Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kode Etik Dalam Pemberian Jasa Atau Praktek Psikologi

Kode Etik Dalam Pemberian Jasa Atau Praktek Psikologi - Artikel kali ini membahas tentang pelaksanaan kegiatan sesuai batas keahlian / kewenangan seorang psikolog atau ilmuan psikologi. Melalui artikel ini diharapkan mampu memahami bagaimana pelaksanaan kegiatan sesuai batas keahlian / kewenangan seorang psikolog atau ilmuan psikologi.

Pasal 7 : Pelaksanaan Kegiatan Sesuai Batas Keahlian/Kewenangan

a) Ilmuan psikologi dan psikolog hanya memberikan jasa/praktik psikologi dalam hubungannya dengan kompetensi yang bersifat objektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pengaturan terapan keahlian ilmuan psikologi dan psikolog.

b) Ilmuan psikologi dan psikolog dalam memberikan jasa/praktik psikologi wajib menghormati hak-hak lembaga/organisasi/institusi tempat melaksanakan kegiatan di bidang pelayanan, pelatihan dan pendidikan sejauh tidak bertentangan dengan kompetensi dan kewenangannya.

Penjelasan :

7.1. Pasal 7 a: Kesesuaian dengan batas keahlian dan kewenangan

Dalam pelaksanaan kegiatan ilmunya, Ilmuwan psikologi dan psikolog berpegang pada ketentuan berikut untuk menunjukan kesesuaian dengan batas keahlian dan kewenangannya. Ilmuwan psikologi dan psikolog memberikan jasa, mengajar, dan mengadakan penelitian hanya dalam batasan kompetensi mereka berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman yang diperoleh dalam rangka bimbingan keahlian maupun pengalaman yang diperoleh secara profesional.

Ilmuwan psikologi dan psikolog memberikan jasa, mengajar, dan mengadakan penelitian dalam bidang baru atau menggunakan teknik baru hanya sesudah melakukan studi, pelatihan, supervisi dan atau konsultasi dan pihak-pihak yang memang memiliki kemampuan dalam bidang atau tekhnik tersebut. Didalam bidang-bidang baru dimana tidak terdapat standar yang secara umum sudah diakui untuk pelatihan awal, Ilmuwan psikologi dan psikologi tetap harus melakukan langkah-langkah untuk memastikan kemampuannya. Kepastian tersebut meliputi kemampuan dalam pekerjaan mereka dan melindungi pasien, klien, mahasiswa, peserta penelitian, dan orang-orang atau pihak lain dari kerugian yang mungkin timbul.

7.2. Pasal 7b: Menghormati hak orang/lembaga/organisasi/institusi lain

Kode Etik Dalam Pemberian Jasa Atau Praktek Psikologi_
image source: positivepeople.md
baca juga: Hubungan Profesional Antar Rekan Profesi dan Profesi Lain

7.2.1. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam memberikan jasa/praktik psikologi menghormati hak dalam melaksanakan kegiatan di bidang pengajaran, pelatihan dan pendidikan.

Dalam melaksanakan pekerjaannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib mengembangkan desai program pengajaran , pelatihan , pendidikan. Desain tersebut menggambarkan kemampuannya, baik dalam hal penegtahuan maupun pengalaman yang dimilikinya. Desain yang dibuatnya sesuai dengan persyaratan yang berlaku, sertifikasi, atau tujuan lainnya yang ditentukan oleh program.

Program pengajaran, pelatihan, pendidikan yang meliputi tujuan, isi, metoda, dan aspek lain yang terkait dalam penggarapan program secara utuh harus diuraikan dalam bentuk informasi yang dapat menjadi bahan pegangan bagi semua pihak yang menggunakannya. Informasi tersebut harus disiapkan dan selalu tersedia bagi semua pihak yang memerlukannya, sejauh terkait dalam pelaksanaan program tersebut.

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berusaha meyakinkan pihak terkait tentang garis besar dan kerangka pelatihan agar bisa dipahami dengan jelas, tidak disalahfasihkan, terutama mengenai subyek yang akan dibahas. Pemikiran tersebut harus dituangkan dalam formulasi yang memungkinkan dilakukannya evaluasi karena ada data dasarnya, selain kesan yang diperoleh dari pelaksanaan pengajaran, pelatihan, dan pendidikan tersebut.

Dalam upaya mempromosikan, baik dalam bentuk pengumuman, pembuatan dan penyebaran katalog atau brosur, pengiklanan, penyelenggaraan seminar/lokakarya untuk tujuan ini maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dengan benar. Dalam hal ini perlu diperhatikan kejelasan tentang tujuan pelaksanaannya, pembicaranya, waktunya, tempat, perlengkapan/fasilitas yang diperoleh, dan biaya yang diperlukan.

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggungjawab atas akurasi dan tujuan pengajaran, pelatihan, pendidikan yang diselenggarakannya. Tingkat obyektivitas yang logis dan realistis perlu diperhatikan. Dalam melakukan kegiatan pengajaran, pelatihan, pendidikan tersebut Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menyadari bahwa kekuasaan yang dimilikinya atas peserta atau supervisi yang dilakukannya adalah dalam hubungan profesional. Hal ini perlu disadari untuk menghindarkan kemungkinan munculnya hubungan personal dengan siswa atau orang yang dibimbingnya.

Dalam menyelenggarakan kegiatan pengajaran, pelatihan, pendidikan hendaknya disadari adanya keterbatasan kemampuan yang dimiliki, baik dalam hal kompetensi maupun kewenangan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak mengajarkan teknik atau prosedur yang memerlukan pelatihan khusus, izin, atau keahlian tertentu, yang tidak diperolehnya secara langsung dalam pendidikannya. Termasuk tapi tidak terbatas pada contoh ini adalah kemampuan mengajarkan/melatih/mendidik peserta untuk belajar hipnosis, biofeedback, dan teknik proyeksi. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog juga memperhatikan kompetensi dan kewenangan peserta, sehingga membatasi hanya memberikan kepada mereka yang secara profesional memang berhak. Pelatihan semacam itu tidak akan diberikan kepada mereka yang tidak berhak karena tidak terlatih dan mendapat kewenangan untuk itu.

Dalam hubungan akademis dan hubungan supervisi, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog membangun proses untuk memungkinkan terjadinya pemberian umpan balik bagi peserta didik, orang yang dibimbingnya. Pembinaan hubungan itu termasuk upaya mengenali peserta didik dan kinerjanya. Upaya evaluasi terhadap peserta didik dan kinerjanya. Upaya evaluasi terhadap peserta didik atau orang yang dibimbing dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berdasarkan kinerjanya secara nyata dan ada relevansinya dengan persyaratan yang ditentukan dalam program.

7.2.2 Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam memberikan jasa praktik/psikologi menghormati hak dalam melaksanakan kegiatan di bidang riset.

Dalam terapan keahlian di bidang penelitian, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menyusun rencana penelitian secara rinci, sehingga dapat dipahami oleh pihak lain yang berkepentingan dengan kegiatan penelitian tersebut. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang melakukan penelitian, membuat desain, melaksanakan, dan melaporkan hasilnya yang disusun sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan etik riset. Rancangan riset ini juga dimaksudkan untuk menghindari salah tafsir atau kesalahpahaman lainnya.

Dalam merancang riset, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memperhatikan etika. Kalau etiknya tidak jelas, atau ternyata belum ada untuk keperluan tersebut, dapat dilakukan upaya lain, seperti berkonsultasi dengan pihak – pihak yang kompeten dan berwenang, misalnya badan – badan resmi pemerintah atau swasta, organisasi profesi lain, komite khusus, kelompok sejawat yang seminat dalam bidang tertentu, atau mekanisme lainnya.

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab dalam hal langkah – langkah yang diperlukan untuk memberi perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan peserta penelitian, atau pihak lain yang mungkin terkena dampak pelaksanaan riset, termasuk kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog melakukan penelitian secara kompeten, sesuai kemampuan dan kewenangannya, dan memperhatikan harkat martabat serta kesejahteraan pihak – pihak yang dilibatkan dalam penelitiannya.

Ilmuwan psikologi dan psikolog bertanggung jawab atas etika ketika melakukan penelitian yang dilakukanya atau yang dilakukan pihak lain di bawah bimbingannya. Dalam hal penelitian tersebut dilakukan bersama rekan peneliti dan asistennya, Ilmuwan psikologi dan psikolog menyadari bahwa izin untuk melakukan kegiatan oleh rekan peneliti dan asisten harus sesuai dengan batas kemampuan dan kewenangannya, berdasarkan yang telah dipelajarinya. Konsultasi dengan kolega yang lebih ahli dibidang penelitian yang dilakukannya merupakan bagian dari proses dalam implementasi riset, terutama untuk hal-hal yang sekiranya terpengaruh dengan wilayah penelitian yang sedang dilakukannya.

Dalam melakukan riset, Ilmuwan psikologi dan psikolog harus memenuhi aturan hukum dan ketentuan yang berlaku dalam hubungan sebagai warga begara, baik dalam, hubungan sebagai warga negara, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Izin penelitian dari instansi terkait dan dari wilayah yang menjadi lokasi penelitian harus diperoleh sesuai dengan aturan yang berlaku, sejalan dengan aturan profesional yang harus diikutinya, terutama dalam kaitan dengan pelibatan orang atau hewan yang digunakan dalam penelitian. Selain izin penelitian, persetujuan dari badan setempat untuk melakukan riset juga harus diperoleh ilmuwan psikologi dan psikolog, dengan memberikan informasi akurat tentang riset yang tertuang dalam proposal dan protokol penelitian.

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus membuat perjanjian dengan pihak yang dilibatkan, yang dilakukan sebelum riset, melalui penjelasan tentang macam kegiatan dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dikecualikan dari ketentuan ini adalah macam penelitian yang tidak memerlukan identitas yang jelas, seperti survei anonimous dan pengamatan almiah. Keterusterangan kepada pihak yang terlibat atau dilibatkan harus dilakukan. Imuwan Psikologi dan Psikolog sama sekali tidak boleh menipu atau menutupi, yang kalau saja calon/peserta itu tahu dapat mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam penelitian tersebut, misalnya kemungkinan mengalami cedera fisik, rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman emosional yang tidak disukai. Penjelasan tersebut harus diberikan sedini mungkin, dalam bentuk uraian tentang maksud dan tujuan riset, prosedur, proses yang akan dijalani, agar calon/peserta dapat mengambil kesimpulan dari riset tersebut dan memahami kaitannya dengan dirinya.

Dalam pelaksanaan riset tertentu diperlukan ‘informed consent’ yang dinyatakan secara formal. Selain tertulis, ilmuwan Psikologi dan Psikolog menjelaskan secara lisan agar dapat dipahami dengan benar. Dalam menyampaikan penjelasan tersebut, baik lisan maupun tertulis, digunakan bahasa atau istilah yang dipahami oleh peserta riset. Pernyataan persetujuan itu didokumentasikan sesuai keperluannya. Dalam hal peserta riset tidak bisa membuat informed consent secara legal, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog setidaknya melakukan upaya pemberian penjelasan, mendapatkan persetujuan, dan mendapatkan izin dari pihak yang berwenang mewakili peserta riset, atau menggantinya dengan bentuk lain (formal) jika memang ada pengganti consent yang diatur menurut hukum. Informed consent tidak diperlukan untuk penelitian yang menggunakan kuesioner anonim, pengamatan almiah, dan sejenisnya. Meskipun demikian setidaknya Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berusaha mengikuti aturan yang berlaku dan mengkonsultasikannya dengan badan yang berwenang, atau membicarakannya dengan kolega.

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menguraikan tentang riset yang akan dilakukannya kepada peserta riset dengan menggunakan bahasa dan istilah yang bisa dipahami calon peserta/peserta penelitian. Termasuk dalam uraian ini adalah asas kesediaan yang menyatakan bahwa kesetaraan dalam penelitian bersifat sukarela, sehingga memungkinkan untuk mengundurkan diri atau menolak dilibatkan. Dalam hal ini kepada calon/peserta penelitian dijelaskan faktor-faktor yang signifikan, yang mungkin terjadi dan bisa mempengaruhi keputusan mereka untuk ikut atau tidak, baik sejak awal maupun ketika penelitian berlangsung. Faktor-faktor tersebut adalah kemungkinan adanya risiko, ketidaknyamanan, efek merugikan, atau keterbatasan dalam menjaga kerahasiaan. Lamanya keterlibatan dalam penelitian, terutama untuk riset yang dilakukan dalam jangka panjang termasuk dalam uraian yang harus dijelaskan kepada peserta riset. Asas kesediaan yang harus dipenuhi dalam pelibatan peserta riset adalah ketentuan untuk tidak membujuk atau memberikan pancingan dalam upaya menarik minat agar peserta mau dilibatkan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak memberika imbalan dalam bentuk uang atau lainnya yang bisa ditafsirkan sebagai keterpaksaan. Penjelasan kepada peserta riset tentang studi yang dilakukan merupakan peluang kepada peserta untuk mendapatkan informasi yang benar tentang situasi, hasil, dan kesimpulan penelitian. Dalam hal ini Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu memperhatikan agar tidak terjadi pemahaman konsep yang keliru dari peserta. Ilmuwan Psikologi dan psikolog tidak melakukan riset yang menggunakan cara-cara yang dapat dianggap sebagai kecurangan atau bersifat mengelabui, kecuali hal itu memang diperlukan untuk kepentingan pengembangan ilmu, baik untuk kepentingan pendidikan atau ilmiah lainnya, yang tidak mungkin dilakukan tanpa cara tersebut.

Pada pelaksanaan riset yang melibatkan mahasiswa atau orang yang dibimbingnya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog melakukan sesuatu yang diperlukan untuk melindungi kesertaan yang sifatnya mengikat. Untuk riset yang berlangsung lama dan mengambil waktu, seperti mengikuti pelatihan terlebih dulu, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus memberikan pilihan kepada mahasiswa atau orang yang dibimbingnya agar dapat tetap melakukan kegiatannya dan dapat memperoleh biaya hidup yang diperlukannya.

Apabila dalam pelaksanaan riset dilakukan pengambilan rekaman, baik dalam bentuk audio maupun visual, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu mendapatkan izin dari peserta riset sebelum memfilmkan atau merekam dalam bentuk apapun. Ketentuan ini dikecualikan untuk hal – hal yang menghiraukan kaidah dan etika untuk tidak sampai memunculkan identitas tertentu atau khusus yang bisa dikenali.

Dalam hal pemanfaatan dan penyebarannya, sehubungan dengan publikasi hasil penelitian, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menginformasikan kepada peserta riset, dengan tujuan agar peserta riset membantunya dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa mendatang, misalnya kemungkinan pemunculan identitas atau hasil riset untuk berbagai kepentingan lainnya.

Dalam kaitan dengan upaya meminimalkan pelanggaran dalam melaksanakan penelitian, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berinteraksi dengan peserta penelitian, atau pihak lain, di lingkungan tempat pengambilan data, hanya dalam hal yang sesuai dengan rancangan desain studi, yang konsisten dengan peran psikolog sebagai peneliti ilmiah. Apabila riset yang dilakukan secara ilmiah menuntut tidak dibukanya informasi karena alasan kemanusiaan, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab untuk mencari pengukuran lain yang bisa menurunkan atau mengurangi resiko.

7.2.3. Penggunaan hewan dalam penelitian

Apabila dalam penelitian yang dilakukan menggunakan hewan sebagai obyek riset, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog diharapkan dapat memperlakukan hewan tersebut dengan baik. Mereka diharapkan mengikuti aturan profesional maupun aturan hukum kenegaraan dalam mendapatkan, merawat, memanfaatkan, dan membuang hewan yang digunakan seusai dengan standar yang berlaku. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang melakukan penelitian dengan menggunakan hewan harus sudah terlatih dan mendapat sertifikat khusus, yang memungkinkannya untuk memperlakukan hewan tersebut dengan baik. Mereka juga meyakinkan bahwa dalam memimpin kegiatan tersebut ia telah memberikan penjelasan kepada semua anggota tim yang terlibat, baik mengenai riset itu sendiri maupun dalam hal perawatan hewan dan perlakuan yang baik, sebatas keperluan penelitian dan bersifat konsisten, sesuai dengan kemampuannya.

Penggunaan hewan dalam riset yang dilakukan harus disertai dengan upaya untuk meminimalkan rasa tidak enak, sakit, infeksi, atau penyiksaan yang menimpa hewan yang digunakan dalam penelitian. Diperlukan prosedur yang jelas untuk dapat menangani seberapa jauh hewan itu “boleh” disakiti, atau merasa tertekan, atau privasi untuk menghindarkan perlakuan semena – mena. Perlakuan yang menyakiti itu hanya bisa diterima sejauh memang diperlukan untuk pembuktian ilmiah yang diperlukan untuk tujuan perkembangan, pendidikan, pengembangan ilmu, atau terapan lainnya.

Apabila dalam prosedur penelitian diperlukan pembedahan yang diperlukan sesuai prosedur dilakukan di bawah pembiusan, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog melakukannya dengan menggunakan metoda untuk menghilangkan rasa sakit, atau minimal dapat mengurangi rasa sakitnya selama ataupun sesudahnya. Seandainya harus mengakhiri hidup hewan tersebut maka harus dilakukan dalam waktu yang sangat cepat, dengan upaya untuk meminimalkan rasa sakit, dan sejalan dengan prosedur yang bisa diterima menurut aturan dan hukum. Dalam hal ini Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bekerjasama dengan pihak yang berwenang (dokter hewan).

7.2.4. Menghormati hak dalam melaksanakan kegiatan di bidang forensik

Ilmuwan yang bertugas di bidang forensik, yang dalam tugasnya bisa meliputi kegiatan asesmen, wawancara, konsultasi, laporan, atau kesaksian ahli, harus mendasarkannya pada kode etik, terutama berkenaan dengan pengetahuan yang sesuai, khusus untuk bidang ini, termasuk keterbatasan wilayah yang bisa ditekuninya. Temuan, rekomendasi, laporan hasil yang diperoleh berdasarkan informasi dan cara memperolehnya, termasuk wawancara (sejauh kemungkinan) harus dipastikan mempunyai makna yang bisa dipertanggungjawabkan menurut keahliannya.

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memberika laporan tertulis atau lisan mengenai hasil penemuan forensiknya, atau membuat pernyataan dari karakter psikologis seseorang, hanya sesudah dia melakukan pemeriksaan terhadap pribadi yang bersangkutan untuk mendukun pernyataannya atau kesimpulannya. Bila tidak diperlukan pemeriksaan karena keadaannya tidak memungkinkan, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mengklarifikasikan pengaruh atau dampak dari keterbatasan informasi yang dapat dipercaya dan validasi dari pernyataan yang dibuat, serta membatasi pengaruh lingkungan dari kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.

Klarifikasi peran harus jelas sejak awal keterlibatan. Ilmuwan psikologi dan psikolog menghindar untuk melakukan peran ganda dalam hal forensik, apalagi yang dapat menimbbulkan konflik. Ketika mereka diminta membantu dengan berperan ganda, yang melibatkan diri pada lebih dari satu prosedur yang legal, misalnya sebagai konsultan atau ahli untuk satu pihak dan menjadi saksi di pengadilan, ketegasan peran harus dijelaskan supaya sesuai harapan. Kalaupun harus berepran ganda, kejelasan masing-masing peran diperlukan untuk menjaga kerahasiaan sejak awal, sehingga ketika perannya berganti, dapat dilakukan ssecara jelas. Hal ini diperlukan untuk mencegah kompromi antara penilaian sebagai profesional dan obyektifitas dalam posisi sebagai saksi, serta mencegah kesalahpahaman pihak lain sehubungan dengan peran gandanya.

Kepercayaan atau keterusterangan dalam membuat pernyataan forensik dan laporan perlu perhatian khusus dalam terapannya. Ilmuwan psikologi dan psikolog memang harus membuatnya berasa jujur, tulus, terpercaya, dan terus terang, konsisten dengan prosedur yang berlaku, menguraikan secara adil berdasarkan pernyataan kesaksian dan kesimpulan. Namun, apabila dipelukan untuk mencegah kesalahpahaman, Ilmuwan psikologi dan psikolog hanya mengumunkan data atau konklusinya secara terbatas.

Adanya hubungan profesional yang terjalin sebelumnya dengan klien tidak akan menghalangi ilmuwan psikologi dan psikolog untuk memberi kesaksian (sebagai saksi), atau ketika harus menyampaikan pendapatnya selaku ahli yang memberikan pemeriksaan, sejauh memang diizinkan oleh aturan hukum yang berlaku. Dalam hal ini ilmuwan psikologi dan psikolog mencari jalan untuk mencegah pengaruh hubugan tersebut agar tetap bisa bersikap profesional dalam memberikan pendapat, dan menjaga kemungkinan terjadinya konflik antar pihak.

Dalam kaitan dengan pemenuhan aturan hukum, ilmuwan psikologi dan psikolog yang melaksanakan tugas forensiknya tahu aturan hukum yang berlaku. Mereka menyadari adanya kemungkinan konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan pendapat dan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam kasus dipengadilansesuai dengan sistem yang berlaku. Mereka berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukan komitmen terhadap kode etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik ini dalam cara-cara yang bisa diterima.

Ilmuwan psikologi dan psikolog mempunyai kewajiban untuk memahami kode etik, atau penjelasan kode etik, dan terapannya dalam pelaksanaan tugas mereka. Kurang dipahaminya kode etik ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mempertahankan diri ketika melakukan pelanggaran.

Contoh Kasus

DM adalah seorang psikolog, dalam melakukan beberapa praktik terkadang DM hanya mau memberikan layanan psikologi kepada seseorang yang berasal dari latar belakang orang yang mampu.Apabila ia melihat bahwa kliennya ternyata berasal dari kalangan menengah kebawah, DM memilih untuk tidak memberikan layanan psikologi dengan berbagai macam alasan dan merujuk klien tersebut untuk pergi ke psikolog lainnya. Ia juga kerap kali meneruskan terapi kepada kliennya, meskipun seharusnya ia berpikir bahwa klien yang ditanganinya sudah cukup berhasil dan tidak membutuhkan terapi lagi. Hal lain yang sering terjadi pula adalah ia seringkali menceritakan masalah-masalah klien lain kepada klien yang tidak bersangkutan, tidak hanya itu kerap kali ia mendiskusikan masalah klien lain yang sedang ia tangani kepada klien yang tidak bersangkutan. DM terkadang menjelaskan perincian biaya yang jauh lebih tinggi dari biaya yang seharusnya sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.

Suatu hari, adik DM yang baru saja lulus dari pendidikan S1 hendak mengikuti seleksi dan rekruitmen karyawan baru yang diadakan sebuah perusahaan ternama. Karena takut banyak calon karyawan yang lebih hebat darinya dan takut tidak diterima bekerja, maka adik DM meminta kepada DM yang juga seorang psikolog untuk mengajarkannya cara mengerjakan alat-alat tes psikologi yang sering dipergunakan untuk keperluan seleksi dan rekruitmen. DM pun akhirnya mengajarkan cara mengerjakan alat-alat tes psikologi yang sering dipergunakan untuk keperluan seleksi dan rekruitmen kepada adiknya,agar adiknya mendapat hasil psikotes yang baik dan dapat diterima bekerja pada sebuah perusahaan ternama.

Perusahaan ternama tersebut, akhirnya menerima adik DM untuk menjadi karyawan di perusahaannya, namun setelah bekerja di perusahaan tersebut adik DM banyak melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, bahkan menyebabkan kerugian secara finansial bagi perusahaan. Karena merasa dirugikan, akhirnya perusahaan tersebut mengeluarkan adik DM.

Analisa Kasus

Berdasarkan dari penjelasan kasus di atas menunjukkan bahwa adanya pelanggaran kode etik terkait dengan pemberian jasa atau praktik psikologi yang telah dilakukan DM. Ia hanya mau memberikan jasa atau layanan psikologi kepada klien dengan golongan ekonomi ke atas padahal dalam pasal 7(a) menjelaskan bahwa Ilmuan psikologi dan psikolog hanya memberikan jasa/praktik psikologi dalam hubungannya dengan kompetensi yang bersifat objektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pengaturan terapan keahlian ilmuan psikologi dan psikolog. Hal itu artinya ilmuan psikologi atau psikolog memberikan jasa kepada klien bukan berdasarkan atas golongan ekonominya melainkan berdasarkan kompetensi dirinya tersebut.

Daftar Pustaka
  1. Hasan, A.B.P. (2009). Kode etik psikolog dan ilmuwan psikologi. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Posting Komentar untuk "Kode Etik Dalam Pemberian Jasa Atau Praktek Psikologi"