pengalaman, yang satu di dalam yang lainnya. Mereka saling diandaikan dan saling memuat. Yang satu termasuk yang lainnya secara intrinsik dan formal. Kalau diungkapkan sebagai materi atau badan secara menyeluruh dan adekuat, maka manusia sekaligus telah diungkapkan sebagai roh atau jiwa, sebaliknya juga. Manusia ialah roh-yang-memateri dan materi-yang-mengeRoh; juga badan-yang-menjiwa dan jiwa-yang-membadan. Materi/badan ialah roh/jiwa menurut wujudnya atau ekspresinya; roh/jiwa ialah materi/badan menurut gayanya atau intensinya. Masing-masing merupakan seluruh manusia dipandang dari dua sudut pandangan yang berlainan, dengan sekaligus mengandung aspek lainnya juga. Oleh sebab itu kurang tepat kalu badan disebut alat bagi jiwa atau tanda dan simbol dari jiwa. Juga kurang tepat disebut cermin jiwa. Penyatuan-penyatuan sedemikian masih bersifat berat sebelah; dimana badan belum termasuk ke dalam hakikat jiwa sendiri.

Sebab di dalam manusia ternyata materi dan roh, badan dan jiwa, saling memuat, maka mereka tidak dapat dengan real di bedakan atau didistingsikan menjadi dua bagian. Mereka merupakan dua aspek yang tidak dapat dilawankan satu sama lain; mereka bukan saling disangkal atau saling dieksklusikan. Mereka masing-masing merupakan seluruh manusia konkret dan utuh, namun diapandang dari sudut pandangan yang berbeda. Oleh karena itu, mereka menurut realitasnya identik. Manusia bukan ’terdiri dari’ badan dan jiwa. Ia buakn mempunyai roh atau jiwa, melainkan merupakan roh/jiwa seratus persen. Manusia bukan mempunyai materi atau badan, melainkan merupakan materi/badan seratus persen. Yang satu selalu telah memuat yang lainnya secara implisit dan real.

Hanya secara formal kedua aspek tidak disamakan dalam sebuah pengamatan dan sama manakala dirasakan dan dihayati. Spiritualitas atau kerohanian itu aspek lain daripada materialitas atau kejasmanian. Justeru sebagai aspek formal mereka berbeda; itu sebabnya bahwa dipakai dua buah konsep antara Jiwa dan Badan. Maka mereka berdistingsi logis (artinya; menurut konsepnya), setara dan melebur dalam satu keutuhan yakni ‘Aku’, yang memiliki jiwa dan badan sekaligus.


Posting Komentar untuk "Pandangan Tentang Jiwa dan Badan dalam Kesadaran Filosofis"