Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prosedur Meningkatkan Perilaku dan Menghilangkan Perilaku 2

Prosedur Meningkatkan Perilaku dan Menghilangkan Perilaku 2 - Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya yang sudah dibahas disini.

Disini ini akan didiskusikan tentang meningkatkan perilaku yang diinginkan dan menurunkan/menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Melalui artikel ini diharapkan mampu memahami dan menjelaskan tentang prosedur meningkatkan perilaku yang diinginkan dan menurunkan/menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan.

Differential Reinforcement

image source: blog.difflearn.com
baca juga: Prosedur Meningkatkan Perilaku dan Menghilangkan Perilaku

Reinforcment yang berbeda untuk perilaku alternative (Differential Reinforcement of Alternatif Behavior- DRA)
  1. Definisi DRA: memberikan reinforcement pada perilaku yang diinginkan dan melakukan ekstingsi pada perilaku yang tidak diinginkan.
Contoh:

  1. Kapan harus menggunakan DRA
Untuk menggunakan prosedur ini perilaku yang diharapkan harus terjadi meskipun tidak sering. Jika perilaku yang diharapkan tidak terjadi, maka DRA bukanlah prosedur yang tepat. Meskipun begitu, prosedur seperti shaping ataupun prompting bisa digunakan untuk mempertahankan perilaku yang diinginkan. Sehingga, terapis/psikolog harus bisa mengidentifikasikan reinforce yang akan digunakan setiap perilaku yang diinginkan terjadi.Jika terapis/piskolog tidak mengetahui atau tidak memiliki control terhadap reinforce maka DRA tidak bisa dilakukan.

  1. Bagaimana menggunakan DRA
  • Definisi yang jelas tentang perilaku yang diharapkan yang kamu ingin tingkatkan dengan penggunaan DRA.
  • Definisi yang jelas tentang perlaku yang tidak diharapkan yang kamu ingin turunkan dengan penggunaan DRA
  • Identifikasikan reinforce. Kamu harus memetakan reinforce yang akan kamu gunakan karena antara satu orang dengan orang lain, reinforcernya bisa berbeda. Cara untuk mengidentifikasikan reinforcer adalah:
  1. Menggunakan reinforcer yang mempertahankan perilaku yang tidak diinginkan. Contoh: Mrs. Williams, bahwa perhatian adalah reinforcement pada perilaku yang tidak diinginkan dalam hal ini
  2. Melakukan observasi dan mencatat kegiatan atau hal-hal yang menarik bagi individu yang ingin kita ubah perilakunya. Contoh: bermain game, shoping dll.
  3. Bertanya langsung kepada orang yang bersangkutan.
  4. Mencoba berbagai memberikan berbagai macam stimulus dan melihat stimulus yang manakah yang berfungsi sebagai reinforcer atau yang disebut Preference Assessment:
  • Single stimulus assessment: setiap reinforcer yang potensial dihadirkan satu persatu secara bergantian dan melihat apakah individu tersebut mendekati stimulus yang diberikan atau tidak, jika individu mendekati stimulus hal tersebut mengindikasikan bahwa stimulus yang dihadirkan memiliki fungsi sebagai
  • Paired stimulus assessment: dua stimulus dihadirkan dalam waktu yang bersamaan, stimulus mana yang dipilih mengindikasikan bahwa stimulus tersebut berfungsi sebagi
  • Multiple stimulus assessment: lebih dari dua stimulus dihadirkan dalam waktu yang besamaan kemudian terapis/psikolog mencatat stimulus mana yang didekati oleh subjek, hal tersebut mengindikasikan bahwa stimulus yang dihadirkan memiliki fungsi sebagai Kemudian stimulus pertama dipindahkan, begitu seterusnya. Stimulus yang dipilih pertama sekali memiliki pengaruh yang cukup kuat dibandingkan stimulus yang dipilih terakhir sekali. Metode assment ini disebut juga prosedur multiple stimulus without replacement (MSWO).
  1. Menghadirkan reinforce potensial ketika perilaku muncul secara berkesinambungan (kontingensi) setelah perilaku yang diharapkan muncul, dan perilkau yang diinginkan tersebut meningkat intensitasnya, durasi dan frekuensinya. Proses ini disebut sebagai reinforcer assessment.

  • Reinforcer perilaku yang diharapkan secara langsung dan konsisten
Jika reinforcement ditunda amka DRA kurang begitu efektif. Kamu harus memperkuat perilaku yang kamu harapkan muncul setiap kali perilaku tersebut muncul. Karena hal tersebut memungkinkan perilaku yang diinginkan bertahan.
  • Eliminasi reinforcement ketika perilaku yang tidak diinginakn muncul.
Jika reinforcer untuk perilaku yang tidak diinginkan tidak dapat dihilangkan secara total, maka yang paling tidak meminimalisasi perbedaan dari reinforcer pada perilaku yang diinginkan dan perilaku yang tidak diinginkan.
  • Gunakan intermittent reinforcement untuk mempertahankan perilaku yang diinginkan.
Continuous reinforcement hanya digunakan pada langkah awal DRA. Jika perilaku yang diharapkan sudah mulai terbentuk maka gunakanlah intermittent reinforcement  (pemberian reinforcer dengan memperhatikan selang waktu) sehingga periaku yang baru terbentuk lebih tahan lama.
  • Generalisasi program yang sudah dijalankan.
Tingkah laku yang menjadi target untuk dilakukan perubahan harus di reinforcer disegala kesempatan dan situasi sehingga mungkin untuk perilaku tersebut diaplikasikan/ muncul dalam berbagai setting keadaan.

  1. Menggunakan Differential Negative Reinforcement of Alternative Behaviors (DNRA)

Untuk memodifikasi perilaku Jason maka dilakukan assessment, langkah yang bisa dilakukan oleh psikolog atau tarapis adalah:
  • Mendefinisikan perilaku yang diinginkan dan tidak diinginkan. Contoh: perilaku yang diinginkan adalah mengerjakan tugasnya (perilaku yang diinginkan), membanting meja (perilaku yang tidak diinginkan).
  • Mengidentifikasikan reinforcer dari perilaku yang diinginkan (Contoh: boleh tidak mengerjakan tugas, meskipun hal tersebut adalah reinforce untuk perilaku yang tidak diinginkan namun hal tersebut tetap dipakai karena memiliki reinforcer).
  • Mengabaikan perilaku yang tidak diinginak (tidak membiarkannya lari dari tugas ketika ia harus mengerjakan tugasnya), dan ketika ia mengerjakan tugasnya maka diberikan reinforcement.
  • Intermittent Reinforcement untuk mengeneralisasikan perilaku yang baru dipelajari.

  1. Variasi dari DRA
  • Differential Reinforcement of an Incompatible Behavior (DRI): perilaku alternative yang tidak compatible dengan perilaku yang bermasalah, yang tidak bisa terjadi dalam waktu bersamaan. Contoh: anak yang suka menyakiti diri sendiri dengan memukul kepalanya, maka bermain dengan mainan atau kegiatan yang menggunakan tangan untuk memanipulasi objek adalah perilaku yang incompatible yang bisa digunakan sebagai pengganti perilaku menyakiti diri sendiri pada prosedur DRI.
  • Differential Reinforcement of Communication (DRC): orang yang memiliki perilaku bermasalah belajar untuk mengkomunikasikan respon perilaku yang bermasalah. Contoh: individu yang memiliki perilaku bermasalah dan untuk mengkomunikasikan nya dengna cara: “Bagaimana menurut kamu apa yang saya lakukan?”

  1. Riset dari DRA
  • Riset Leitenberg, Burchard, Burchard, Fuller, dan Lysaght (1977) menggunakan prosedur DRA untuk mengurangi konflik antar saudara.
  • Allen dan Stokes (1987) menggunakan prosedur DRA untuk meningkatkan perilaku bekerjasama pada anak yang datang ke dokter gigi.
  • Car dan Durand melakukan prosedur Functional Communication Training, untuk membantu anak-anak dengan gangguan perkembangan di sebuah kelas. Setiap kali perilaku anak tersebut di reinforcer  oleh perhatian gurunya, maka anak tersebut diajarkan cara untuk meminta perhatian sebagai respon alternative. Si anak berkata: “bagaimana hasil pekerjaan saya?” lalu guru merespon dengan perhatian.
  • Penggunaan Premarck Principle pada prosedur DRA untuk meningkatkan perilaku bekerja pada Orang dengan Gangguan Skizofrenia (ODS). ODS diberikan reinforcer  yang berbeda sesuai dengan performa kerjanya dengan cara menginzinkan ODS untuk tidak melakukan sesuat untuk beberapa saat. Jika ODS tidak menyelesaikan pekerjaannya maka mereka tidak diizinkan untuk duduk dan tidak melakukan sesuatu. Hasil menunjukkan bahwa perilaku bekerja pada ODS meningkat.



Reinforcement yang berbeda untuk perilaku lainnya (Differential Reinforcement of Other Behavior- DRO)
  1. Definisi DRO: memberikan reinforcement ketika perilaku yang tidak diinginkan tidak muncul.

  1. Bagaimana menggunakan DRO
  • Identifikasi reinforcer dari perilaku yang bermasalah. Pada prosedur ini maka psikolog atau terapis harus menghilangkan reinforce dari perilaku yang bermasalah untuk melakukan prosedur DRO secara sukses.
  • Identifikasi penggunaan reinforcer pada prosedur DRO. Logikanya adalah jika event tertentu memiliki kekuatan (nilai reinforcer) untuk perilaku yang bermasalah maka hal tersebut bisa digunakan untuk membentuk perilaku yang baru dengan nilai reinforcement yang sama pada prosedur DRO.
  • Pilih Initial DRO Time Interval. Dalam penggunaan prosedur DRO ini melibatkan interval waktu dalam pemberian reinforcer, dimana panjangnya interval waktu harus terkait dengan baseline rate dari perilaku yang bermasalah: jika perilaku bermasalah tersebut sering terjadi maka interval DRO akan pendek. Jika perilaku bermasalah jarang terjadi, maka interval DRO lebih panjang. Contoh: biasanya perilaku memukul diri sendiri pada anak A terjadi setiap 5 menit sekali, maka waktu interval yang disetting dalam prosedur DRO bukan 10 menit akan tetapi kurang dari 5 menit sehingga kemungkinan gagal pada anak A sangat kecil, setelah perilaku yang diharapkan muncul maka interval waktu akan diperpanjang.
  • Eliminasi reinforcer pada perilaku yang bermasalah dan berikan reinforcer ketika perilaku yang bermasalah tidak muncul.
  • Mengulang kembali penghitungan waktu ketika perilaku yang bermasalah muncul. Contoh: kalau dalam 5 menit anak tidak menyakiti dirinya sendiri maka akan mendapatkan reinforcer namun kalau kurang dari itu maka waktu interval yang sudah disetting harus diulang lagi tanpa pemberian
  • Secara bertahap tambahkan interval waktu yang semakin panjang lebih dari sebelumnya.

  1. Riset untuk mengevaluasi DRO
Cowder, Iwata, dan Pace (1990) membantu Jerry, 9 tahun, yang terlibat dalam perilaku self-injurious behavior (SIB) dengan menggaruk ataupun menarik-narik kulitnya sampai terluka. Jerry tidak menderita gangguan perkembangan intelektual, tapi ia tidak pernah bersekolah, kondisinya sangat parah sehingga ia harus tinggal di rumah sakit dibawah pengawasan. Dari hasil assessment tidak ditemukan adanya social reinforcement pada perilaku tersebut. Maka peneliti mengimplementasikan prosedur DRO dengan menggunakan token. Token diberikan setiap kali Jerry tidak melakukan tindakan SIB dan bisa menukarnya dengan kegiatan yang menyenangkan seperti menonton tv, main game.  Kemudian peneliti menempatkan Jerry di dalam ruangan One-Way Mirror. Jika dalam 2 menit ia tidak menggaruk badannya, maka ekperimenter datang keruangan, melihatnya sesaat untuk mengecek ada atau tidaknya Jerry menggaruk badannya, jika tidak ditemukan maka Jerry mendapatkan token karena tidak menggaruk. Namun jika Jerry menggaruk badannya dalam waktu 2 menit, maka eksperimenter masuk ke dlaam ruangan, menunjuk ke arah bagian yang digaruk oleh Jerry, dan mengatakan bahwa Jerry tidak dapat memiliki token. Namun begitu eksperimenter menyemangatinya untuk mencoba lagi. Ketika Jerry berhasil menahan diri dari menggaruk badannya, maka interval waktu di tambah menjadi 4 menit. Dan akhirnya bisa mencapai 15 menit. Program in mengurangi perilaku menggaruk badan sendiri yang dilakukan oleh Jerry, hal ini dikarenakan reinforcement yang diperoleh Gerry dengan cara menggaruk badannya sendiri.
Interval waktu dibagi menjadi dua, yaitu:
  • Whole- interval DRO: perilaku yang bermasalah tidak hadir selama interval waktu yang sudah ditetapkan, kemudian reinforcer diberikan
  • Momentary DRO: perilaku yang bermasalah tidak hadir di akhir interval waktu yang sudah ditetapkan kemudian reinforcer diberikan

Differential Reinforcement of Low Rates of Responding
  1. Definisi DRL: memberikan reinforcement ketika perilaku yang tidak diinginkan rate/frekuensinya menurun.
  2. Variasi dari DRL
  • Full-session DRL: reinforcement yang diberikan lebih sedikit dari jumlah respon yang terjadi dalam satu periode waktu. Contoh: siswa yang diminta angkat tangan tidak lebih dari 3 kali dalam satu hari waktu belajar maka akan mendapatkan reinforcer jika berhasil melakukannya.
  • Spaced- Responding DRL: respon terjadi setelah interval waktu tertentu, kemudian diberikan reinforcer.

  1. Bagaimana DRO dan space-responding DRL secara berbeda
DRO : reinforcer disampaikan ketika perilaku yang tidak diinginkan tidak muncul
DRL : reinforcer disampaikan ketika perilaku yang dinginkan muncul, akan tetapi frekuensinya ingin dikurangi.

  1. Implementasi prosedur DRL
  • Jelaskan prosedur implementasi DRL sehingga ia tahu kriteria untuk mendapatkan Jika menggunakan Full-session DRL maka harus diberitahukan kepada klien respon maksimum yang diharapkan dalam satu periode waktu. Apabila menggunakan Spaced-responding DRL, kamu harus mengatakan kepada klien berapa lama kamu mengharapkan perilaku itu muncul dalam satu interval waktu.
  • Berikan feedbackpada performanya ketika mengimplemntasikan DRL, seperti: track record yang sudah dicapainya.

  1. Riset untuk mengevaluasi prosedur DRL
  • Deitz dan Repp menggunakan full-session DRL untuk membantu mengurangi perilaku yang terlalu aktif pada siswa SD dengan keterbatasan intelektual.
  • Singh, Dawson dan Manning (1981) melakuka eksperimen dengan menggunakan spaced-responding DRL untuk mengurangi perilaku yang stereotypic (perilaku berulang yang tidak memiliki manfaat untuk sosialisasi) pada orang yang memiliki keterbaasan intelektual. Menggunakan pujian sebagai bentuk reinforcer, peneliti memberikan pujian setiap kali subjek tidak menunjukkan perilkau stereotypic dalam waktu 12 detik. Setelah mampu dilakukan maka waktupun diperpanjang menjadi 30 detik, 60 detik, 180 detik. Hasil menunjukkan perilaku stereotypic

Menggunakan Punishment dan Respon Cost

Time out
  1. Definisi Time-out
Time out merupakan bentuk negatif reinforcement dimana seseorang bisa kehilangan akses ke hal-hal yang menjadi sumber reinforcement.
  1. Tipe-tipe Time-out
  • Non-exclusionary time-out : seseorang kehilangan akses ke hal-hal yang menjadi sumber reinforcement tapi tetap berada di lingkungan dimana perilaku bermasalah itu terjadi.
  • Exlusionary time-out: seseorang kehilangan kases ke hal-hal yang menjadi sumber reinforcement namun orang tersebut tidak berada di lingkungan dimana perilaku bermasalah itu terjadil
  1. Menggunakan Reinforcement dengan Time-out: penggunaan Time-out harus disertai oleh DRA dan DRO.
  2. Pertimbangan menggunakan Time-out
  • Apa fungsi dari perilaku yang bermasalah? Time-out digunakan untuk perilaku yang sebelumnya mendapat penguatan positif dalam bentuk social ataupun benda. Dalam melakukan Time-out maka time-in (lingkungan dimana perilaku bermasalah terjadi) harus memiliki kegiatan yang mengandung penguatan positif, namun lingkungan Time-out kurang mengandung penguatan sehingga kurang menarik jika dibandingkan dengan lingkungan time-in.
  • Is Time-out bersifat praktis dalam situasi yang ada. Harus bersifat kondusif dan ruangan atau area yang digunakan untuk Time-out.
  • Apakah Time-out dilakukan untuk waktu yang pendek? Durasi Time-out sekitar 1-10 menit. Bisa diperpanjang menjadi 10 detik- 1 menit; hal ini disebut sebagai contingent delay.
  • Bisakah escape (melarikan diri) dihindari? Orang tua/ orang dewasa/psikolog harus bisa mencegah anak tersebut meninggalkan ruangan Time-out sebelum waktu yang ditetapkan habis.
  • Bisakah interaksi selama Time-out dihindari? Pengimplementasian Time-out harus dilakukan tidak dengan respon emosional dari orang yang melaksanakan prosedur Time-out. Penjelasan, perhatian harus dihindari selama penggunaan prosedur Time-out karena akan mengurangi efektivitas dari Time-out.
  • Apakah Time-out bisa dipraktikkan pada situasi yang akan dilaksanakan. Sebelum diputuskan apakah akan menggunakan Time-out atau tidak, maka harus dipastikan bahwa semua prosedur dalam Time-out bisa diterima dan dilaksanakan.

  1. Prosedur Penelitian yang menggunakan Time-out
  • Porterfield, Herbert-Jackson, dan Risley (1976) dan Foxx dan Shapiro (1978): menggunakan teknik Time-out untuk perilaku mengurangi perilaku agresif dan disruptif pada anak di program day care.
  • Mathews, Friman, Barone, Ross dan Chrisophersen (1987) bekerja dengan seorang ibu dan anak yang berusia satu tahun dengan menggunakan exclusionary Time-out ketika anaknya bermain dengan benda-benda berbahaya.

Respon Cost
  1. Definisi Respon Cost : seseorang kehilangan sejumlah (dalam kuantitas) reinforcer yang spesifik yang terjadi secara langsung setelah perilaku bermasalah muncul, sehingga kedepannya perilaku tersebut tidak terulang lagi.
  2. Menggunakan Reinforcement dan Response Cost: penggunaan Response Cost harus disertai oleh DRA dan DRO.
  3. Membandingkan Response Cost, Time-out, dan Ekstingsi:
  • Ekstingsi: perilaku bermasalah tidak lagi diberikan penguatan yang sebelumnya diberikan.
  • Time-out: akses seseorang terhadap semua sumber day reinforcer di hambat ketika peirlaku bermasala muncul.
  • Response cost, sejumlah reinforcer yang sudah dimiliki oleh orang tersebut diambil ketika peirlaku bermasala muncul.
  1. Pertimbangan menggunakan Response Cost
  • Reinforcer mana yang ingin dihilangkan? Kuantitas reinforcer yang diambil harus dalam jumlah yang bisa memberikan pengurangan pada munculnya perilaku yang bermasalah.
  • Apakah kehilangan reinforcer diberikan secara langsung ataukah ditunda?untuk kasus tertentu maka kehilangan reinforcer akan langsung dilakukan, namun untuk pada kasus seperti: token reinforcement maka kehilangan reinforcer bersifat bertahap.
  • Apakah kehilangan reinforcer bersifat etis?ketika melakukan prosedur respon cost apakah akan melanggar hak-hak kemanusian yang ada seperti: makan (apakah dengan mengimplementasikan respon cost maka makanannya ditarik?).
  • Apakah response cost bisa diaplikasikan dalam prakteknya? response cost tidak boleh bersifat men-stigma, atau mempermalukan orang lain dengan perilakunya yang bermasalah.

Prosedur punishment positif dan etika dalam punishment

  1. Aplikasi dari kegiatan aversif
Contoh 1: ketika anak mencoret-coret dinding, maka ia harus membersihkannya.
Contoh 2: Anak yang suka mengompol dipasang alat deteksi mengompol di bawah tempat tidurnya. Sehingga setiap kali anak tersebut ngompol maka alarm deteksi ngompol berbunyi dan ia pergi ke toilet untuk mengganti pakaiannya, kemudian mengganti seprei tempat tidur. Setelah itu ibunya memintanya untuk mempraktekkan 10 kai cara yang benar untuk bangun dari tempat tidur dan langsung pergi ke toilet. Meskipun anak tersebut complain dengan ibunya namun ia tetap melakukannya. Setelah beberapa minggu perilaku mengompol berkurang drastic.

Dua contoh di atas didasarkan pada Premack principle. Banyak jenis dari punishment positif yang diterapkan dalam aktivitas yang berbeda. Yaitu
  1. Overcorrection: klien diminta untuk terlibat dalam perilaku yang membutuhkan usaha dalam melakukannya. Ada dua jenis overcorrecton yaitu:
  • Positive practice: klien harus terlibat aktivitas yang dilakukan secara berulang untuk mendapatkan perilaku yang tepat. Contoh pada kasus 2.
  • Restituition: prosedur dimana klien diminta untuk memperbaiki dampak negative pada lingkungan sekitar yang ditimbulkan dari perilaku yang bermasalah tadi. Contoh pada kasus 1.
  1. Contingent exercise: jenis punishment positif dimana dalam pengaplikasiannya melibatkan kegiatan aversif yang tidak ada hubungannya dengan perilaku yang bermasalah tadi. Latihan ini bersifat fisik dimana klien mampu melakukan kegiatan tersebut tanpa mencederainya. Contoh: setiap kali anak berbicara kotor maka orang tuanya menyuruhnya membersihkan jendela selama beberapa waktu.
  2. Guided compliance: klien dibimbing secara fisik untuk melakukan kegiatan yang diminta. Contoh: seorang anak diminta untuk membersihkan mainannya, namun ia menangis mengatakan kalau dia tidak mau. Setelah beberapa kali diingatkan maka orang tuanya membantu anak (physical guidance) tersebut berdiri menuju kamar dan membantu memungutnya (over-hand guidance). Ketika ia mau melakukannya sendiri maka orangtuanya melepaskan physical guidance
  3. Physical restraint: psikolog/trainer/ orang tua memegang bagian tubuh yang terlibat dalam melakukan kegiatan tertentu. Akibatnya klien tidak bisa melakukan apa yang ingin dia lakukan (melakukan tindakan yang bermasalah).


Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan aversif
  • Aplikasi dari kegiatan aversif digunakan ketika orang yang membantu perubahan perilaku menyediakan physical guidance.
  • Orang yang membantu perubahan perilaku harus melakukan upaya antisipasi ketika klien tidak mau brubah.
  • Orang yang membantu perubahan perilaku ketika melakukan physical guidance maka dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak mengandung unsur
  • Orang yang membantu perubahan perilaku harus memastikan bahwa prosedur tersebut tidak dapat melukai klien ataupun orang yang membantu tersebut.

  1. Aplikasi dari stimulasi aversif
  • Seorang wanita dengan kemampuan intelektual yang sangat kecil melakukan kegiatan bruxism (melaga gigi bawah dan atas secara bersamaan) sehingga bisa merusak gigi dan menimbulkan suara yang keras. Maka punishment positif yang dilakukan adalah meletakkan bongkahan es kecil yang bisa menyanggah rahangnya setiap kali ia melakukan
  • Seorang bayi yang suka melakukan rumination (memuntahkan makannya setiap kali makanan masuk ke mulutnya) yang menyebabkan baik tersebut kurang gizi. Sehingga dilakukan punishment positif dengan cara menyemprotkan sejumlah kecil lemon juice ke dalam mulutnya setiap kali ia mulai melakukan sehingga bayi tersebut perilaku rumination nya berhenti.
  • Menyemprotkan sejumlah kecil air ke wajah 9 orang dengan kemampuan intelektual ang terbatas setiap kali melakuan tindakan SIB.

  1. Positif punishment: alternative terakhir
Positif punishment haruslah menjadi alternative terkakhir dalam memodifikasi perilaku seseorang. Sementara punishmentnegatif seperti time-out dan response-costmasih bisa ditoleransi dalam penggunaannya.

  1. Pertimbangan menggunakan positif punishment
  • Gunakanlah intervensi fungsional terlebih dahulu (contoh: ekstingsi, reinforcement yang berbeda, manipulasi antecedent), kalau tidak berhasil barulah coba penggunaan punishment
  • Implementasikan reinforcement yang berbeda bersamaan dengan
  • Pertimbangkan fungsi dari perilaku yang bermasalah tadi. Asessment memainkan peranan penting dalam menentukan prosedur punishment yang tepat. Untuk time-out paling tepat untuk perilaku bermasalah yang diperkuat oleh perhatian ataupun reinforcer positif lainnya. Namun time-out tidak cocok untuk perilaku yang diperkuat oleh escape atau reinforcer negative lainnya. Namun, kegiatan yang bersifat aversif akan lebih tepat jika perilaku bermasalah tersebut di maintained oleh escape namun tidak tepat untuk perilaku yang diperkuat oleh perhatian.
  • Pilihlah stimulus aversif dengan hati-hati. Kamu harus memastikan bahwa stimulus yang dipilih merupakan stimulus yang aversif karena beda orang beda efeknya.
  • Kumpulkan data untuk membuat keputusan. Jika hasil rekap data menunjukkan perilaku tidak berkurang sama sekali setelah digunakan punishment maka prosedur tersebut harus diganti karena tidak berfungsi memberikan punishment bagi klien.

  1. Etika dalam penggunaan punishment
  • Prosedur punishment harus sangat berhati-hati dalam melakukannya karena melibatkan restriksi pada hak-hak klien. Sehingga prosedur ini disbut juga restrictive procedures. Sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan etika. Adapun hal yang harus diperhatikan adalah:
  1. Informed consent
  2. Alternative treatment
  3. Keamanan dari klien
  4. Panduan implementasi di lapangan
  5. Training dan supervise
  6. Review dari rekan sejawat
  7. Akuntabilitas: untuk menghindari penyalahgunaan dari kekuatan dalam memberikan punishment itu sendiri.

Sekian artikel tentang Prosedur Meningkatkan Perilaku dan Menghilangkan Perilaku 2. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka

  • Miltenberger, G.R. (2012). Behavior modification: principles and procedures. 5th edition. USA: Wadsworth Cengage Learning.
  • Martin, G. (2007). Behavior Modification 8th edition: what it is and how to do it. USA: Pearson Prentice Hall
  • Sarafino. P. E. (2012). Applied behavior analysis , principles and procedures for modifying behavior. USA: John Wiley & Sons, inc

Posting Komentar untuk "Prosedur Meningkatkan Perilaku dan Menghilangkan Perilaku 2"