Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Historisitas Manusia Sebagai Struktur Manusia

Memahami Historisitas Manusia Sebagai Struktur ManusiaHistorisitas Manusia adalah struktur manusia dalam kemewaktuannya sebagai manusia yang menyejarah. Herakleitos, salah seorang filsuf Yunani Kuno berkata; “Pantarhei kei uden menei”, yang berarti segala sesuatunya mengalir. Tak ada sesuatu yang tetap, semuanya berubah berdasarkan kemewaktuannya. Kosmos berubah, manusiapun berubah. Kemudian Drijarkara salah seorang filsuf Indonesia mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya ‘berubah dalam’ tetapi juga ‘karena dirubah’ oleh situasi tertentu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah manusia.

Dunia manusia, bukan sekedar suatu dunia vital seperti pada hewan-hewan. Manusia tidak identik dengan sebuah organisme. Kehidupannya lebih dari sekedar peristiwa biologis semata. Berbeda dengan kehidupan hewan, manusia menghayati hidup ini sebagai “hidupku” dan “hidupmu”- sebagai tugas bagi sang aku dalam masyarakat tertentu pada kurun sejarah tertentu. Keunikan hidup manusia ini tercermin dalam keunikan setiap biografi dan sejarahnya. Dimensi kesejarahan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk historis, makhluk yang mampu menghayati hidup di masa lampau, masa kini, dan mampu membuat rencana-rencana kegiatan-kegiatan di masa yang akan datang. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang menyejarah.

Memahami Historisitas Manusia Sebagai Struktur Manusia_
image source: www.artfido.com

Dimensi Historisitas Manusia

Pembahasan mengenai historisitas manusia dalam refleksi filsafati dipahami sebagai gerak perubahan manusia dalam kemewaktuannya. Manusia senantiasa mewaktu, diantara dulu, kini dan masadepan, yang dulu tak pernah bisa diabaikan, sedang masa depan adalah harapan tinggallah kini kesadaran. Historisitas manusia tak bisa dilepaskan dalam kemewaktuannya. Kemewaktuan manusia yang bukan sekedar dipahami sebagai waktu-waktu bagi manusia, melainkan waktu itu adalah manusia itu sendiri.

Biar tidak terjadi bias, saya hendak memberikan pandangan tentang waktu sejauh kesadaran tentangnya. Apakah waktu itu? dia ada diluar sana atau di dalam sini? Tanyakanlah kepada orang apa itu waktu, maka seringkali orang menunjuk piranti-piranti pengukur waktu, seperti jam, arloji, kalender, penunjuk waktu pada hp yang selalu berarti kronometer. Kronometer ini tidak hanya mengukur waktu, melainkan juga mengontrol waktu sedemikian rupa sehingga semua orang yang mematuhinya akan menyatukan pengalaman sesuai dengan angka-angka yang ditunjukkan oleh kronometer itu. “O, pukul 19:30 malam jum’at kami akan bertemu dan kuliah bersama”. Apa artinya ini? Aku yang sebelumnya tak berjanji itu kini menghadapi berbagai kemungkinan yang menghadang di depan. Dengan itu kita mengorientasikan diri pada titik waktu tertentu, sehingga kemungkinan-kemungkinan dipersempit pada titik itu. Dengan cara ini bukan hanya kita mengontrol waktu, tetapi waktu juga mengontrol pengalaman kita dengan mengarahkan pengalaman itu kepada dirinya. “Akh, saya tak punya waktu hari itu” ucapan seperti ini seakan menunjukkan bahwa kita bisa memiliki waktu dihari-hari lain, tapi sesuangguhnya waktulah yang telah memiliki kita pada hari itu.

Manusia memang cenderung mengukur waktu, pun jika kronometer tidak ada yang lain dijadikan landasan untuk menunjukkan satuan waktu, misalnya dengan mengatakan “perjalanan kita ke kampus dari rumah selama 5-7 lagu di tape dec mobil kita”. Hal ini adalah upaya kita menangkap waktu dan berupaya juga menguasainya. Dengan cara-cara seperti diatas –waktu di dalam sini diobjektifkan menjadi waktu diluar sana. Waktu kita kontrol sekaligus mengontrol kita, tak heran kadang kita mengartikan waktu sebagai uang layaknya pepatah Inggris Time is money.

Terkadang tanpa kita sadari seringkali kita menganggap waktu sebagai sesuatu ada yang diluar sana, sehingganya kita kadang terlalu cepat mendefenisikan waktu dengan uang, sebagaimana time is money. Tapi juga kadang kita menyadari ada waktu-waktu psikologis yang khas milik kita sendiri, yang elastis bisa melorot dan mengencang. Kadang 2 jam menghabiskan waktu bersama pacar rasanya seperti hanya 2 menit saja, sebaliknya 2 menit diatas oven rasanya seperti 2 jam bahkan lebih, atau 2 jam menunggu serasa sudah berkarat layaknya 2 tahun lamanya. Waktu di dalam sini menjadi relatif bagi manusia dan waktu kemudian menjadi sesuatu yang berarti juga ”durasi” tentang lamanya waktu.

Bagi seorang fisikawan durasi juga bisa diukur secara objektif, sehingga seolah berada diluar sana. Satu detik lamanya setara dengan 9.192.631.770 getaran cahaya dalam transisi antara dua taraf energi isotop Cesium 133. Presisi satuan durasi ini sangat mengesankan. Waktu dibayangkan sebagai segmen-segmen yang bisa dibelah-belah, yang satu terjadi setelah yang lain dalam satu rentetan. Itulah durasi yang terbagi-bagi menjadi yang lalu, yang kini dan yang nanti. Tapi jika dicermati akan tampak bahwa detik objektif itu merupakan objektifikasi durasi yang sesungguhnya, yaitu durasi didalam sini atau ’jam hati’.

Bagaimana jam hati berdetak? Detak jam hati bukan detik, maka tak tetap, bisa melar atau menciut. Seorang guru Zen dapat melatih kemampuan mencandra kekinian dan kedisinian secara penuh, sehingga waktu terasa berhenti. Konon dengan cara itu Ia mencicipi keabadian atau rasa niskala. Gerak dalam seni bela diri cina adalah contoh lain perlambatan waktu yang tak lain daripada konsentrasi terhadap gerak lawan, sehingga serangan-serangan yang dilancarakan seolah dicermati di bawah mikroskop waktu. Kejemuan juga fenomena dari perlambatan waktu. Namun berbeda dari pengalam zen yang seolah keluar dari waktu, dalam kebosanan perlambatan waktu tak terkontrol, seolah kita tenggelam dalam durasi yang melar. Rasa putus asa lebih intensif lagi merentang waktu sepanjang-panjangnya sementara jam objektif berjalan normal. Kegetiran seolah berhenti dititik kini yang tak bergerak lagi, dan keputusasaan meyakinkan bahwa masa depan tak ada. Membawa Ibu yang sekarat kerumah sakit misalnya, bisa sangat lama. Lain halnya dengan kegembiraan dalam pesta yang bisa menyingkat waktu.

Waktu pada kemewaktuan manusia dalam historisitas manusia dalam pembahasan kita kali ini, bukan sekedar waktu diluar sana juga di dalam sini. Waktu diluar sana yang objektif dan mengobjektifikasi kita, atau waktu psikis yang baru saja dibahas diatas, melainkan menyangkut struktur-struktur ”Ada” manusia yang bersifat eksistensial. Oleh sebab itu waktu pada kajian kemewaktuan manusia dalam historisitas manusia merupakan temporalitas, ”Ada” manusia yang mewaktu.

Temporalitas Kemewaktuan Manusia

Temporalitas disini bukan dimaknai sebagai waktu diluar sana maupun di dalam sini. Temporalitas ini juga bukan pula serangkaian sekuensi titik-titik waktu yang dapat dibelah dan dilihat dalam waktu mikroskopik sebagaimana dalam fisika. Akan tetapi temporalitas kemewaktuan manusia adalah waktu eksistensial yang menyingkapkan ”Ada” manusia membuka diri. Temporalitas manusia adalah sebuah kemungkinan manusia sendiri, yang berubah tak bisa kembali dalam kesadaran saat ini juga. Temporalitas kemewaktuan manusia juga menyingkap historisitas manusia yang berkembang dan menyejarah. Historisitas manusia kemudian menunjukkan bahwa manusia menyejarah, mengalir dalam sebuah perubahan baik berkembang maupun merosot. Sulit untuk memahami manusia sebagai sesuatu yang lepas dari waktunya, manusia selalu dipahami sebagai sesuatu yang mewaktu, dalam horizon temporalitas ”ada” membuka diri. Kunci dalam memahami manusia yang mewaktu terletak pada perubahan, karena manusia itu adalah perubahan.

Ada berbagai refleksi metafisis (pemikiran filsafat) atas historisitas manusia dalam mencandra waktu sebagai suatu perubahan gerak yang intrinsik terarah pada manusia yang mewaktu, 2 (dua) diantaranya yakni;

Pertama, ’Cyclycal’ yang merupakan gaya berpikir mistis. Pada dasarnya menurut pola cyclical ini, setiap manusia mengalami perkembangan yang pada pokoknya sama, dengan peristiwa-peristiwa yang sama juga. Anggapannya bahwa hidup manusia hanya merupakan suatu siklus; baik itu dari Ide-ide seperti Plato, atau dari ALLAH (kitab suci), melalui hidup fana kembali kepada asal-usulnya yang baka lagi. Atau hidupnya lebih dari satu siklus; lahir kembali karena karma.

Kedua, Pemuncakan linier yang berhaluan lurus yang mungkin di dalamnya juga ada aspek ’cyclical’ berbentuk spiral yang memuncak. Determinis yang berarti menentukan secara optimis bahwa semua perkembangan terjadi di dalam satu keseluruhan yang telah ditentukan, sebagaimana yang digambarkan Hegel dan Marx dalam sejarah. Disamping itu ada juga deterministis yang tanpa akhir yang jelas, sebagaimana biologis naturalis. Perkembangan manusia berlaku seperti di dalam setiap organisme yang hidup, menurut hukum-hukum tetap, sebagaimana yang dikatakan Freud bapak psikoanalisa bahwa manusia berkembang melalui garis-garis proses biologis-psikis karena ia ditentukan oleh dorongan nafsu-nafsu. Pengolahan dan penghayatan dorongan-dorongan itu di dalam konfrontasi dengan situasi-situasi konkret menentukan juga perkembangan selanjutnya, seimbang atau tidak (’trauma’ yang menyebabkan penyakit psikis).

Selain perkembangan yang bersifat determinis pada pemuncakan linear juga ada perkembangan yang evolutif sebagaimana yang ditunjukkan dalam spirit humanisme baru zaman renaissance. Manusia berkembang ke arah kepenuhan human, penuh kreativitas dan tanggungjawab pribadi. Motor kemajuan itu ialah ratio yang bersifat universal abstraktif. Sebagaimana juga refleksi Teilhard de Chardin melihat perkembangan manusia. Manusia melangsungkan di dalam dirinya sendiri dinamika kreatif yang telah menghasilkan semua makhluk bertaraf-taraf sampai dengan taraf manusia sendiri. Dia menyimpan di dalam dirinya seluruh prasejarahnya, dan memperkembangkan diri secara baru.

Bentuk Gerak Sejarah Manusia

Dalam ciri dasar manusia yang ada-di-dalam-dunia-bersama manusia selalu mengembangkan sosialitas dalam kehidupannya, yang perkembangannya menjadi gerak sejarah kehidupan bersama yang juga ditandai oleh kemewaktuan manusia yang larut dengan yang-lain. Ada beberapa teori dalam refleksi filsafati yang dikemukakan oleh para filosof berkenaan dengan gerak sejarah, yaitu:
  • Teori Siklus. Teori Siklus berpendapat bahwa sejarah itu bergerak melingkar. Setiap peristiwa historis manusia akan selalu berulang kembali.
  • Teori Linier. Teori Linier berasal dari pemikiran antroposentris tentang sejarah, bahwa segala peristiwa di dunia dipandang sebagai berpusat pada manusia. Awal dari akhir peristiwa historis dihubungkan oleh suatu rentetan peristiwa yang einmalig. Sejarah digambarkan sebagai proses perkembangan dari kurang sempurna menuju kesempurnaan sebagai garis lurus. 
  • Teori Spiral-Dialektik. Teori spiral dapat dikatakan sebagai perpaduan antara teori siklus dan linier. Bahwa sejarah itu memang berulang terus, tapi perulangan itu dalam lingkaran spiral yang meningkat dan menaik ke arah kemajuan dan kesempurnaan. Sejarah dipandang sebagai garis lurus menuju progres dan proyeksi dialektika dari tesis-antitesis-sintesis, mengalami perulangan dimana sisntesis menjadi tesis baru.
  • Teori Einmalig. Teori ini beranggapan bahwa Sejarah itu berjalan sekali saja. Apa yang terjadi dimasa lampau tidak akan terulang lagi, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

Analisis 3 Unsur Struktural Temporalitas Kemewaktuan Manusia

Sekarang
“aku” menyadari diri dalam korelasi dengan yang lain. Kesadaran itu selalu bersifat ”sekarang”, aktual, disini dan kini. Di luar ’sekarang’ ini tidak ada yang mempunyai realitas. Aku selalu hidup dalam kekinian (sekarang).’sekarang’ ini tidak memiliki ketebalan; tidak dapat diparoh. Seakan-akan Cuma merupakan batas atau garis belaka antara ’yang sudah lalu’ dan ’yang belum hadir’. ’sekarang’ ini layaknya menyetimbangkan diri diatas mata pisau.

Walaupun demikian tipis, toh ’sekarang’ ini tidaklah kosong. Muatannya adalah ’aku’ sejauh berada dan menyadari adaku-bersama ’yang-lain’ sebagaimana kajian yang telah lalu. ’sekarangku’ sangat tertentu; dan bukan dimaksudkan saatnya, melainkan arti dan nilai ’ada’ yang dikandungnya. ’sekarang’ bukan umum, melainkan sangat pribadi; ’sekarang’ku bersama dengan ’sekarang yang-lain’: aku yang merasa enak, yang sedang membaca, mempunyai tugas, dicintai orang, menulis dll.

Masa Lampau
Aku mengalami sekarangku sebagai suatu faktisitas (kejatuhan yang terberi; menerima situasi dan kondisi psikis tertentu sebagaimana terdampar). Aku tertimpa olehnya. Namun ia tidak tergantung diudara; mempunyai asal-usul. Saya hadapi sebagai warisan yang tidak dapat ditolak. Semua aspek konkret di dalam diriku, semua fenomenku, saya terima sebagai hasil dan sempadan (pra)sejarah yang panjang. Misalnya, alat-alat yang saya pergunakan, komputer, buku, palu, dengan artinya, nilainya dan cara pemakaiannya. Bahasa yang menjadi alat komunikasi bagi-ku. Pengetahuanku dan caraku menyambut orang-orang dan situasi-situasi konkret. Seluruh peradaban dan kebudayaanku. Semua saya terima sebagai susuatu yang ’sudah’- sebagai hasil kegiatanku sendiri dan pergaulan dengan yang lain, orang dan dunia infrahuman. Seluruh sejarahku meruncing dan bermuara pada ’sekarang’ku; baik-buruknya, mutiara dan sampah, semua bertumpuk di dalam ’sekarang’ku. ’Sekarang’ku merupakan puncak dan kristalisasi seluruh ’masa lampau’ku.

Pemahaman diatas juga termuat dalam pengertian lazim mengenai sejarah. ’sekarang’ku ini dirasa seakan-akan dilemparkan kedalam sekarang. Mengenai ’sekarang’nya orang tidak dapat memilih lagi. Aku tidak pernah mulai dari sesuatu yang berpangkal dari titik nol. Saya menghadapi sesuatu sebagai sesuatu yang ’sudah’ tak terelakkan. Bahkan, kecuali itu tidak ada apa-apa yang lain. Saya terbebani oleh hasil masa lampau ini. Pertanyaanku sudah dijawab, proyeksiku sudah berjalan dan terwujud. Aku sudah ’Aku’.

Masa depan
Keterlemparan tadi bukan nasib buta, atau arah yang fatal. Aku tidak terpenjara di dalam situasiku yang untung-malang itu. ’Sekarang’ku saya alami sebagai suatu keterbukaan. Walaupun saya sudah menyadari diriku-bersama-dengan-yang-lain sebagai otonomi-di-dalam-korelasi yang tertentu, masih ada banyak yang kabur dan belum jelas pula. Timbul pertanyaan-pertanyaan, ide-ide baru, rencana dan proyek, berhubungan dengan otonomiku dan korelasiku. Aku belum fix, yang berarti dalam proses kebeluman terus-menerus. Aku terbuka kepada otonomi dan pemahaman yang mengatasi ’sekarang’. Aku terdorong agar mencapai korelasi dan kesatuan dengan yang-lain yang lebih erat.

Masa depan saya alami sebagai suatu janji, suatu ’belum’ yang mengundang saya. Mau tidak mau saya merasa diri tertarik dan terhisap oleh yang ’belum’ itu; tidak mampu menahan atau membela diri.

Setiap jawaban sekarang yang saya sadari menimbulkan pertanyaan dan harapan baru. Aku seakan-akan sudah mengatasi pengertianku dan pengalamanku di dalam pertanyaan baru; aku sekan-akan telah melewati pengertian sekarang. Seluruh ’sekarang’ diresapi dengan ’belum’ yang mengundang saya. Demikian ’ada’ku saya alami sebagai proyeksi masa depan.

’sekarang’ku sekaligus memuat suatu rencana, suatu proyek (kata latin ”projicere” berarti melemparkan kedepan). Saya menyusun ramalan untuk masa depan. Misalnya, barang-benda yang saya pakai sekarang sekaligus menunjuk kedepan. Aku terus menerus memakainya secara baru; bentuknya atau ciri-cirinya membukakan kemungkinan baru. Bahasaku sekarang menunjukkan pertemuan-pertemuan baru. Aku sendiri dan hubungan dengan orang lain mengandung janji baru. Pelajaran sejarah menimbulkan pertanyaan; kemana sekarang? Bagaimana akibatnya kemudian? Aku mau mengantisipasikan masa depan.

Demikian seluruh ”Ada”ku berupa ”eksistensi” dan ”transendensi” menurut arti baru. Aku keluar dari ”sekarang” (dari”imanensi”) menuju masa depan; aku tidak tertutup didalam yang telah tercapai. Aku mengatasi situasiku dan menghadapi yang baru.

Hubungan Antara Ketiga Unsur Struktural Temporalitas Kemewaktuan Manusia

Unsur ’sudah’ dan ’belum’ ditemukan sekaligus di dalam ’sekarang’. Manusia pada saat yang sama (’sekarang’) terberi atau terperangkap (masa lampau) sekaligus dipanggil untuk proyeksi (masa depan). Manusia sekaligus situasi dan nubuat, jawaban dan pertanyaan, penyelesaian dan proyek, titik-akhir dan titik-pangkal. Aku seluruhnya telah ’memanusia’, dan sekaligus belum ’memanusia’ pula. Dan kedua aspek itu tidak berlaku berparuh, melainkan jatuh bersama di dalam ’sekarang’. Aku sekarang seluruhnya mewujudkan hasil dan janji, fakta dan harapan. Seratus persen aku menutup dan mengumpulkan masa lampau dan sekaligus seratus persen pula aku terbuka dan menantikan masa depan.

Yang ’sudah’, sejauh berarti dan berada, seluruhnya termuat di dalam ’sekarang’. Diluar ’sekarang’ ini masa lampau tidak ada lagi. ’sekarang’ku tak lain hanya berwujud kulminasi masa lampauku. Jadi, masa lampauku bukan ekor yang membuntuti saya. Masa lampau tidak berada an-sich (jelas dengan sendirinya); bukan merupakan sesuatu yang ’ada’ murni, melainkan hanya berada di dalam dan menurut pengartiannya ’sekarang’. Aku-sekarang tidak mempunyai masa lampau, melainkan ’aku’ adalah masa lampau itu sendiri.

Masa depan juga bukan melayang-layang diudara; bukan pula suatu kekosongan yang masih perlu diisi. Hanya menjadi nyata bagi saya sejauh berlandaskan ’sekarang’ dan merupakan janji yang termuat di dalam ’sekarang’, masa depan lain dari itu tidak ada. Setiap pertanyaan dan problem yang disadari menampakkan pemahaman akan yang ditanyakan. Proyeksi mana saja mengenai diri –dalam-hubungan-dengan-yang-lain sudah termuat di dalam ’sekarang’, sebagai benih dan yang tidak termuat itu bukan masa depanku. Tidak akan terjadi yang serba baru. Ke’belum’anku ialah seluruh substansiku (yang telah terbentuk dan tertentu, sebagai hasil seluruh masa lampau) sejauh bertegangan ke arah realisasi lebih lanjut –sejauh masih ditengah-tengah jalan kepada diri-dan-yang-lain, atau sejauh belum memiliki diri dan harapan. Aku bukan memiliki masa depan saja, melainkan adalah masa depanku sendiri.

Sebab masa lampau dan masa depan bersatu di dalam sekarang, maka mereka saling menentukan satu sama lain. Masa lampau mengarahkan proyeksi dan memberikan rel kepada masa depan. Sebaliknya, masa depan sebagai kesadaranku tentang proyeksi itu menilai, membuka, dan mendinamisir masa lampau sebagai hasil sekarang. Tidak ada yang mendahului; mereka tidak terpikir lepas, yang ’belum’ itu hanya ditemukan ditengah-tengah yang ’sudah’, dan berdasarkannya; dikandung dan diresapi oleh yang ’sudah’ itu. Tidak dapat bertanya tentang yang ’belum’, tanpa yang ’sudah’ tahu juga. Selalu baru timbul proyeksi sejauh aku ’sudah’. Sebaliknya yang ’sudah’ hanya merupakan tercapainya ’aku’, berkat ’belum’ itu; dirasuki, dipompa dan diarahkan oleh ’belum’ itu baru sungguh-sungguh saya sadari. Kedua unsur itu baik masa lampau yang ’sudah’ maupun masa depan yang ’belum’ merupakan satu kesadaran akan ’aku’ yang satu ini, tidak dapat didistingsi secara real.

Dari kedua kutub itu baik masa lampau maupun masa depan tidak ada yang lebih luas atau lebih padat. Kedua-duanya sama luasnya dengan ’sekarang’. Masa lampau, sekarang dan masa depan tidak boleh dipikirkan sebagai suatu garis atau jarak geometris. Jikalau membandingkan masa lampau dan masa depan, tidak boleh dipikirkan panjangnya waktu; sebab mereka bukan jangka waktu melainkan melulu isi atau muatan. Juga gambaran yang meliputi dua bidang, yang satu lebih sempit, yang lain lebih luas, itu pasti keliru. Jikalau sekarang ini saya diminta menunjuk masa lampauku dan masa depanku dengan jari, tidak saya tunjuk kebelakang ataupun kedepan. Masa lampauku hanya saya pahami sejauh mengendap di dalam ’sekarang’ku; dan masa depanku tidak lain daripada ’sekarang’ku sejauh memuat janji dan proyeksi. Mereka sama luasnya dan sama padatnya; mereka koekstensif; sama dengan ’sekarang’ku hanya dipandang dari dua sudut yang berbeda. Kalau masa lampauku kecil, juga proyeksiku kecil; kalau masa lampau besar, janji dan proyeksi juga besar. ’Aku’ sendiri sekarang sekaligus sama dengan masa lampauku dan masa depanku.

Analisis ketiga unsur struktural kemewaktuan tidak hanya statis sebagaimana diatas, akan tetapi juga dinamis. ’sekarang’ku bukan mempertahankan diri pada suatu garis ’status quo’. Aku juga menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menjalankan proyeksi-proyeksi, ’aku’ maju dan berkembang.

Kesimpulan

Temporalitas kemewaktuan manusia menunjukkan bahwa tidak ada pemisahan antara ’aku’ dan ’waktu’. Manusia menyejarah, berkembang terus menerus, mengalir dalam kondisi yang sama dan baru antara masa lalu dan masa depan. Tidak pernah ada kekosongan atau kesepian belaka. Manusia mengalir bukan sebagaimana air yang mengalir tanpa identitas, melainkan tetap tanpa kehilangan diri. Temporalitas mengalir mendorong perubahan-ku ke puncak tanpa bisa merosot dan mengulang kembali. ’Aku’ tidak bisa menjinakkan atau mengatasi ’waktu’, itu menunjukkan bahwa ’Aku’ sekaligus adalah ’waktu’ itu sendiri.


Posting Komentar untuk "Memahami Historisitas Manusia Sebagai Struktur Manusia"